Malamnya. Jujur aku sama sekali tidak istirahat, mulut ini tidak berhenti berlatih. Entahlah. Refleks saja mengulang bait demi bait puisi. Aku berdiri di depan cermin dengan toner berwarna pink di tanganku yang sekarang beralih fungsi menjadi mic.
Ternyata membuat ekspresi penghayatan susah sekali. Apalagi ini tentang cinta. Jujur saja aku sama sekali belum pernah merasa jatuh cinta.
Sial sekali. Dia baru mengirim aransemennya pukul 10 malam yang mana aku sudah mengantuk berat menunggunya tapi, aneh sekali.
Sekarang kantuku hilang dan malah memutar aransemen yang dia kirim berulang kali.
Tidak hanya atan aransemen, dia juga membacakan puisinya di beberapa tempat masuk. Sungguh, suaranya begitu lembut. Tidak tahu harus gimana yang jelas aku meleleh dan lupa kalau besok waktunya tegang menegang.
'Besok jam 6 harus ada di sekolah! Kalau bisa kurang dari jam enam ya, kita pematangan dulu sebelum tampil!'
Sebuah pesan darinya. mungkin ini sebuah anugerah yang dia alami. Kurang dari jam enam harus ada di sekolah? Harusnya aku yang bilang begitu. Dia datang ke sekolah aja datang jam 7. Gimana ini yang kurang dari jam 6 pagi!
semangat sekali dia. Aku ragu. Jadi aku jawab, "janji ya?"
'janji!'
Oke dia sudah janji, berarti besok sudah aman. Meskipun masih ragu. Tidak apa-apa percayakan saja padanya.
Sekarang aku malah tertidur dengan petikan gitar serta puisi darinya. Seolah-dia memainkan gitar itu hanya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang lain.
Paginya aku bangun pukul 04.00 karena rumahku yang lumayan jauh dari sekolah, aku akan berangkat pada pukul 05.20 perjalanan menuju sekolah kurang lebih 45 menit. Dengan tubuh terlapisi jaket tipis, dingin sekali.
Awan masih gelap. Jalanan begitu lenggang. Ruko-ruko di pinggir jalan dengan lampu masih menyala, aku baru saja menemukan suasana baru. Meskipun tidak terlalu sunyi dan tidak sepenuhnya jalanan ini aku kuasai sendiri. Namun aku rasa perjalanan menuju sekolah kali ini cukup menenangkan.
Perasaanku tak menentu, apalagi saat sudah dekat sekolah.
Membayangkan akan tampil di depan seribu siswa lebih tentu saja membuat jantungku berdetak kencang.
Parkiran masih kosong. Belum ada yang datang di sekolah kecuali pak satpam. Perasaanku sudah tidak enak. Dia ternyata belum datang. WhatsAppnya juga tidak aktif. Sekarang sudah pukul 06.00
Katanya mau latihan sebentar tapi ini, sampai sekarang dia belum datang?
Terpaksa aku telpon dia.Tersambung tapi tidak dia angkat.
Nah akhirnya di angkat juga.
"Halo!"
"Halo!"
Lah, kok suara perempuan. Aku melirik lagi kontak yang aku hubungi. Benar kok ini no nya dia. Tapi yang angkat kok perempuan. Dengan hati ragu aku kembali berbicara. Pikiranku melayang begitu saja memikirkan dia tidur dengan seorang wanita muda. Kalau suara ibunya mana mungkin seperti ini.
Aku mengambil napas lalu menghembuskannya. pandangan mataku kini mengitari lapangan luas dan panggung teater sekolah. Memegang dada dengan perasaan campur aduk.
Ragu-ragu aku kembali bicara.
"Ragasnya ada?"
"Ragasnya ada?"
Lah, ini suaraku ternyata. Servernya eror. Dasar bikin orang overtingking aja.
Kedua sudut bibirku tertarik. Namun, sedetik kemudian berubah menjadi kesal. Aku kembali menghubungi nomor Ragas.
Kali ini tidak eror. Dia menerimanya di sana.
"Halo Ros. Sori gue gak ada motor. Teman gue gak tahu di mana."
Sial! Terus sekarang gimana. Aku ingin mengangis.waktu juga udah mepet.
"Yaudah rumah Lo di mana? Biar gue jemput sekarang!"
Aku tidak tahu. Yang aku lakukan benar atau tidak. Ternyata dia tidak bisa menepati janjinya.
Bukannya menjawab. Di sana malah hening. Aku juga ikut diam menunggu jawabannya.
"Gak usah. Ini temen gue udah di jalan katanya. Tungguin Ros!"
'pip'
Hah, aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Saking paniknya aku tidak geli sama sekali saat ada ulat di kerudungku. Aku singkirkan dengan tangan kosong. Jangan sampai aku bunuh kamu ulat karena sudah membuatku tambah kesal.
"Rosa. Ayok ke teater. Mana Si Ragas?" Regi, sudah siap dengan jas osisnya. Dia yang menyiapkan semuanya untuk penampilan kami seperti meminta ijin suapaya kami tampil terakhir untuk memeriahkan acara dia juga yang memasang kabel-kabel yang diperlukan.
"Masih di jalan."
"Yaudah, yok, kita duluan aja."
Aku mengangguk. Mengikuti langkahnya ke arah teater sekolah. Regi ini jauh berbeda dengan Ragas. Dia disiplin dan sudah pasti pintar serta aktif di sekolah. Sedangkan Ragas? Dia bisa apa. Di kelas juga kerjaannya tidur. Kalau gak tidur ya main musik lewat hp.
Tapi aneh saja. Kini dia tak luput dari perhatianku. Rasnya ada magnet dalam dirinya sampai-sampai mataku selalu melirik ke arahnya jika ada kesempatan.
"Tunggu aja di sini. Gue mau ngibarin bendera dulu. Jangan panik."
Regi menepuk pundakku. Seolah meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Iya."
💫Si Penikmat Keterlambatan💫
Jangan lupa tekan ⭐ nya
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]
Novela Juvenil"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa, dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan." Makna dari sebuah puisi yang aku bacakan ternyata sama persis seperti yang aku rasakan. Secara tersira...