Aku tidak mengerti. Sekarang apa-apa yang aku lakukan sepertinya tidak lepas dari dirinya. Bahkan sampai topik tugas sekalipun.
"Yeuh, itu punya si Rosa. Malah diminum gitu aja." Nara si kompor kelas menyeletuk. Aku melirik botol minumku yang yang isinya tinggal setengan ada di tangan laki-laki jangkung ini.
"Yaelah. Gak papa kan ya Ros?" Bibirnya menyeringai mesem. Dia bertanya dengan alis terangkat. Biasanya kedua matanya menyipit saat tersenyum. Namun, sekarang malah sebaliknya.
Sudah tebak'kan siapa yang minum?
"Hhmm."
"Tuh kan gak apa-apa. Sewot aja Lo."
Mata pelajaran bahasa Indonesia kini sudah di mulai kembali setelah beberapa Minggu kemudian. Kali ini kita hanya mendiskusikan sesuatu. Bu Evi merencanakan untuk kelas kita suapaya ada yang bisa tampil untuk mengisi acara literasi bersama di setiap hari kamis. Ini salah satu kegiatan yang sekolah kami adakan.
"Siapa yang mau dan berani tampil berpuisi?"
"Saya Bu!" Aku menjawab lantang. Sungguh. Aku sangat ingin tahu rasanya berpuisi di depan umum. Meskipun mic adalah musuhku tapi aku ingin sekali berpuisi.
"Boleh sayang. Sini sebentar." Bu Evi membuka buku kumpulan puisi miliknya yang berwarna pink, " Nah ini ada puisi berjudul DIPONEGORO karya Chairil Anwar. Karena masih suasana 17 Agustus, masih cocoklah ya, kalau membawakan puisi ini. Gimana bisa gak sayang?"
Bu Evi memang lembut sekali kalau menjelaskan sesuatu.
Aku mengangguk. Meskipun ini sulit tapi aku ingin mencoba.
"Siapa lagi?" Tanya bi Evi lagi.
"Saya buk." Rindu mengangkat tanganya, Fidah juga. Katanya mereka mau berpuisi berdua.
"Boleh. Atau gini aja di sini siapa yang bisa main gitar?"
Aku yang tadinya fokus memahami isi puisi kini menatap ke depan. Dia dengan seringai khasnya sudah berdiri di depan sana. Berdiri dengan kedua tangan di belakang badan.
Teman-teman yang lain juga sempet heboh. Ya, karena mereka tahu kalau si Ragas ini emang jagonya main gitar.
"Nah bagus. Kalian bisa bermusikalisasi. Gimana?"
"Bisa Bu!" Rindu menjawab mantap.
Tak teras tanganku mengepal. Jujur setiap hari jika di rumah aku selalu ingin duet sama si Ragas ini. Tidak tahu kenapa tapi, sekarang yang duet dengan dia malah mereka berdua alias Rindu dan Fidah. Ya, meskipun itu bukan nyanyi tapi, setidaknya mereka bakal ngerasain duet sama dia.
Gak apa-apalah.
"Nah sekarang kalian tinggal cari aja puisinya. Terus nanti kirim lewat pesan ke ibu ya, ini jam pelajaran ibu sudah berakhir. Ibu pamit."
"Ada yang mau ditanyakan?"
"Ibu! Tunggu sebentar." Aku menahan ibu. Jujur puisi ini terlalu berat untuk bawakan, "ibu maaf, boleh tidak saya mengganti puisinya. Jujur ibu ini terlalu sulit untuk saya yang masih amatir."
"Oh! Boleh sayang. Apa aja yang penting kalian nanti hari Kamis tampil. Maaf ya ibu tadi maksa kamu." Wajah Bu Evi berubah. Dia merasa bersalah.
"Iya gak Apa-apa ibu. Makasih ibu. Oh iya, kita tampil Kamis sekarang?" Tanyaku agak ragu.
"Iya! Masih ada waktu satu hari untuk latihan. Sudah ya nak. Ibu harus ke ruang guru sekarang."
Kamis? Kamis sekarang? Gila!!! Ini benar-benar gila! Sekarang sekarang Selasa. Dan kami harus tampil hari Kamis? Ini mimpi buruk. Aku pikir akan tampil kamis depan.
Kini aku sibuk mencari-cari puisi yang aku akan bawakan saat hari Kamis nanti. Sempat stres saat jam istirahat, mana sinyal di sini lemot banget lagi tapi, akhirnya bisa aku temukan juga.
Namun ini musikalisasi puisi jadi aku berikan saja pada Rindu dan Fidah yang ingin tampil musikalisasi puisi. aku bingung. Aku belum menemukan puisi yang cocok."Ragas." Aku memanggilnya. Mungkin ini panggilan pertama kalinya yang aku ucapkan.
"Puisinya ini, aransemennya seperti ini. Bisa gak?" Aku memberikan ponsel kepadanya.
Dia mengambil ponselku. Mengeraskan sedikit volume dan mendekatkannya ke telinga. Dia juga duduk di tempat yang agak sepi terlebih dahulu. Entah untuk apa itu. Padahal kan tinggal dengar saja.
"Oke bagus!" Mengembalikan ponselku. Dia tersenyum. Lebar sekali. Salah satu jempolnya terbangun. Entah kenapa aku juga ikut tersenyum.
Waktu pulang sekolah tiba. Aku tengah memakai sepatu dekat pintu masjid. Merasakan angin-angin menerpa wajah. Hampir semua murid sudah pulang. Sengaja aku pulang terakhir. Sekalian nunggu parkiran kosong. Motorku parkir di paling depan.
"Ros."
"Ya."Aku menoleh.
Ragas. Rupanya anak itu juga baru memakai sepatunya.
"Besok gue bawa gitar. Nanti malam kirim teks sama voice notenya ya." Setelah mengatakannya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku. Dia menyuruhku merekam suara? Saat aku berpuisi? Oh ayolah itu bukan hal yang sulit.
"Hah? Oh, oke."
💫Si Penikmat Keterlambatan💫
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]
Teen Fiction"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa, dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan." Makna dari sebuah puisi yang aku bacakan ternyata sama persis seperti yang aku rasakan. Secara tersira...