Aku duduk di panggung teater. Melihat sekeliling sudah ada beberapa siswa yang datang dan dia belum datang juga.
Perasaanku makin panik. Tanganku yang dingin tiba-tiba berkeringat.
Aku terus melirik ke arah gerbang menuju parkiran motor. Beberapa motor melaju menuju parkiran. Tapi bukan dia. Orang yang aku tunggu belum datang juga.
Aku mengalihkan pandangan. Sibuk mengontrol diri agar tidak panik karena dia belum datang juga.
Ternyata dia datang. Dia turun tergesa dari motor dengan gitar di gendongannya. Berlari secepat kilat menuju arah teater tempat aku duduk dengan sebuah buku puisi yang sudah aku hias.
Aku baru sadar. Ini pertama kalinya dia datang tepat waktu setelah sekian lama selalu terlambat. Dia serius. Dia tidak pernah datang sepagi ini. Aku tahu itu karena aku selalu memperhatikannya.
Rambutnya ikut terbang ketika dia berlari. Situasi yang tidak bisa aku kabarkan. Namun pasti sulit aku lupakan.
Seolah waktu begitu lambat saat dia berlari. Angin meniup geli demi helai ujung rambutnya.
"Ros maaf!"
Aku menggeleng, "tarik napas dulu."
Dia mengatur napasnya.
"Ayo latihan sebentar." Dia mengeluarkan gitarnya. Mengencangkan beberapa senar yang aku sendiri tidak paham.
"Gimana?" Tanya temannya. Dia baru saja datang usai memarkirkan motornya. Sama juga keadaan Ragas yang duduk dengan napas memburu sambil fokus dengan gitarnya. Namun bedanya sahabatnya ini jongkok.
"Alah, Firgo ini gak bisa di kencengin." Dia memutarkannya lebih kencang.
'Brett,'
Satu senarnya putus. Kami bertiga terdiam. Hening beberapa saat. Bingung mau ngapain. 15 menit lagi kita mau tampil dan senar gitarnya malah putus. Bolehkan aku menangis?
Tidak! Ini bukan waktu yang tepat.
"Aduh.. di mana yang jual senar jam segini," lirihnya. Sangat putus asa.
Temanya si Firgo-Firgo itu malah yang lebih panik daripada kami, "sumpah Gas gue gak ngoprek sama sekali gitar Lo." Dia mengangkat kedua tangannya.
"Udah tenang." Aku berusaha mengontrol diri. Jangan sampai terbawa panik.
"KEPADA BENDERA MERAH PUTIH, HORMAT GERAK!"
Aku dan Ragas langsung berdiri. Menghormati sang merah merah putih yang tengah digerek naik.
Biar bagaimanpun perasaan kita. Kalau bendera sedang naik ataupun turun. Jangan sampai kita tidak memperdulikannya. Begitu kita guruku.
"Heh, ini gimana, kalian Kok malah hormat. Ini gitar gimana?" Dasar Firgo. Bukanya hormat malah masih jongkok. Dan mikirin gitar.
"Ragas, woy."
"Diam dulu." Ragas berbisik dengan menekan kalimatnya.
"Lah terus gue juga hormat gak?"
"Hormat Firgo!" Bisik Ragas lagi. Aku tersenyum ternyata dia masih menghormati bendera kita. Di saat panik seperti ini.
"TEGAK GERAK."
Kami duduk kembali.
"BUKANYA HORMAT MALAH ENAK-ENAKAN JONGKOK. TIDAK TERPELAJAR!" Ternyata dekat kami ada guru BK. Mampus tuh si Firgo kena sindir.
"Rosa." Indria datang dan duduk di sampingku. Dia menatapku dan Ragas secara bergantian dengan kening mengkerut seolah bertanya. Ini kenapa?
"Senarnya putus," ucapku lesu.
"Terus gimana?"
Aku menggeleng dan mengangkat bahu.
"Regi!" Aku memanggil Rega yang telah selesai mengibarkan bendera, "senarnya putus.""Lah, terus gimana?"
"Pinjam punya sekolah bisa gak?" Aku memohon.
"Sebentar. Yuk Gas kita pinjam ke ruang seni."
Dia mengangguk, "Ros, gue titip, gitar sama hp."
"Iya."
Sungguh entah ini sial yang keberapa kali. Ruang seni musik ternyata di kunci. Dan kuncinya ada di pak Iyas dan pak Iyasnya belum datang. Oh tuhan, tolong bantu aku. Aku sangat butuh bantuanmu. Segala rasa kini bercampur aduk. Panik, gusar, degdegan menjadi satu.
Ragas kembali dengan wajah paniknya. Dia menunduk mensejajarkan tubuhnya denganku yang tengah duduk.
"Sekarang gini Ros! Ikuti gue." Dia menepuk-nepuk meja berbentuk jamur yang ada di hadapanku. "Bayangkan seolah ini adalah aransemen yang gue kirim semalam."
Dan yeah, tepukan tersebut sangat seirama. Aku mencoba membaca puisi tersebut. Mencocokan dimana saja aku harus masuk.
Dan aku rasa latihan seperti ini jauh lebih romantis dibandingkan dengan hitarnya langsung.
Aku mendongak setelah latihan tanpa gitar kami selesai. Dan itu hal yang mungkin aku sesali bagaimana bisa aku mengalihkan pandangan saat netranya dan netraku berada pada jalur yang sama.
"Kita jadi tampil kan Ros?" Dia bertanya lirih. Sorot matanya memancarkan keputusasaan.
Aku mengangguk. Meyakinkannya. Kita pasti bisa tampil.
"Jadi! Kita pasti bisa tampil!"
💫Si Penikmat Keterlambatan💫
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]
Teen Fiction"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa, dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan." Makna dari sebuah puisi yang aku bacakan ternyata sama persis seperti yang aku rasakan. Secara tersira...