Part 19

8.3K 518 11
                                        

Sebuah umpatan langsung lolos dari mulutku ketika Agil melemparkan sebuah undangan ke wajahku.

"Apaan sih, Gil? Gue masih punya tangan buat nerima undangan lo."

"Pingin nyoba reflek lo, aja. Ternyata masih sama aja."

"Lo... berdua lama nggak ketemu, sekali bertemu bertengkar mulu," cibir Andin yang kini tampak lebih segar dengan cat warna rambut terbarunya.

"Lagian ngapain sih lo ajak Agil segala, nggak bisa quality time, kan kita!" gerutuku lansung dibalas dengusan Agil.

"Gue, calon suaminya, wajar dimana ada dia, ada gue."

Aku bergidik ngeri,"Pingin muntah gue."

"Itu contoh desain undangan pernikahan gue, Fay. Gimana bagus kan? Lo kasih masukkan gih, sebelum dicetak," pinta Andin dengan sumringah.

"Bagus, lebih bagus lagi ganti nama mempelai laki-lakinya," jawabku asal, tapi memang  desain undangannya bagus sih. Aku suka.

"Sumpah Fay, lo mau gue tenggelamin ke rawa-rawa," Agil kembali bersuara dengan nada tidak suka.

Aku tertawa geli.

"Bercanda Gil, emosian. Darah tinggi, ntar lo!"

"Nggak bisa bercanda soal beginian Fay, lo yang jomblo tidak akan mengerti," sindirnya dengan nada mengejek.

Aku terperanjat tidak suka,"Apaan lo! Nggak usah bawa status deh, gue jomblo terhormat, belum ada aja, lelaki beruntung yang bisa dapetin gue," balasku jumawa.

Agil berdecak sinis,"Jomblo terhormat apaan, yang ada lo itu jomblo gagal move on."

"Gil... lo itu bener-bener ya?" Aku siap menjitak Agil. Namun suara Andin membuatku mengurungkannya.

"Kalian itu, bisa nggak sih? sebentar aja  akur!" ucap Agil sebal.

"Sorry sayang, temanmu ini pinter sekali nyulut emosiku," ucap Agil lembut, seraya mengusap rambut Andin dengan sayang.

Mana ember, jomblo melihat adegan seperti ini ingin muntah, mungkin kalau aktor drama Korea yang melakukan aku bisa baper, tapi ketika sahabat sendiri rasanya eneg.

"Lo.. udah berdamai sama bokab?" Kali ini Agil membuka topik pembicaraan yang baru, Andin menyimak penuh minat, sementara aku malas dengan pembahasan ini.

Aku menghela napas kasar,"Gue udah nggak peduli lagi ama dia Gil! Mau papa ngelakuin apapun, gue nggak peduli! gue capai Gil! Pada akhirnya mama akan tetap menerima papa."

Andin menatapku dengan senyuman,"Lo nyadar nggak sih, Fay. Lo itu mirip nyokab lo, kalau udah bucin sama orang, nggak bisa berpaling lagi."

"Tapi gue lebih realistis, Ndin."

"Realistis tapi lo menderita," balas Agil telak.

"Pikirin kebahagiaan lo Fay, nyokab lo  sudah memilih kebahagiaannya,  dan lo juga harus begitu. Hidup tidak hanya bergulir tentang masa lalu," tambah Agil membuatku sedikit terketuk.

"Kebahagiaan semu Gil?" Kataku getir.

"Darimana lo tahu itu semu, kebahagiaan itu datangnya dari sini," lirih Agil sambil menunjuk kearah dadanya.

*****

Malam ini aku berniat menyegarkan pikiranku dengan menikmati suasana malam. Daun gugur Caffe  pilihan yang tepat  untukku melepas penat, Sudah lama aku tidak merefresh otak yang mulai kusut ini. Dulu sewaktu masih kuliah, aku sering kali mengunjungi Caffe ini.

Caffe ini biasa digunakan para pendaki untuk berkumpul, entah untuk sekedar ngobrol atau menyusun rencana pendakian.
Mendaki gunung salah satu caraku untuk melawan depresi. Pergi ke alam bebas membantuku melupakan kerumitan sejenak.

Bring My Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang