Semakin malam, maka semakin banyak tamu yang datang.
Aku benar-benar lelah seharian ini. Rasanya ingin segera berbaring di kasur. Tapi itu semua hanya mimpi. Kenyataannya aku harus setia menjumpai mereka.
Ucapan selamat banyak aku terima. Mereka mendoakan kebaikan untuk rumah tanggaku. Aku turut mangaamiinkan doa-doanya.
"Sha, kamu kalau capek istirahat aja di kamar," ucap Ummi.
Aku menggeleng. "Enggak apa-apa Ummi."
Sekuat mungkin aku menahan kantuk, tetapi aku tak bisa memungkiri bahwa pada akhirnya aku menguap. Dan Ummi melihat itu.
"Ke kamar aja, Nak. Udah ngantuk gitu," katanya lagi.
"Rumaisha enggak enak Ummi. Masih banyak tamu yang datang," tolakku halus. "Enggak apa-apa di sini, Mi."
"Kamu yakin?"
Aku menganggukkan kepala.
Melihat responsku, Ummi kembali mengobrol dengan kerabatnya.
Beberapa kali mataku hampir terpejam. Syukurnya aku cepat-cepat sadar sebelum ada yang melihatku.
"Rumaisha." Panggilan seseorang mengentakku. Lantas aku melebarkan mataku karena kaget.
Begitu aku mendongak, ternyata Habib Arfeen yang memanggilku. Tanpa tedeng aling-aling, dia mengulurkan tangannya.
Aku mengernyit. Seperkian detik baru sadar dan segera kuterima ulurannya.
"Mi, Arfeen ajak Rumaisha ke kamar, ya."
"Iya, Nak. Kasihan istrimu udah lelah banget itu," ucap Ummi prihatin melihat mataku yang sudah tinggal lima watt ini.
"Kalau gitu kami permisi, ya, ibu-ibu," pamit Habib Arfeen. Aku tidak mampu lagi bicara saking ngantuknya. Alhasih aku hanya tersenyum sopan. Lalu, mengikuti langkahnya ke kamar kami.
**
Aku langsung merebahkan diri begitu saja. Benar-benar ngantuk dan lelah seharian ini. Bukan hanya fisikku, tapi juga batinku karena terus-terusan menjumpai banyak orang yang cukup bikin kepalaku sakit.
Aku memang tidak terbiasa di tempat ramai, bertemu banyak manusia sebab aku gampang pusing berada di keramaian.
Habib Arfeen menarik selimut sampai sedadaku.
Selepas itu, dia berniat bangkit, tapi aku keburu membuka mataku dan menarik langannya.
"Sini aja. Temenin," pintaku.
"Aku masih harus temuin tamu di luar," jawabannya membuatku merengut. "Sebentar aja. Nanti aku baru temenin kamu, Habibati."
"Sebentarnya berapa lama?"
"Lima belas menit, insyaAllah."
Aku mendengus sebal. "Ya sudah." Kembali kupejamkan mataku karena sudah tak kuat menahannya.
Kurasakan hembusan napas di depan wajahku. Aku ingin sekali membuka mata, tapi terasa sulit. Seperti ada batu besar menimpanya.
Kemudian kecupan terasa di kedua kelopak mataku silih berganti.
"Aku sebentar doang nemuin tamu sekalian pamit. Kamu tidur yang nyenyak, ya. Terima kasih buat hari ini."
Yap, aku mendengarnya jelas. Rasanya aku ingin terbang. Tuhan, kenapa suamiku manis sekali.
Menit berikutnya, kasurku melesak dan aku mendengar suara pintu. Mungkin Habib sudah keluar kamar.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Impian
SpiritualSebagai perempuan, tentu menginginkan laki-laki yang baik untuk menjadi imam rumah tangga. Begitupun denganku. Impianku adalah menikah dengan seorang perwira tentara dan menjadi pendampingnya seumur hidup. Namun, takdir tak berpihak padaku. Mimpiku...