Tubuhku membeku di tempat. Di sampingku sudah ada Kak Febi. Sementara di depanku ada Mas Miko dan Habib Arfeen.
Beliau benar-benar datang beberapa saat yang lalu dengan setelan koko sebatas paha berwarna coklat tua dan celana bahan coklat susu.
"Afwan, Habib, ini sudah ada Rumaisha. Tadi ana sudah menjelaskan perihal keinginan Habib ta'aruf dengan Rumaisha, tapi kayaknya Rumaisha masih butuh penjelasan dari Habib langung. Mungkin Habib bisa mengutarakan maksud tersebut," ucap Mas Miko memulai obrolan.
"Saya benar mau ta'aruf dengan kamu, Rumaisha," kata Habib, berhasil membuatku merinding. "Saya meminta Mas Miko buat menjadi perantara."
"Kenapa?"
Hanya satu kata tersebut yang mampu aku ucapkan. Ketiga orang itu menatapku bingung.
"Kenapa saya? Secara garis keturunan, saya bukan syarifah seperti Habib. Saya juga bukan ustazah. Bukan apa-apa, tapi yang saya tau, pernikahan akan terasa sulit saat tidak sekufu," tuturku.
"Kamu benar," kata Habib Arfeen pelan, namun dapat kudengar. Aku sempat mendongak, sekilas kulihat beliau menunduk menatap tangannya yang bertautan. " Sekufu dalam pernikahan memang dianjurkan. Tapi kita juga harus paham bahwa sekufu enggak cuma dari nasab. Saya dan kamu memang tidak sekufu dari jalur nasab, tapi bisa jadi setara di hal lainnya, misal agama, latar belakang pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Arti sekufu enggak bisa dipatok dalam satu nilai tertentu."
"Lalu, saya harus apa sekarang?" Tanyaku polos. Aku benar-benar sudah tidak habis pikir lagi.
"Istikarah, Sha," kata Kak Febi. Dia megusap lembut lenganku. "Minta petunjuk sama Allah."
Aku diam, berusaha berpikir jernih dan memikirkan segalanya.
"Boleh saya tanya satu hal?"
"Tafadhol*." Mas Miko mempersilakanku.
"Jika jawaban yang saya dapatkan adalah iya, apa visi pernikahan Habib Arfeen?"
Habib Arfeen berdeham. "Visi pernikahan yang saya impikan adalah rida Allah. Saya ingin menikah karena Allah, menjalaninya untuk Allah dan sebagai bentuk patuh saya terhadap sunah Rasulullah, juga saya ingin bersama istri beserta anak-anak saya kelak di surga. Pernikahan bagi saya bukan sekadar dunia, tapi juga bernilai surga di akhirat nanti."
"MasyaAllah," ucap Mas Miko dan Kak Febi bersamaan.
Sebenarnya aku juga kagum dengan jawaban Habib Arfeen yang lugas dan pasti. Dalam hati pun aku mengucap masyaAllah.
"Bismillah. Saya belum bilang sama orang tua saya perihal ini. Saya akan bicarakan dengan mereka lebih dulu. Saat ini saya enggak bisa kasih jawaban apa-apa. Dan maaf, mungkin saya memang labil, tapi saya minta waktu untuk berdiskusi dan memikirkan matang-matang."
Habib Arfeen mengangguk. "Baik, saya juga tidak ingin memaksa yang terkesan buru-buru."
"Semoga Allah mudahkan," sahut Mas Miko. Lalu, kami kembali bercakap-cakap sebentar sebelum pulang ke kediaman masing-masing.
**
Sudah lima hari sejak peristiwa Habib Arfeen mengajakku ta'aruf melalui Mas Miko, aku belum memberikan jawaban apapun. Padahal, Mama menyetujuiku untuk menerima tawaran tersebut. Justru Mama sangat senang karena yang datang padaku adalah sosok calon menantu idamannya. Beliau bersyukur karena Allah menjawab doa-doanya agar aku mendapatkan jodoh terbaik.
Aku tidak tahu harus bicara apa. Ini pertama kalinya ada seseorang yang mengajakku serius.
"Ya Allah, aku harus gimana sekarang?" Aku frustrasi dengan diriku. Sebagian diriku menginginkan Habib, tapi di sisi lain, aku merasa minder. Bagaimana kalau keluarganya tidak menerimaku? Lagi pula aku tidak mengenal betul dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Impian
EspiritualSebagai perempuan, tentu menginginkan laki-laki yang baik untuk menjadi imam rumah tangga. Begitupun denganku. Impianku adalah menikah dengan seorang perwira tentara dan menjadi pendampingnya seumur hidup. Namun, takdir tak berpihak padaku. Mimpiku...