Selo—Boyolali, 2016
"AKU nggak bisa lanjutin rencana pernikahan ini, Lun," ujar Alden melalui sambungan telepon.
Ruang berukuran 3x4 meter itu tampak hening pada sepersekian detik. Hanya terdengar angin yang mendayu, membeku. Gadis ayu yang semula telungkup dengan ponsel menempel di telinga, kini berganti posisi menjadi duduk bersila. Ia menarik napas begitu dalam seiring dengan kelopak matanya yang memejam.
"Acara pernikahan kita tinggal tiga hari lagi, Alden." Gadis itu menyahut sembari meremas seprai ranjang, memintal kekesalan yang dipendam.
"Justru itu, Aluna. Sebelum semuanya bener-bener terlambat, mending kita selesaiin dari sekarang aja, 'kan?" Terdengar embusan napas begitu berat. "Aku juga sakit, Lun. Ini nggak mudah, tapi lebih susah lagi kalo kita tetep nerusin semuanya tanpa restu dari ibu bapakku."
Entah sejak kapan, Aluna baru menyadari bahwa pupil matanya memburam. Mungkin sejak dadanya terasa terhimpit nyeri. Tetes bening itu bergulir tanpa sempat ditahannya. Ia menyeka secara tergesa, lantas menghirup napas dengan rakus.
Setengah meragu, tapi Aluna buka suara juga. "Kita bisa usahain semua itu sama-sama, Alden."
Tawa renyah terdengar mengudara. Alden menyahuti, "Mau usaha sampe kapan? Kabeh wi percuma, Lun. Aluna ... mungkin emang udu iki dalane. Jadi, ayo dirampungke ae."
"Nggak. Nggak bisa kayak gitu, Alden." Aluna menyahut cepat. "Kamu inget 'kan, apa aja yang udah kita lalui? Lebih dari tujuh tahun, Den. Tinggal selangkah lagi."
"Itu semua nggak ada apa-apanya dibanding restu orang tua, Lun. Besok aku bakal ke rumah buat jelasin ini semua." Setidaknya itu adalah kalimat terakhir yang Aluna dengar sebelum layar ponsel menyatakan bahwa panggilan terputus.
Tak sampai sedetik, Aluna membuang ponselnya secara asal, membiarkannya menyentuh lantai hingga terdengar hantaman yang begitu keras. Ia menyeka air mata dengan kasar sembari beranjak. Langkah Aluna tampak sedikit gontai menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan dua setel pakaian secara asal, lantas disusul dengan mengenakan sebuah hoodie oversize.
Balik badan menuju meja belajar, Aluna memasukkan laptop pada ransel putih gading. Tak lupa, dimasukkan pula dua setel pakaian tadi. Ia buru-buru menggendong ransel tersebut, disusul mengenakan sneakers putih yang ada. Langkahnya tampak mantap membuka jendela kamar sembari melongokkan kepala, berharap tak ada satu pun yang mengenali. Dalam hitungan detik, Aluna berhasil memijakkan kaki di luar rumah.
Keputusan gegabah itu membawa Aluna di sebuah kafe daerah Tugu Jogja. Bangku-bangku di hadapannya tampak penuh. Otaknya memerintah agar segera pergi, tapi pesanannya sedang diproses dan ia harus menunggu. Ia beralih mengedarkan pandangan, mencari bangku kosong.
Satu-satunya bangku tak bertuan ada di sudut ruang. Aluna bergerak ragu. Pasalnya, bangku tersebut bersebelahan dengan lelaki berkemeja hitam yang tampak sibuk dengan dua hal, layar laptop dan panggilan telepon.
"Permisi, izin duduk." Aluna berujar pelan seraya mendudukkan diri.
Tak ada respons dari lelaki tersebut, membuat Aluna meneruskan aktivitas untuk membuka laptop. Ia lekas menyambungkan internet pada jaringan wifi kafe, lantas mengetik alamat website kirim pesan gratis. Ia menekan salah satu akun milik Laili, kemudian mengetikkan sebuah pesan singkat.
"Rasah ruwet, putus yo putus." Cowok itu menekan tombol merah pada ponsel, lantas meletakkan di atas meja secara asal. "Alay," umpatnya.
Kedua alis Aluna menyatu, berakhir dengan tatapan sinis dan mengejek. "Cen kabeh cowok kii podo ae, ra ndue perasaan."
Cowok berkemeja hitam yang baru saja melanjutkan fokus pada laptop justru terusik. Apalagi tatapan dari Aluna jatuh kepadanya. Sudah pasti ucapan tersebut ditujukan untuknya.
"Minimal yo pake perasaan dong, Mas. Mosok gelut sitik gowonane langsung putus. Lakyo sing alay kui sampean." Aluna memperjelas ucapannya begitu bertemu tatap dengan cowok berkemeja hitam.
Secuil senyum sinis tercetak di bibir cowok itu. Ia bahkan memutus kontak mata lebih dulu. "Kalo nggak paham sama permasalahannya, minimal nggak usah ikut campur."
Belum sempat Aluna menyampaikan pembelaan, sebuah balasan masuk dari Laili. Temannya itu mengatakan sudah sampai di parkiran. Ia beringsut bangkit sembari merangkulkan ransel secara tergesa. Tak lupa, ia meletakkan selembar uang berwarna biru di meja kasir.
Aluna melangkah terburu-buru untuk keluar dari bangunan Sky Cafe, Aluna mengarahkan kaki menuju parkiran. Di sana, Laili sudah menyambut kedatangannya dengan menyodorkan helm. Aluna menggeleng tak percaya pada temannya yang masih gemar memakai kemeja flanel dengan jeans gombrong itu. Aluna beringsut mendekapnya lebih dulu.
"Ibukmu wes tak andani nak koe rene. Sesuk neh ojo lali pamit." Laili mengusap punggung Aluna dengan sebelah tangan, sebelahnya lagi masih terlilit helm. "Ayo golek tempat, aku siap ngrungokne masio ngasi isuk."
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...