✨prolog

70 16 35
                                    

Selo—Boyolali, 2016

"AKU nggak bisa lanjutin rencana pernikahan ini, Lun," ujar Alden melalui sambungan telepon.

Ruang berukuran 3x4 meter itu tampak hening pa­da sepersekian detik. Hanya terdengar angin yang men­dayu, membeku. Gadis ayu yang semula telungkup de­ngan ponsel menempel di telinga, kini berganti posisi men­jadi duduk bersila. Ia menarik napas begitu dalam sei­ring dengan kelopak matanya yang memejam.

"Acara pernikahan kita tinggal tiga hari lagi, Al­den." Gadis itu menyahut sembari meremas seprai ran­jang, memintal kekesalan yang dipendam.

"Justru itu, Aluna. Sebelum semuanya bener-bener ter­lambat, mending kita selesaiin dari sekarang aja, 'kan?" Ter­dengar embusan napas begitu berat. "Aku juga sakit, Lun. Ini nggak mudah, tapi lebih susah lagi kalo kita tetep ne­rusin semuanya tanpa restu dari ibu bapakku."

Entah sejak kapan, Aluna baru menyadari bahwa pu­pil matanya memburam. Mungkin sejak dadanya terasa ter­himpit nyeri. Tetes bening itu bergulir tanpa sempat di­ta­hannya. Ia menyeka secara tergesa, lantas menghirup na­pas dengan rakus.

Setengah meragu, tapi Aluna buka suara juga. "Kita bi­sa usahain semua itu sama-sama, Alden."

Tawa renyah terdengar mengudara. Alden menya­hut­i, "Mau usaha sampe kapan? Kabeh wi percuma, Lun. Alu­na ... mungkin emang udu iki dalane. Jadi, ayo diram­pung­ke ae."

"Nggak. Nggak bisa kayak gitu, Alden." Aluna me­nya­hut cepat. "Kamu inget 'kan, apa aja yang udah kita la­lui? Lebih dari tujuh tahun, Den. Tinggal selangkah lagi."

"Itu semua nggak ada apa-apanya dibanding restu o­rang tua, Lun. Besok aku bakal ke rumah buat jelasin ini se­mua." Setidaknya itu adalah kalimat terakhir yang Aluna de­ngar sebelum layar ponsel menyatakan bahwa pang­gil­an terputus.

Tak sampai sedetik, Aluna membuang ponselnya se­ca­ra asal, membiarkannya menyentuh lantai hingga ter­de­ngar hantaman yang begitu keras. Ia menyeka air mata de­ngan kasar sembari beranjak. Langkah Aluna tampak se­dikit gontai menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan du­a setel pakaian secara asal, lantas disusul dengan me­nge­na­kan sebuah hoodie oversize.

Balik badan menuju meja belajar, Aluna memasuk­kan laptop pada ransel putih gading. Tak lupa, dimasuk­kan pula dua setel pakaian tadi. Ia buru-buru menggen­dong ransel tersebut, disusul mengenakan sneakers putih yang ada. Langkahnya tampak mantap membuka jendela ka­mar sembari melongokkan kepala, berharap tak ada sa­tu pun yang mengenali. Dalam hitungan detik, Aluna ber­ha­sil memijakkan kaki di luar rumah.

Keputusan gegabah itu membawa Aluna di sebuah ka­fe daerah Tugu Jogja. Bangku-bangku di hadapannya tam­­pak penuh. Otaknya memerintah agar segera pergi, ta­pi pesanannya sedang diproses dan ia harus menunggu. Ia ber­alih mengedarkan pandangan, mencari bangku kosong.

Satu-satunya bangku tak bertuan ada di sudut ruang. Alu­na bergerak ragu. Pasalnya, bangku tersebut berse­be­lah­an dengan lelaki berkemeja hitam yang tampak sibuk de­ngan dua hal, layar laptop dan panggilan telepon.

"Permisi, izin duduk." Aluna berujar pelan seraya men­dudukkan diri.

Tak ada respons dari lelaki tersebut, membuat Alu­na meneruskan aktivitas untuk membuka laptop. Ia lekas me­nyambungkan internet pada jaringan wifi kafe, lantas me­ngetik alamat website kirim pesan gratis. Ia menekan sa­lah satu akun milik Laili, kemudian mengetikkan sebuah pe­san singkat.

"Rasah ruwet, putus yo putus." Cowok itu menekan tom­bol merah pada ponsel, lantas meletakkan di atas me­ja secara asal. "Alay," umpatnya.

Kedua alis Aluna menyatu, berakhir dengan tatapan si­nis dan mengejek. "Cen kabeh cowok kii podo ae, ra ndue pe­ra­saan."

Cowok berkemeja hitam yang baru saja melan­jut­kan fokus pada laptop justru terusik. Apalagi tatapan dari Alu­na jatuh kepadanya. Sudah pasti ucapan tersebut ditu­ju­kan untuknya.

"Minimal yo pake perasaan dong, Mas. Mosok gelut si­tik gowonane langsung putus. Lakyo sing alay kui sampean." Alu­na memperjelas ucapannya begitu bertemu tatap de­ngan cowok berkemeja hitam.

Secuil senyum sinis tercetak di bibir cowok itu. Ia bah­kan memutus kontak mata lebih dulu. "Kalo nggak pa­ham sama permasalahannya, minimal nggak usah ikut cam­pur."

Belum sempat Aluna menyampaikan pembelaan, se­buah balasan masuk dari Laili. Temannya itu mengata­kan sudah sampai di parkiran. Ia beringsut bangkit sem­ba­ri merangkulkan ransel secara tergesa. Tak lupa, ia me­le­takkan selembar uang berwarna biru di meja kasir.

Aluna melangkah terburu-buru untuk keluar dari ba­ngunan Sky Cafe, Aluna mengarahkan kaki menuju par­kir­an. Di sana, Laili sudah menyambut kedatangannya de­ngan menyodorkan helm. Aluna menggeleng tak percaya pa­da temannya yang masih gemar memakai kemeja flanel de­ngan jeans gombrong itu. Aluna beringsut mendekapnya lebih dulu.

"Ibukmu wes tak andani nak koe rene. Sesuk neh ojo lali pa­mit." Laili mengusap punggung Aluna dengan sebelah ta­ngan, sebelahnya lagi masih terlilit helm. "Ayo golek tem­pat, aku siap ngrungokne masio ngasi isuk."

🌻🌻🌻

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang