🌻bagian 7. makin tua makin murah harganya

27 3 1
                                    

"NDUK, beneran nggak ada apa-apa sama mas kemarin itu?" tanya Ibu, lagi.

Aluna menyugar rambut dengan kasar. Sudah sepe­kan berlalu dan ia mendengar pertanyaan tersebut lebih da­ri dua puluh kali dari ibunya. Ia bahkan tak tahan untuk ti­dak melempar tatapan tajam pada Ibu yang tengah sibuk menjahit itu.

"Namanya Alby, Buk. Dia ngasih tumpangan dari ban­dara ke Sleman, soalnya kondisi Aluna kurang bagus wak­tu itu. Kita cuma sebatas tau nama, dan kemarin juga cu­ma basa-basi," tutur Aluna. "Udah, ah, dari kemarin Ibuk nanya itu terus wi." Aluna berujar penuh kekesalan, ber­harap ini adalah kali terakhir menjawab pertanyaan ter­se­but.

"Ya sudah, tinggal dibuat ada apa-apa aja. Dia co­cok banget jadi mantunya Ibuk." Ibu menimpali dengan ri­ngan.

Aluna menggeleng pelan. "Aluna masih mau mem­ba­hagiakan diri sendiri, bareng sama Ibuk terus, pokok­nya belum siap buat komitmen jangka panjang."

Helaan napas Ibu terdengar kasar. Ia masih tak me­no­leh untuk berujar. "Ibuk yang capek dengernya, Nduk. Di mana-mana pasti denger aja kalo ibunya Alden itu bi­lang kamu gagal move on sama anaknya, sampe ngemis-nge­mis, cinta matilah katanya."

Kaki Ibu berhenti menekan bagian bawah mesin ja­hit. Ia mendongakkan kepala, berganti menatap tanaman di depan. Letak mesin jahit itu tepat di depan jendela, se­hing­ga ia bisa leluasa memandang pekarangan rumah.

Sesaat, Ibu menimbang pertanyaan yang akan diaju­kan. Hanya sesaat sebelum ia bertanya tanpa menoleh pa­da Aluna yang duduk di kursi santai.

"Terus ya, ibunya Alden itu kalo cerita soal mantu­nya ... duh, suka dilebih-lebihin, Nduk. Yang katanya lu­lus­an pondok, jebolan UGM, karirnya melejit ke mana-ma­na, jebul sekarang malah ngasih gugatan cerai, anaknya ju­ga ditelantarin. Kasihan," ujar Ibu, masih dengan ta­tap­an yang jatuh ke tanaman-tanaman di pekarangan rumah.

Rumah dengan desain khas Joglo itu tampak hening. Ma­sih belum ada respons dari Aluna. Hanya terdengar de­heman pelan. Apalagi gadis itu tampak membolak-balik be­berapa CV calon karyawannya. Ia tampak beberapa kali mem­baca ulang, menandai dengan highlighter yang dibawa.

Sebelum melanjutkan kegiatan menjahitnya, Ibu me­noleh. "Sam­pe sekarang, kalo inget ibunya Alden itu yang nggak pernah baik ke kamu, Nduk ... rasanya ibuk pe­ngin ba­nget bales dendam. Tapi ya ... Gusti Allah mbo­ten sare."

Aluna mendongak, pernyataan barusan terdengar me­­ngusik meski menarik. Ia bertemu tatap dengan sang Ibu, mengutarakan protes tanpa suara. Bahkan lembar CV yang ada di pangkuan, dilipat begitu saja.

"Ibuk nggak pernah minta biar mereka ngerasain sa­kit yang sama, tapi, begitu lihat Alden yang sekarang ja­di single parents ... Ibuk agak sedikit merasa lega dan ka­sih­an juga sebenernya."

Kalimat itu membuat Aluna termenung. "Aluna u­dah maafin Alden, Buk. Kita tutup bab soal Alden, ya," pu­tusnya sembari melanjutkan aktivitas membaca CV ca­lon karyawannya.

Lumayan banyak berkas lamaran yang masuk untuk Keep Your Caffe Selo. Padahal Aluna sangat menyadari bah­wa saat ini ia tak butuh begitu banyak karyawan. Na­mun, Aluna menekan diri untuk benar-benar fokus dalam pe­nyeleksian berkas. Rencananya, esok hari akan dipilih­nya 20 orang untuk melanjutkan seleksi wawancara.

Aluna menyesap kopi hitam yang berada tak jauh da­rinya. Ia lekas memindah beberapa berkas yang dipilih me­nuju kursi kosong yang ada. Manik matanya kembali fo­kus membaca bagian pengalaman kerja.

"Nduk, kemarin pas Ibuk sama Mbah Uti nyari bu­nga, malah ketemu sama ibunya Rehan. Masih inget ndak ... Rehan temenmu pas SD? Dulu itu, 'kan, dia gen­dut banget ya, kemaren itu malah jadi buagus pol orangnya, so­pan banget lagi. Kelihatannya gemati banget." Ibu me­ma­parkannya dengan mata berbinar, lantas menoleh ke be­lakang, melirik putri tunggalnya. "Pasti cocok banget ja­di mantunya Ibuk," lanjutnya.

Ibu lantas menatap putrinya itu secara penuh. "I­buk juga udah bikin janji sama ibunya Rehan buat ketemu bu­lan depan, sekalian ngajak kamu sama Rehan biar bisa ke­nal lebih deket," ujar Ibu dengan nada riang.

Aluna meletakkan berkas terakhir yang dipilihnya ke tumpukan berkas sebelumnya. Ia beralih merapikan 20 ber­kas lamaran itu sembari sesekali mendesis jengkel. Pa­sal­nya, Ibu juga baru saja mempertemukannya dengan Yo­ga—teman semasa SMK di acara Car Free Day ming­gu kemarin.

"Aluna belum siap punya pasangan, Buk. Nanti ka­lo ada juga bakal langsung Aluna bawa ke rumah." Aluna lan­tas berdiri, mendekap berkas-berkasnya untuk dibawa per­gi.

Hanya desah lesu yang terdengar dari Ibuk. "Dua ta­hun lagi kamu udah kepala tiga, Nduk. Kalo bukan se­ka­rang, kapan lagi? Orang-orang tau kalo kamu sukses, pu­nya usaha, cantik, pinter, tapi apa gunanya kalo jadi pe­ra­wan tua?"

"Perempuan itu nggak pantes nikah di atas 25 ta­hun, Nduk. Kalo sampe kepala tiga, siapa yang mau nikah sa­ma kamu? Makin tua, makin murah harganya."

"Orang-orang di desa ini nggak ada yang nggak gun­jingin kecacatan keluarga kita. Bapakmu yang kabur­lah, pernikahanmu yang gagal lah, kamu yang belum ni­kahlah." Terpatah-patah, Ibu lekas menarik napas panjang. "Nggak kasihan tah, sama Ibuk?"

Jemari Aluna menyeka air mata yang tak sempat ter­tahan. "Ini hidup Aluna, Buk. Kalo Aluna milih jalan ini, berarti Aluna juga tau sama konsekuensinya. Masa apa-apa harus sama kayak Ibuk?"

Tak pernah Aluna duga sebelumnya jika obrolan itu me­­letuskan emosi masing-masing. Sudah lebih dari tiga ha­ri Ibu mendiamkannya, menjadikan Aluna ikut menjaga ja­rak.

🌻🌻🌻

Suapan ketiga dari potongan sosis ayam yang dicocol saus sam­bal, Aluna sudah menatap tak berminat. Ia kehilangan se­lera makan sejak dua hari yang lalu. Aktivitasnya padat me­rayap untuk menyiapkan program grand opening Keep Your Caffe Selo. Belum lagi ia bertanggung jawab pada trai­ning karyawan. Aluna mendadak memijit pelipis jika meng­ingat hal tersebut.

"Mbak Aluna, aku pulang dulu, ya." Andrea, kar­ya­wan training asal Mojosongo Boyolali itu berpamitan.

Aluna mengangguk cepat, buru-buru memasang se­nyum jumawanya. "Okay, Ndre. Makasih banyak loh, ya. Ja­ngan lupa jaga kesehatan."

"Mbak Aluna juga," balasnya sebelum hilang dite­lan langkah.

Senyap, Aluna adalah satu-satunya penghuni kafe ma­lam itu. Ia mengunyah makanan tanpa tenaga. Sedikit ba­nyak, hal ini dipengaruhi oleh memburuknya komuni­ka­si dengan sang Ibu. Beberapa kali bahkan Aluna tidur di kafe, berpamitan pun hanya melalui pesan daring.

Aluna memutuskan untuk menonton Hospital Play­list, sebuah drama korea dengan genre komedi berlatar ru­mah sakit. Baru memutar episode pertama, nafsu ma­kan Aluna sudah mulai meningkat. Namun, baru setengah ber­jalan, video tersebut terhenti akibat panggilan telepon ma­suk. Nama Laili terpajang di sana.

"Orang yang punya hape masuk rumah sakit. Sori banget tak ganggu malem-malem, soalnya ini kontak yang paling banyak dia hubungi." Kalimat itu terlantun begitu cepat dari sebe­rang.

"Tolong share loc." Hanya itu yang dapat Aluna lon­tar­kan sebelum tergesa meraih ransel.

Usai memutus sambungan telepon tersebut, Aluna bu­ru-buru mengeluarkan kunci pintu kafe. Ia langsung meng­hampiri motornya yang terparkir di bagian depan. Na­mun, Aluna menyempatkan diri untuk membuka ko­lom pesan dengan Ibu.

Aluna:

Ibuk, Aluna pamit ke Jogja. Laili masuk RS.

🌻🌻🌻

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang