"NDUK, beneran nggak ada apa-apa sama mas kemarin itu?" tanya Ibu, lagi.
Aluna menyugar rambut dengan kasar. Sudah sepekan berlalu dan ia mendengar pertanyaan tersebut lebih dari dua puluh kali dari ibunya. Ia bahkan tak tahan untuk tidak melempar tatapan tajam pada Ibu yang tengah sibuk menjahit itu.
"Namanya Alby, Buk. Dia ngasih tumpangan dari bandara ke Sleman, soalnya kondisi Aluna kurang bagus waktu itu. Kita cuma sebatas tau nama, dan kemarin juga cuma basa-basi," tutur Aluna. "Udah, ah, dari kemarin Ibuk nanya itu terus wi." Aluna berujar penuh kekesalan, berharap ini adalah kali terakhir menjawab pertanyaan tersebut.
"Ya sudah, tinggal dibuat ada apa-apa aja. Dia cocok banget jadi mantunya Ibuk." Ibu menimpali dengan ringan.
Aluna menggeleng pelan. "Aluna masih mau membahagiakan diri sendiri, bareng sama Ibuk terus, pokoknya belum siap buat komitmen jangka panjang."
Helaan napas Ibu terdengar kasar. Ia masih tak menoleh untuk berujar. "Ibuk yang capek dengernya, Nduk. Di mana-mana pasti denger aja kalo ibunya Alden itu bilang kamu gagal move on sama anaknya, sampe ngemis-ngemis, cinta matilah katanya."
Kaki Ibu berhenti menekan bagian bawah mesin jahit. Ia mendongakkan kepala, berganti menatap tanaman di depan. Letak mesin jahit itu tepat di depan jendela, sehingga ia bisa leluasa memandang pekarangan rumah.
Sesaat, Ibu menimbang pertanyaan yang akan diajukan. Hanya sesaat sebelum ia bertanya tanpa menoleh pada Aluna yang duduk di kursi santai.
"Terus ya, ibunya Alden itu kalo cerita soal mantunya ... duh, suka dilebih-lebihin, Nduk. Yang katanya lulusan pondok, jebolan UGM, karirnya melejit ke mana-mana, jebul sekarang malah ngasih gugatan cerai, anaknya juga ditelantarin. Kasihan," ujar Ibu, masih dengan tatapan yang jatuh ke tanaman-tanaman di pekarangan rumah.
Rumah dengan desain khas Joglo itu tampak hening. Masih belum ada respons dari Aluna. Hanya terdengar deheman pelan. Apalagi gadis itu tampak membolak-balik beberapa CV calon karyawannya. Ia tampak beberapa kali membaca ulang, menandai dengan highlighter yang dibawa.
Sebelum melanjutkan kegiatan menjahitnya, Ibu menoleh. "Sampe sekarang, kalo inget ibunya Alden itu yang nggak pernah baik ke kamu, Nduk ... rasanya ibuk pengin banget bales dendam. Tapi ya ... Gusti Allah mboten sare."
Aluna mendongak, pernyataan barusan terdengar mengusik meski menarik. Ia bertemu tatap dengan sang Ibu, mengutarakan protes tanpa suara. Bahkan lembar CV yang ada di pangkuan, dilipat begitu saja.
"Ibuk nggak pernah minta biar mereka ngerasain sakit yang sama, tapi, begitu lihat Alden yang sekarang jadi single parents ... Ibuk agak sedikit merasa lega dan kasihan juga sebenernya."
Kalimat itu membuat Aluna termenung. "Aluna udah maafin Alden, Buk. Kita tutup bab soal Alden, ya," putusnya sembari melanjutkan aktivitas membaca CV calon karyawannya.
Lumayan banyak berkas lamaran yang masuk untuk Keep Your Caffe Selo. Padahal Aluna sangat menyadari bahwa saat ini ia tak butuh begitu banyak karyawan. Namun, Aluna menekan diri untuk benar-benar fokus dalam penyeleksian berkas. Rencananya, esok hari akan dipilihnya 20 orang untuk melanjutkan seleksi wawancara.
Aluna menyesap kopi hitam yang berada tak jauh darinya. Ia lekas memindah beberapa berkas yang dipilih menuju kursi kosong yang ada. Manik matanya kembali fokus membaca bagian pengalaman kerja.
"Nduk, kemarin pas Ibuk sama Mbah Uti nyari bunga, malah ketemu sama ibunya Rehan. Masih inget ndak ... Rehan temenmu pas SD? Dulu itu, 'kan, dia gendut banget ya, kemaren itu malah jadi buagus pol orangnya, sopan banget lagi. Kelihatannya gemati banget." Ibu memaparkannya dengan mata berbinar, lantas menoleh ke belakang, melirik putri tunggalnya. "Pasti cocok banget jadi mantunya Ibuk," lanjutnya.
Ibu lantas menatap putrinya itu secara penuh. "Ibuk juga udah bikin janji sama ibunya Rehan buat ketemu bulan depan, sekalian ngajak kamu sama Rehan biar bisa kenal lebih deket," ujar Ibu dengan nada riang.
Aluna meletakkan berkas terakhir yang dipilihnya ke tumpukan berkas sebelumnya. Ia beralih merapikan 20 berkas lamaran itu sembari sesekali mendesis jengkel. Pasalnya, Ibu juga baru saja mempertemukannya dengan Yoga—teman semasa SMK di acara Car Free Day minggu kemarin.
"Aluna belum siap punya pasangan, Buk. Nanti kalo ada juga bakal langsung Aluna bawa ke rumah." Aluna lantas berdiri, mendekap berkas-berkasnya untuk dibawa pergi.
Hanya desah lesu yang terdengar dari Ibuk. "Dua tahun lagi kamu udah kepala tiga, Nduk. Kalo bukan sekarang, kapan lagi? Orang-orang tau kalo kamu sukses, punya usaha, cantik, pinter, tapi apa gunanya kalo jadi perawan tua?"
"Perempuan itu nggak pantes nikah di atas 25 tahun, Nduk. Kalo sampe kepala tiga, siapa yang mau nikah sama kamu? Makin tua, makin murah harganya."
"Orang-orang di desa ini nggak ada yang nggak gunjingin kecacatan keluarga kita. Bapakmu yang kaburlah, pernikahanmu yang gagal lah, kamu yang belum nikahlah." Terpatah-patah, Ibu lekas menarik napas panjang. "Nggak kasihan tah, sama Ibuk?"
Jemari Aluna menyeka air mata yang tak sempat tertahan. "Ini hidup Aluna, Buk. Kalo Aluna milih jalan ini, berarti Aluna juga tau sama konsekuensinya. Masa apa-apa harus sama kayak Ibuk?"
Tak pernah Aluna duga sebelumnya jika obrolan itu meletuskan emosi masing-masing. Sudah lebih dari tiga hari Ibu mendiamkannya, menjadikan Aluna ikut menjaga jarak.
🌻🌻🌻
Suapan ketiga dari potongan sosis ayam yang dicocol saus sambal, Aluna sudah menatap tak berminat. Ia kehilangan selera makan sejak dua hari yang lalu. Aktivitasnya padat merayap untuk menyiapkan program grand opening Keep Your Caffe Selo. Belum lagi ia bertanggung jawab pada training karyawan. Aluna mendadak memijit pelipis jika mengingat hal tersebut.
"Mbak Aluna, aku pulang dulu, ya." Andrea, karyawan training asal Mojosongo Boyolali itu berpamitan.
Aluna mengangguk cepat, buru-buru memasang senyum jumawanya. "Okay, Ndre. Makasih banyak loh, ya. Jangan lupa jaga kesehatan."
"Mbak Aluna juga," balasnya sebelum hilang ditelan langkah.
Senyap, Aluna adalah satu-satunya penghuni kafe malam itu. Ia mengunyah makanan tanpa tenaga. Sedikit banyak, hal ini dipengaruhi oleh memburuknya komunikasi dengan sang Ibu. Beberapa kali bahkan Aluna tidur di kafe, berpamitan pun hanya melalui pesan daring.
Aluna memutuskan untuk menonton Hospital Playlist, sebuah drama korea dengan genre komedi berlatar rumah sakit. Baru memutar episode pertama, nafsu makan Aluna sudah mulai meningkat. Namun, baru setengah berjalan, video tersebut terhenti akibat panggilan telepon masuk. Nama Laili terpajang di sana.
"Orang yang punya hape masuk rumah sakit. Sori banget tak ganggu malem-malem, soalnya ini kontak yang paling banyak dia hubungi." Kalimat itu terlantun begitu cepat dari seberang.
"Tolong share loc." Hanya itu yang dapat Aluna lontarkan sebelum tergesa meraih ransel.
Usai memutus sambungan telepon tersebut, Aluna buru-buru mengeluarkan kunci pintu kafe. Ia langsung menghampiri motornya yang terparkir di bagian depan. Namun, Aluna menyempatkan diri untuk membuka kolom pesan dengan Ibu.
Aluna:
Ibuk, Aluna pamit ke Jogja. Laili masuk RS.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...