✨bagian 6. cocok banget jadi mantunya ibu

16 2 0
                                    

JEMARI Aluna piawai menggerakkan gunting untuk me­mo­tong bagian-bagian double tape. Ia berganti menem­pel­kan potongan double tape tersebut pada belakang bagian pos­ter. Tersisa beberapa poster informasi lowongan pe­ker­jaan yang belum ditempeli double tape, Aluna lebih dulu me­lakukan peregangan.

Es jeruk yang berada di sudut meja digapai oleh Alu­na, diteguknya perlahan. Ia mendesah lega begitu mi­num­an dingin itu membasahi kerongkongan. Manik mata­nya melirik tak berminat pada tumpukan poster lowongan pe­kerjaan.

"Lek Tur, ini beberapa belum ditempeli double tape. Njuk tulung, ya." Aluna menunjuk bagian poster yang di­mak­sud hingga diangguki oleh Paklek Turmuji. "Ibuk so­al­nya udah ribut nyuruh pulang, mau kondangan," lanjut Alu­na.

Paklek Turmuji tampak mengacungkan salah satu ibu jari. "Woke, aman, Mbak Aluna."

Aluna mengangguk mendapati respons tersebut. Ia ber­anjak bangkit, meraih sling bag yang diletakkannya di me­ja lain. Begitu memastikan bahwa barangnya tak ada yang tertinggal, Aluna melangkah sembari mengeluarkan kun­ci motor. Dalam langkahnya, ia juga menyapa bebera­pa pegawai yang dipapasi.

Bude Siti yang membawa nampan berisi beberapa ge­las teh hangat menyempatkan diri untuk berhenti seje­nak. "Udah mau pulang, Mbak Aluna?" tanyanya.

"Nggih, Bude. Dapet undangan ke nikahannya Jeni," ba­las Aluna.

"Wah, itu katanya resepsi di gedung. Biayanya mua­hal lho, Mbak Aluna," timpal Mbak Anik yang melewati ke­duanya, hendak membantu untuk mengambil camilan.

Aluna menggaruk tengkuk yang tak gatal. Pandang­an­nya mengikuti arah Mbak Anik yang melangkah me­nu­ju sudut ruang. Di sana terdapat pula Bude Win dan Bu­lek Tari yang sedang menata peralatan dapur.

"Jare etuk bojo wong Solo, sugih sisan, kerjone kantor­an." Bulek Tari meneruskan topik pembicaraan seputar Je­ni.

Anggukan semangat tampak berasal dari Bude Win, lan­tas menyahuti, "Bojone ketok tuwik ngono pas lamaran wi­ngi. Duda anak dua. Ra matuk blas."

Aluna beralih mengecek jam di pergelangan tangan. Tam­pak jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, ter­sisa dua jam untuk bersiap-siap menghadiri pernikahan Je­ni. Ia akhirnya pamit lebih dulu sebelum meneruskan lang­kahnya untuk keluar dari bangunan kafe.

Motor Beat dengan perpaduan abu hitam itu di­ham­piri Aluna. Badannya membungkuk sebentar untuk mem­beri tanda permisi dan pamit pada pegawai yang ada. U­sai itu, ia baru melajukan motor untuk membelah jalan.

Jalanan sekitar Aluna tampak lengang meski ber­ke­lak-kelok. Di sekitarnya ditanami daun bawang dan cabai yang tampak subur. Jalanan itu tampak dekat sekali de­ngan awan, bahkan terasa di atasnya. Sehingga udara di se­kitar semakin terasa dingin—hampir beku. Hal ini di­ka­re­nakan wilayahnya yang masuk kaki gunung Merbabu.

Usai bersiap dengan tergesa-gesa, Aluna menge­mu­di­kan mobil menuju Boyolali kota. Informasi yang dibe­ri­kan Ibu, Jeni melakukan resepsi pernikahan di gedung Cen­dani. Jeni merupakan adik kelas semasa SD, berbeda li­ma tahun dengannya.

"Besok kalo nikah, acaranya di rumah aja ya, Nduk. Ka­lo harus turun ke kota kii kasihan tamunya, jauh." Ibu mem­buka pembicaraan keduanya.

Aluna menoleh cepat, mendapati raut ibunya yang tam­pak tenang. "Aluna manut, Buk. Di mana-mana juga sa­ma aja," jawabnya sembari melanjutkan fokus pada ja­lan­an.

Ibu terdiam sesaat, lantas menjatuhkan pandangan pa­da jendela mobil. "Eh, Nduk, inget anaknya Bude Kar­ti­ka yang di Baki? Itu lho, yang dulu pernah ketemu pas SMP. Lha kemarin itu ibuk ketemu, wes buagus kae bocah e."

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang