JEMARI Aluna piawai menggerakkan gunting untuk memotong bagian-bagian double tape. Ia berganti menempelkan potongan double tape tersebut pada belakang bagian poster. Tersisa beberapa poster informasi lowongan pekerjaan yang belum ditempeli double tape, Aluna lebih dulu melakukan peregangan.
Es jeruk yang berada di sudut meja digapai oleh Aluna, diteguknya perlahan. Ia mendesah lega begitu minuman dingin itu membasahi kerongkongan. Manik matanya melirik tak berminat pada tumpukan poster lowongan pekerjaan.
"Lek Tur, ini beberapa belum ditempeli double tape. Njuk tulung, ya." Aluna menunjuk bagian poster yang dimaksud hingga diangguki oleh Paklek Turmuji. "Ibuk soalnya udah ribut nyuruh pulang, mau kondangan," lanjut Aluna.
Paklek Turmuji tampak mengacungkan salah satu ibu jari. "Woke, aman, Mbak Aluna."
Aluna mengangguk mendapati respons tersebut. Ia beranjak bangkit, meraih sling bag yang diletakkannya di meja lain. Begitu memastikan bahwa barangnya tak ada yang tertinggal, Aluna melangkah sembari mengeluarkan kunci motor. Dalam langkahnya, ia juga menyapa beberapa pegawai yang dipapasi.
Bude Siti yang membawa nampan berisi beberapa gelas teh hangat menyempatkan diri untuk berhenti sejenak. "Udah mau pulang, Mbak Aluna?" tanyanya.
"Nggih, Bude. Dapet undangan ke nikahannya Jeni," balas Aluna.
"Wah, itu katanya resepsi di gedung. Biayanya muahal lho, Mbak Aluna," timpal Mbak Anik yang melewati keduanya, hendak membantu untuk mengambil camilan.
Aluna menggaruk tengkuk yang tak gatal. Pandangannya mengikuti arah Mbak Anik yang melangkah menuju sudut ruang. Di sana terdapat pula Bude Win dan Bulek Tari yang sedang menata peralatan dapur.
"Jare etuk bojo wong Solo, sugih sisan, kerjone kantoran." Bulek Tari meneruskan topik pembicaraan seputar Jeni.
Anggukan semangat tampak berasal dari Bude Win, lantas menyahuti, "Bojone ketok tuwik ngono pas lamaran wingi. Duda anak dua. Ra matuk blas."
Aluna beralih mengecek jam di pergelangan tangan. Tampak jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, tersisa dua jam untuk bersiap-siap menghadiri pernikahan Jeni. Ia akhirnya pamit lebih dulu sebelum meneruskan langkahnya untuk keluar dari bangunan kafe.
Motor Beat dengan perpaduan abu hitam itu dihampiri Aluna. Badannya membungkuk sebentar untuk memberi tanda permisi dan pamit pada pegawai yang ada. Usai itu, ia baru melajukan motor untuk membelah jalan.
Jalanan sekitar Aluna tampak lengang meski berkelak-kelok. Di sekitarnya ditanami daun bawang dan cabai yang tampak subur. Jalanan itu tampak dekat sekali dengan awan, bahkan terasa di atasnya. Sehingga udara di sekitar semakin terasa dingin—hampir beku. Hal ini dikarenakan wilayahnya yang masuk kaki gunung Merbabu.
Usai bersiap dengan tergesa-gesa, Aluna mengemudikan mobil menuju Boyolali kota. Informasi yang diberikan Ibu, Jeni melakukan resepsi pernikahan di gedung Cendani. Jeni merupakan adik kelas semasa SD, berbeda lima tahun dengannya.
"Besok kalo nikah, acaranya di rumah aja ya, Nduk. Kalo harus turun ke kota kii kasihan tamunya, jauh." Ibu membuka pembicaraan keduanya.
Aluna menoleh cepat, mendapati raut ibunya yang tampak tenang. "Aluna manut, Buk. Di mana-mana juga sama aja," jawabnya sembari melanjutkan fokus pada jalanan.
Ibu terdiam sesaat, lantas menjatuhkan pandangan pada jendela mobil. "Eh, Nduk, inget anaknya Bude Kartika yang di Baki? Itu lho, yang dulu pernah ketemu pas SMP. Lha kemarin itu ibuk ketemu, wes buagus kae bocah e."
![](https://img.wattpad.com/cover/323051430-288-k786512.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...