🌻bagian 3. kabar kamu baik, 'kan?

37 8 6
                                    

BEBERAPA kali Aluna mengecek jam di pergelangan ta­ngan. Ia sudah tiba di Bandara Kulon Progo-Yogyakarta se­jak seperempat jam yang lalu. Lalu lintas dalam bandara tak begitu ramai, mungkin karena ini masih pukul 01.30 di­ni hari. Udara dingin-hampir membekukan bagi Aluna, me­rasuk ke rongga hidung. Ia semakin melebarkan lang­kah seiring dengan koper merah jambu yang berjalan ce­pat.

Aluna mengeratkan jaket, lagi. Tangan kanannya si­buk dengan ponsel, memesan ojek online agar segera mem­­ba­wanya ke penginapan. Begitu sampai di bagian pin­tu keluar, Aluna segera mencari tempat duduk terdekat.

"Anjir, bisa-bisanya di-cancel gitu aja," umpatnya pe­lan sembari mendudukkan diri.

Meski kesal setengah mati karena pesanannya di­ba­tal­kan, Aluna tetap mencoba mencari driver ojek online di ti­ga platform berbeda. Namun, kobaran semangat itu ha­nya berlangsung selama sepuluh menit, hingga Aluna me­mu­tuskan untuk mengabari Winda terlebih dahulu.

"Tante ...." Sebuah panggilan dilayangkan anak ke­cil yang dibalut jaket jeans berpadu bulu-bulu di tepiannya.

Aluna menoleh, mendapati anak perempuan yang ber­diri di hadapannya sembari memilin bulu-bulu jaket­nya. "Eh, ya? Kenapa?"

Anak perempuan dengan perkiraan umur tiga ta­hun­an itu menunduk, menahan tangis yang hampir pecah. "Bo­leh tolong cariin ibu Abel, nggak? Katanya tadi mau be­liin Abel minum, tapi Ibu nggak balik-balik." Ia meng­u­sap air mata yang jatuh.

Buru-buru Aluna memasukkan ponsel ke ransel. Ia ber­alih jongkok di depan Abel dan mengusap kedua ba­hu­nya. Aluna berharap hal ini akan memberi ketenangan.

"Abel udah berapa lama nunggu ibunya?" tanya Alu­na perlahan, sedikit terserang panik karena Abel beru­lang kali mengusap air mata.

"Udah ... lama banget, Tante." Abel terisak, kata-ka­ta yang keluar terdengar patah. Namun, ia mulai me­na­tap Aluna.

Dengan segenap kekuatan yang ada, Aluna mende­kap Abel. Butuh beberapa saat hingga Abel menghentikan ta­ngisnya. Setelah berhenti, Aluna mempersilakannya un­tuk duduk bersebelahan di bangku. Ia ingat dengan mi­num­an cokelat yang dibawanya dari Jakarta.

"Abel minum ini dulu, ya. Kalo udah, Tante anterin ke bagian informasi, nanti ibunya Abel bakal dipanggil sa­ma petugas, ngasih tau kalo ada Abel di sini." Aluna ber­u­jar sembari menyodorkan sebotol minuman cokelat.

Abel menunduk dalam. "Kalo Ibu nggak datang, gi­ma­na ya, Tante? Abel takut ...."

"Nanti Tante temenin sampe ibunya Abel dateng. Ibu pasti sekarang juga lagi khawatirin Abel."

Usai melaporkan mengenai hilangnya ibu Abel, Alu­na memutuskan untuk menunda perjalanan menuju peng­i­napan. Ia menghabiskan waktunya bersama Abel, meng­obrol hingga subuh. Aluna menyimpan keyakinan bah­wa ibu Abel akan datang.

"Mbak Aluna, ada walinya Abel datang," ucap pe­tu­gas informasi setelah melangkah tergesa. "Abel bisa di­ba­ngun­kan ya, Mbak."

Abel memang tertidur dengan paha Aluna sebagai ban­talan. Aluna mengangguk sembari membentuk kata oke tanpa suara. Perlahan, ia mengusap dahi Abel.

"Abel dijemput," ujar Aluna begitu mendapati res­pons Abel yang menggeliat.

Abel mengerjap. "Ibu udah dateng, Tante?" tanya­nya seraya beranjak duduk.

"Ayahnya Abel yang dateng," sahut petugas infor­ma­si yang masih menunggui Abel.

Sepersekian detik, lelaki dengan kemeja biru dong­ker melangkah menuju kursi tunggu bagian informasi, men­dekat pada titik kumpul Abel dan Aluna. Ia berjalan sem­bari melipat kain lengannya. Senyumnya merekah be­gi­tu ia membuka tangan untuk menggendong Abel, put­ri­nya.

"Ayah!" pekik Abel ketika sampai pada gendongan sang ayah.

Butuh waktu bagi Aluna untuk bisa mengerjap sem­pur­na. Ia merasa waktu terhenti pada beberapa saat yang la­lu, ketika ia bertemu tatap dengan lelaki berkemeja biru dong­ker tersebut. Ia menaikkan arah pandang, mendapati bah­wa lelaki itu tengah bercengkerama dengan Abel, be­lum lagi kedua lengan Abel yang melilit erat di leher. Alu­na masih mencoba mencerna situasi ini.

"Benar, Pak. Mbak Aluna ini yang bawa Abel ke si­ni, bahkan ditungguin juga," jelas si petugas informasi de­ngan ramah.

"Aluna, makasih banyak. Nggak tau apa jadinya A­bel kalo nggak ada kamu," ujar Ayah Abel yang diakhiri se­nyum lebar. "Oh, ya, pasti kamu belum sarapan, 'kan? Mau sarapan bareng? Aku tau warung gudeg yang enak de­ket sini."

Kalimat itu terlampau panjang, Aluna hanya meng­ge­leng pelan. Setengah kesadarannya masih belum pulih, hing­ga ia memilih lekas berdiri. Terburu-buru ia merang­kul­kan ransel di bahu.

"Lain kali aja ya, Den. Aku buru-buru," sahut Alu­na. "Saya pamit dulu, ya, Mas Dewa, makasih banyak ban­tu­annya buat Abel."

Langkah pertama Aluna tersekat, tertahan oleh le­ngan Alden yang mencekalnya. Kali kedua bertemu tatap, ta­pi Aluna menahan napas, lagi. Ia tak pernah siap untuk ha­ri ini. Seakan sekitarnya membeku.

"Aku seneng kamu balik ke Jogja. Kabar kamu baik, 'kan?" tanya Alden.

Aluna mengangguk pelan sembari berusaha mele­pas cekalan itu, berganti menatap Abel. "Abel, Tante Lu­na pamit dulu, ya."

"Dadah, Tante!" Abel melambaikan tangan seiring de­ngan senyum jumawanya hingga Aluna hilang dari pan­dang­an.

Langkah Aluna terhenti di balik tembok yang tam­pak sepi. Sejak kakinya melangkah meninggalkan Alden dan Abel, air matanya sudah menumpuk ke permukaan. Nye­ri di hatinya masih sama seperti enam tahun yang lalu, jus­tru bertambah begitu menemukan Alden kembali.

Punggung Aluna yang bergetar lantas bersandar ke tem­bok, terjatuh perlahan bersama dirinya yang mencoba me­nahan isak tangis dengan buku jemari. Alden baik-baik sa­ja tanpanya. Hanya Aluna yang remuk berkeping-keping, bah­kan kini kondisinya seperti gelas pecah yang dilakban a­gar bisa kembali utuh.

"Aku nggak bisa lanjutin rencana pernikahan ini, Lun." Hanya kalimat itu yang terputar di otak Aluna sejak ta­di, bahkan hingga air matanya yang kini mengering. Ta­tap­an­nya jatuh entah ke mana, tak terarah.

Cekrek

Bunyi rana kamera terdengar. Tak lama, langkah ka­ki manusia itu tampak mendekat. Dan benar, terhenti te­pat di samping Aluna yang terduduk tanpa alas.

"Vibes orang galau emang nggak pernah gagal, tapi a­ku harap nggak ada momen ini lagi di hidup kamu," kata se­orang cowok sembari menyodorkan sebuah foto analog ce­tak. Tangan sebelah kirinya memegang kamera.

Aluna menerima tanpa menoleh. "Thanks."

"Mau gue pesenin gocar?" tanya cowok itu.

"Tjemara Noodle Bar." Hanya satu kalimat itu yang ter­cetus di otak Aluna dan terucap jelas.

Cowok itu mengangguk, lantas merogoh ponsel di sa­ku celana. Hanya beberapa saat jemarinya sibuk dengan ap­likasi ojol berwarna hijau. Setelah tampak ceklis bahwa dri­ver menerima pesanan, ia melemparkan manik mata pa­da perempuan di hadapannya.

"Lima menit lagi driver-nya sampe." Cowok itu ber­u­jar sembari menyodorkan tangan kanan pada Aluna.

Tak sampai satu menit untuk Aluna menoleh dan me­nerima tangan itu. Ia gunakan sebagai penolong untuk ber­anjak bangkit. Namun, setelah ia berdiri pun tangan­nya tak kunjung terlepas.

"Dewangga Alby."

Setengah ragu. "Diajeng Bellona."

Jabat tangan itu terlepas. Alby lebih dulu melangkah men­jauh. Mau tak mau, Aluna ikut melangkah menuju ti­tik tunggu ojolnya. Sembari melangkah, beberapa kali ia men­curi pandang ke arah perginya Alby. Namun, hingga se­buah sedan berhenti di depan Aluna, punggung Alby tak pernah muncul lagi.

"Mbak Aluna, ya? Ke Tjemara Noodle Bar Sle­man?" tanya supir ojol kemudian.


🌻🌻🌻

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang