BEBERAPA kali Aluna mengecek jam di pergelangan tangan. Ia sudah tiba di Bandara Kulon Progo-Yogyakarta sejak seperempat jam yang lalu. Lalu lintas dalam bandara tak begitu ramai, mungkin karena ini masih pukul 01.30 dini hari. Udara dingin-hampir membekukan bagi Aluna, merasuk ke rongga hidung. Ia semakin melebarkan langkah seiring dengan koper merah jambu yang berjalan cepat.
Aluna mengeratkan jaket, lagi. Tangan kanannya sibuk dengan ponsel, memesan ojek online agar segera membawanya ke penginapan. Begitu sampai di bagian pintu keluar, Aluna segera mencari tempat duduk terdekat.
"Anjir, bisa-bisanya di-cancel gitu aja," umpatnya pelan sembari mendudukkan diri.
Meski kesal setengah mati karena pesanannya dibatalkan, Aluna tetap mencoba mencari driver ojek online di tiga platform berbeda. Namun, kobaran semangat itu hanya berlangsung selama sepuluh menit, hingga Aluna memutuskan untuk mengabari Winda terlebih dahulu.
"Tante ...." Sebuah panggilan dilayangkan anak kecil yang dibalut jaket jeans berpadu bulu-bulu di tepiannya.
Aluna menoleh, mendapati anak perempuan yang berdiri di hadapannya sembari memilin bulu-bulu jaketnya. "Eh, ya? Kenapa?"
Anak perempuan dengan perkiraan umur tiga tahunan itu menunduk, menahan tangis yang hampir pecah. "Boleh tolong cariin ibu Abel, nggak? Katanya tadi mau beliin Abel minum, tapi Ibu nggak balik-balik." Ia mengusap air mata yang jatuh.
Buru-buru Aluna memasukkan ponsel ke ransel. Ia beralih jongkok di depan Abel dan mengusap kedua bahunya. Aluna berharap hal ini akan memberi ketenangan.
"Abel udah berapa lama nunggu ibunya?" tanya Aluna perlahan, sedikit terserang panik karena Abel berulang kali mengusap air mata.
"Udah ... lama banget, Tante." Abel terisak, kata-kata yang keluar terdengar patah. Namun, ia mulai menatap Aluna.
Dengan segenap kekuatan yang ada, Aluna mendekap Abel. Butuh beberapa saat hingga Abel menghentikan tangisnya. Setelah berhenti, Aluna mempersilakannya untuk duduk bersebelahan di bangku. Ia ingat dengan minuman cokelat yang dibawanya dari Jakarta.
"Abel minum ini dulu, ya. Kalo udah, Tante anterin ke bagian informasi, nanti ibunya Abel bakal dipanggil sama petugas, ngasih tau kalo ada Abel di sini." Aluna berujar sembari menyodorkan sebotol minuman cokelat.
Abel menunduk dalam. "Kalo Ibu nggak datang, gimana ya, Tante? Abel takut ...."
"Nanti Tante temenin sampe ibunya Abel dateng. Ibu pasti sekarang juga lagi khawatirin Abel."
Usai melaporkan mengenai hilangnya ibu Abel, Aluna memutuskan untuk menunda perjalanan menuju penginapan. Ia menghabiskan waktunya bersama Abel, mengobrol hingga subuh. Aluna menyimpan keyakinan bahwa ibu Abel akan datang.
"Mbak Aluna, ada walinya Abel datang," ucap petugas informasi setelah melangkah tergesa. "Abel bisa dibangunkan ya, Mbak."
Abel memang tertidur dengan paha Aluna sebagai bantalan. Aluna mengangguk sembari membentuk kata oke tanpa suara. Perlahan, ia mengusap dahi Abel.
"Abel dijemput," ujar Aluna begitu mendapati respons Abel yang menggeliat.
Abel mengerjap. "Ibu udah dateng, Tante?" tanyanya seraya beranjak duduk.
"Ayahnya Abel yang dateng," sahut petugas informasi yang masih menunggui Abel.
Sepersekian detik, lelaki dengan kemeja biru dongker melangkah menuju kursi tunggu bagian informasi, mendekat pada titik kumpul Abel dan Aluna. Ia berjalan sembari melipat kain lengannya. Senyumnya merekah begitu ia membuka tangan untuk menggendong Abel, putrinya.
"Ayah!" pekik Abel ketika sampai pada gendongan sang ayah.
Butuh waktu bagi Aluna untuk bisa mengerjap sempurna. Ia merasa waktu terhenti pada beberapa saat yang lalu, ketika ia bertemu tatap dengan lelaki berkemeja biru dongker tersebut. Ia menaikkan arah pandang, mendapati bahwa lelaki itu tengah bercengkerama dengan Abel, belum lagi kedua lengan Abel yang melilit erat di leher. Aluna masih mencoba mencerna situasi ini.
"Benar, Pak. Mbak Aluna ini yang bawa Abel ke sini, bahkan ditungguin juga," jelas si petugas informasi dengan ramah.
"Aluna, makasih banyak. Nggak tau apa jadinya Abel kalo nggak ada kamu," ujar Ayah Abel yang diakhiri senyum lebar. "Oh, ya, pasti kamu belum sarapan, 'kan? Mau sarapan bareng? Aku tau warung gudeg yang enak deket sini."
Kalimat itu terlampau panjang, Aluna hanya menggeleng pelan. Setengah kesadarannya masih belum pulih, hingga ia memilih lekas berdiri. Terburu-buru ia merangkulkan ransel di bahu.
"Lain kali aja ya, Den. Aku buru-buru," sahut Aluna. "Saya pamit dulu, ya, Mas Dewa, makasih banyak bantuannya buat Abel."
Langkah pertama Aluna tersekat, tertahan oleh lengan Alden yang mencekalnya. Kali kedua bertemu tatap, tapi Aluna menahan napas, lagi. Ia tak pernah siap untuk hari ini. Seakan sekitarnya membeku.
"Aku seneng kamu balik ke Jogja. Kabar kamu baik, 'kan?" tanya Alden.
Aluna mengangguk pelan sembari berusaha melepas cekalan itu, berganti menatap Abel. "Abel, Tante Luna pamit dulu, ya."
"Dadah, Tante!" Abel melambaikan tangan seiring dengan senyum jumawanya hingga Aluna hilang dari pandangan.
Langkah Aluna terhenti di balik tembok yang tampak sepi. Sejak kakinya melangkah meninggalkan Alden dan Abel, air matanya sudah menumpuk ke permukaan. Nyeri di hatinya masih sama seperti enam tahun yang lalu, justru bertambah begitu menemukan Alden kembali.
Punggung Aluna yang bergetar lantas bersandar ke tembok, terjatuh perlahan bersama dirinya yang mencoba menahan isak tangis dengan buku jemari. Alden baik-baik saja tanpanya. Hanya Aluna yang remuk berkeping-keping, bahkan kini kondisinya seperti gelas pecah yang dilakban agar bisa kembali utuh.
"Aku nggak bisa lanjutin rencana pernikahan ini, Lun." Hanya kalimat itu yang terputar di otak Aluna sejak tadi, bahkan hingga air matanya yang kini mengering. Tatapannya jatuh entah ke mana, tak terarah.
Cekrek
Bunyi rana kamera terdengar. Tak lama, langkah kaki manusia itu tampak mendekat. Dan benar, terhenti tepat di samping Aluna yang terduduk tanpa alas.
"Vibes orang galau emang nggak pernah gagal, tapi aku harap nggak ada momen ini lagi di hidup kamu," kata seorang cowok sembari menyodorkan sebuah foto analog cetak. Tangan sebelah kirinya memegang kamera.
Aluna menerima tanpa menoleh. "Thanks."
"Mau gue pesenin gocar?" tanya cowok itu.
"Tjemara Noodle Bar." Hanya satu kalimat itu yang tercetus di otak Aluna dan terucap jelas.
Cowok itu mengangguk, lantas merogoh ponsel di saku celana. Hanya beberapa saat jemarinya sibuk dengan aplikasi ojol berwarna hijau. Setelah tampak ceklis bahwa driver menerima pesanan, ia melemparkan manik mata pada perempuan di hadapannya.
"Lima menit lagi driver-nya sampe." Cowok itu berujar sembari menyodorkan tangan kanan pada Aluna.
Tak sampai satu menit untuk Aluna menoleh dan menerima tangan itu. Ia gunakan sebagai penolong untuk beranjak bangkit. Namun, setelah ia berdiri pun tangannya tak kunjung terlepas.
"Dewangga Alby."
Setengah ragu. "Diajeng Bellona."
Jabat tangan itu terlepas. Alby lebih dulu melangkah menjauh. Mau tak mau, Aluna ikut melangkah menuju titik tunggu ojolnya. Sembari melangkah, beberapa kali ia mencuri pandang ke arah perginya Alby. Namun, hingga sebuah sedan berhenti di depan Aluna, punggung Alby tak pernah muncul lagi.
"Mbak Aluna, ya? Ke Tjemara Noodle Bar Sleman?" tanya supir ojol kemudian.
🌻🌻🌻
![](https://img.wattpad.com/cover/323051430-288-k786512.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...