PUKUL 20.30 WIB, sedan putih yang ditumpangi Aluna memasuki bundaran simpang lima Boyolali. Kerlap-kerlip lampu mengitari patung kuda. Di sekitarnya, orang-orang duduk bergerombol beralaskan tikar. Kebanyakan mengobrol sembari memandangi lalu lintas yang semakin ramai. Trotoar sekitar pun dipenuhi pedagang kali lima.
Banyak bangunan yang sudah berubah, beberapa berpindah, seperti perpustakaan dan arsip Kabupaten Boyolali yang kini bertempat di sebelum bundaran. Aluna mengamatinya dalam diam. Di sampingnya, Ibu mengobrol dengan Paklek Turmuji yang duduk di bangku kemudi.
"Mampir ke Soto Seger Hj. Fatimah yo, Mbak?" tanya Paklek Turmuji begitu memasuki Kecamatan Banaran, setelah bundaran Patung Kuda.
Aluna menoleh. "Masih buka tah, Lek?"
"Tutup jam 21.30 kok, aman."
Mobil dikemudikan semakin cepat, apalagi setelah memasuki Jl. Pandanaran yang tampak lengang. Lamunan Aluna tersadar begitu ponsel yang berada dalam genggamannya bergetar. Layar ponselnya menyala, terdapat pesan masuk dari Winda.
Sedikit terburu-buru, Aluna mengetikkan balasan. Sejak sore tadi, ia dan Winda tengah berada dalam topik seputar pembangunan Keep Your Caffe Selo. Kali ini, Aluna sangat membutuhkan Winda untuk membantunya membuat list kebutuhan isi dalam kafe. Namun, belum juga mendapat balasan selanjutnya dari Winda, ponselnya mendadak menghitam, mati.
"Duh, mati," keluh Aluna bersamaan dengan laju mobil yang terhenti.
"Bawa ke luar aja, Nduk." Ibu menyahuti seraya bersiap untuk turun.
"Sik, mau nyari charger HP dulu. Ibuk turun duluan aja." Tangan Aluna sibuk merogoh ransel, mencari benda berwarna putih tersebut.
Ibu sudah turun bersama Paklek Turmuji lebih dari sepuluh menit yang lalu. Namun, Aluna masih berusaha menemukan benda pengisi daya. Ia bahkan harus mengeluarkan satu per satu benda yang ada di dalam ransel. Jemarinya berganti pada bagian kantong ransel. Terdapat dua benda yang diangkutnya.
Aluna mencoba mencermati. Di genggamannya kini terdapat benda pengisi daya dan sebuah foto cetak yang berisi separuh wajahnya. Ia membawa keduanya turun dari mobil.
"Lho, ini 'kan, dari Alby, ya?" gumam Aluna sembari berjalan menuju restoran, tapi manik matanya masih belum lepas dari foto tersebut.
"Gage, Nduk. Keburu dingin nanti." Ibu berucap tak sabar melihat Aluna yang melangkah pelan.
Aluna tergagap. "Iya-iya, sabar, Buk."
Setengah jam setelah makan malam di Soto Seger Hj. Fatimah, sedan putih itu memasuki pekarangan rumah Aluna yang ada di Selo, Boyolali. Turun dari mobil, Aluna mengeratkan jaket. Ia disambut dengan udara dingin yang membekukan. Langkahnya gontai memasuki beranda, apalagi beberapa sanak saudara menungguinya.
"Wah, Mbak Aluna, akhirnya pulang kampung juga," sambut Bude Win.
Aluna beralih menyalami satu per satu, memamerkan senyum dua belas jari. Beberapa sapaan dibalasnya dengan bertanya kabar. Setidaknya begitu basa-basi yang dilakukan, sesuai ajaran Ibu.
Sofa ruang tamu terlihat penuh, bahkan tak sedikit pula yang duduk di atas karpet. Semakin malam justru semakin banyak yang bertandang ke rumah Aluna, sekadar mengobrol dan bertukar cerita. Aluna memilih duduk bersebelahan dengan ibundanya, menyandarkan puncak kepala karena sejujurnya ia sudah terserang kantuk.
"Kemarin itu Mbak Aluna kerja di mana?" tanya Pakde Widi yang merupakan suami Bude Win.
"FitZone Gym, Pakde. Perusahaan kebugaran gitu," sahut Aluna sembari menegakkan punggung, berharap kantuknya dapat berkurang.
Bulek Tari yang baru selesai mengunyah bakpia lantas ikut bertanya, "Besok berarti bakal garap kafe, ya, Mbak? Butuh pegawai banyak nggak? Si Rini biar daftar ke situ aja."
"Wah, bener kui. Pras nanti masuk ke situ aja biar kerjanya ndak jauh-jauh," timpal Bude Win yang duduk tak jauh dari Bulek Tari. "Mbak Aluna, kalo bisa yo pegawainya dari keluarga sendiri aja. Malah bagus itu."
"Nggih, Bude, yang penting sesuai kualifikasi rekrutmen." Jawaban Aluna tersebut mendapat tatapan tajam dari Ibu.
"Waduh, cuma kerja di kafe cilik kayak gitu masa pake kualifikasi segala, Mbak Aluna. Wes, biar Pras kerja di pabrik garmen aja, udah pasti dapet gajinya UMR."
Tanpa babibu, Ibu buru-buru melayangkan permohonan maaf atas sikap Aluna yang dianggap arogan tersebut. Apalagi hal itu memancing tatapan kurang mengenakkan dari beberapa kerabat. Putri tunggalnya itu memang tak merasa bersalah sama sekali. Padahal sejak tadi ia mengirimkan kode, bahwa apa pun yang diucapkan kerabatnya diiyakan saja. Terlepas hal itu akan ditepati atau tidak.
"Eh, Mbak Aluna tahun iki 28 tahun, ya?" singgung Wulan, sepupu Aluna.
Pertanyaan itu belum dijawab oleh Aluna, tapi sudah cukup mengundang perhatian seisi ruangan. Aluna meringis sesaat, memberi validasi secara tidak langsung.
"Waduh, wes punjul seko 25 tahun kok ya rung rabi kii piye?" timpal Bude Sri yang merupakan kakak tertua dari keluarga Ibu.
Aluna tak berselera untuk meneruskan kunyahan bakpia kukus. Manik matanya memutar malas. Sejak tadi ia berusaha tak terpengaruh pada topik pembicaraan yang memojokkan, termasuk kali ini. Namun, justru Ibu yang tampak kelimpungan menyahuti.
"Dereng ketemu jodone, Bude," balas Ibu, berharap hal itu akan mewakili suara putrinya. "Wes biar semaunya, wong dicariin juga malah nggak karuan maunya gimana."
Bulek Tari hanya menarik salah satu sudut bibir. "Kayaknya itu karena kebanyakan pilah-pilih, Mbak Aluna. Duh, hati-hati, lho. Semakin tua itu semakin susah dapet jodohnya."
"Lha kui, Cah Ayu, sekolahnya nggak usah tinggi-tinggi. Wong lanang jadi minder, toh, ya nanti ujung-ujungnya cuma di dapur."
Tak terhitung berapa banyak yang menimpali topik pembicaraan tersebut. Oleh-oleh yang disuguhkan tampak kalah menarik dibanding membicarakan kenyataan bahwa Aluna belum menikah. Apalagi di umur yang mendekati kepala tiga, tidak sedikit yang memberinya stereotipe tidak laku alias perawan tua.
Aluna menahan tangannya untuk menyentuh benda-benda tajam yang ada di dekatnya. Ia takut benda itu akan melayang pada mulut-mulut toxic yang melukai telinga serta hatinya. Ia juga menutup mulut rapat-rapat, berusaha tak menyela apa pun. Upayanya ini tak lain ditujukan untuk menjaga martabat Ibu.
"Wong-wong saiki soyo pinter malah soyo aneh. Opo-opo ra sesuai wayahe," sahut Mas Bram, anak dari Bude Win.
"Tapi yo Mbak Aluna ini masih mending sih, Mas, daripada Fani itu malah milih child free padahal wes rabi." Lagi, Wulan menyetir topik pembicaraan.
Topik pergunjingan itu baru selesai ketika memasuki pukul 01.30 dini hari. Satu per satu kerabat mulai undur diri. Bersamaan hal itu, Aluna membekali satu per satu dengan oleh-oleh yang sudah dikemasnya sejak di Jogja. Ia mengantarnya hingga beranda rumah bersama Ibu.
Ketika Ibu hendak beranjak masuk, Aluna menahannya dengan mendekap.
"Ibuk, pangapuntenipun nggih, dereng saget gawe Ibuk bangga. Ngapunten sanget karena anaknya Ibuk gur isoh dadi bahan omongan sedulur." Aluna menuturkan perlahan, menahan gemetar dari pita suaranya.
Ibu mengusap lembut punggung putrinya itu. "Ibuk selalu bangga sama Nduk Aluna."
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...