🌻bagian 5. ujung-ujungnya cuma di dapur

18 3 0
                                    

PUKUL 20.30 WIB, sedan putih yang ditumpangi Aluna me­­masuki bundaran simpang lima Boyolali. Kerlap-kerlip lam­pu mengitari patung kuda. Di sekitarnya, orang-orang du­duk bergerombol beralaskan tikar. Kebanyakan meng­ob­­rol sembari memandangi lalu lintas yang semakin ramai. Tro­toar sekitar pun dipenuhi pedagang kali lima.

Banyak bangunan yang sudah berubah, beberapa ber­pindah, seperti perpustakaan dan arsip Kabupaten Bo­yo­lali yang kini bertempat di sebelum bundaran. Aluna meng­­a­matinya dalam diam. Di sampingnya, Ibu mengob­rol dengan Paklek Turmuji yang duduk di bangku kemudi.

"Mampir ke Soto Seger Hj. Fatimah yo, Mbak?" ta­nya Paklek Turmuji begitu memasuki Kecamatan Banaran, setelah bundaran Patung Kuda.

Aluna menoleh. "Masih buka tah, Lek?"

"Tutup jam 21.30 kok, aman."

Mobil dikemudikan semakin cepat, apalagi setelah me­masuki Jl. Pandanaran yang tampak lengang. Lamunan Alu­na tersadar begitu ponsel yang berada dalam geng­gam­­annya bergetar. Layar ponselnya menyala, terdapat pe­san masuk dari Winda.

Sedikit terburu-buru, Aluna mengetikkan balasan. Se­jak sore tadi, ia dan Winda tengah berada dalam topik se­putar pembangunan Keep Your Caffe Selo. Kali ini, Alu­na sangat membutuhkan Winda untuk membantunya mem­buat list kebutuhan isi dalam kafe. Namun, belum ju­ga mendapat balasan selanjutnya dari Winda, ponselnya men­dadak menghitam, mati.

"Duh, mati," keluh Aluna bersamaan dengan laju mo­bil yang terhenti.

"Bawa ke luar aja, Nduk." Ibu menyahuti seraya ber­siap untuk turun.

"Sik, mau nyari charger HP dulu. Ibuk turun du­lu­an aja." Tangan Aluna sibuk merogoh ransel, mencari ben­da berwarna putih tersebut.

Ibu sudah turun bersama Paklek Turmuji lebih dari se­puluh menit yang lalu. Namun, Aluna masih berusaha me­nemukan benda pengisi daya. Ia bahkan harus me­nge­lu­arkan satu per satu benda yang ada di dalam ransel. Je­ma­rinya berganti pada bagian kantong ransel. Terdapat du­a benda yang diangkutnya.

Aluna mencoba mencermati. Di genggamannya kini ter­dapat benda pengisi daya dan sebuah foto cetak yang ber­isi separuh wajahnya. Ia membawa keduanya turun da­ri mobil.

"Lho, ini 'kan, dari Alby, ya?" gumam Aluna sem­ba­ri berjalan menuju restoran, tapi manik matanya masih be­lum lepas dari foto tersebut.

"Gage, Nduk. Keburu dingin nanti." Ibu berucap tak sabar melihat Aluna yang melangkah pelan.

Aluna tergagap. "Iya-iya, sabar, Buk."

Setengah jam setelah makan malam di Soto Seger Hj. Fatimah, sedan putih itu memasuki pekarangan rumah Alu­na yang ada di Selo, Boyolali. Turun dari mobil, Aluna me­ngeratkan jaket. Ia disambut dengan udara dingin yang mem­bekukan. Langkahnya gontai memasuki beranda, a­pa­la­gi beberapa sanak saudara menungguinya.

"Wah, Mbak Aluna, akhirnya pulang kampung ju­ga," sambut Bude Win.

Aluna beralih menyalami satu per satu, memamer­kan senyum dua belas jari. Beberapa sapaan dibalasnya de­ngan bertanya kabar. Setidaknya begitu basa-basi yang di­lakukan, sesuai ajaran Ibu.

Sofa ruang tamu terlihat penuh, bahkan tak sedikit pu­la yang duduk di atas karpet. Semakin malam justru se­ma­kin banyak yang bertandang ke rumah Aluna, sekadar me­ngobrol dan bertukar cerita. Aluna memilih duduk ber­sebelahan dengan ibundanya, menyandarkan puncak ke­pala karena sejujurnya ia sudah terserang kantuk.

"Kemarin itu Mbak Aluna kerja di mana?" tanya Pak­de Widi yang merupakan suami Bude Win.

"FitZone Gym, Pakde. Perusahaan kebugaran gi­tu," sahut Aluna sembari menegakkan punggung, berha­rap kantuknya dapat berkurang.

Bulek Tari yang baru selesai mengunyah bakpia lan­tas ikut bertanya, "Besok berarti bakal garap kafe, ya, Mbak? Butuh pegawai banyak nggak? Si Rini biar daftar ke situ aja."

"Wah, bener kui. Pras nanti masuk ke situ aja biar ker­janya ndak jauh-jauh," timpal Bude Win yang duduk tak jauh dari Bulek Tari. "Mbak Aluna, kalo bisa yo pe­ga­wai­nya dari keluarga sendiri aja. Malah bagus itu."

"Nggih, Bude, yang penting sesuai kualifikasi rekrut­men." Jawaban Aluna tersebut mendapat tatapan tajam da­ri Ibu.

"Waduh, cuma kerja di kafe cilik kayak gitu masa pa­ke kualifikasi segala, Mbak Aluna. Wes, biar Pras kerja di pabrik garmen aja, udah pasti dapet gajinya UMR."

Tanpa babibu, Ibu buru-buru melayangkan permo­hon­an maaf atas sikap Aluna yang dianggap arogan ter­se­but. Apalagi hal itu memancing tatapan kurang menge­nak­kan dari beberapa kerabat. Putri tunggalnya itu me­mang tak merasa bersalah sama sekali. Padahal sejak tadi ia mengirimkan kode, bahwa apa pun yang diucapkan ke­ra­batnya diiyakan saja. Terlepas hal itu akan ditepati atau ti­dak.

"Eh, Mbak Aluna tahun iki 28 tahun, ya?" singgung Wu­lan, sepupu Aluna.

Pertanyaan itu belum dijawab oleh Aluna, tapi su­dah cukup mengundang perhatian seisi ruangan. Aluna me­ringis sesaat, memberi validasi secara tidak langsung.

"Waduh, wes punjul seko 25 tahun kok ya rung rabi kii piye?" timpal Bude Sri yang merupakan kakak tertua dari ke­luarga Ibu.

Aluna tak berselera untuk meneruskan kunyahan bak­pia kukus. Manik matanya memutar malas. Sejak tadi ia berusaha tak terpengaruh pada topik pembicaraan yang me­mojokkan, termasuk kali ini. Namun, justru Ibu yang tam­pak kelimpungan menyahuti.

"Dereng ketemu jodone, Bude," balas Ibu, berharap hal itu akan mewakili suara putrinya. "Wes biar semaunya, wong dicariin juga malah nggak karuan maunya gimana."

Bulek Tari hanya menarik salah satu sudut bibir. "Ka­yaknya itu karena kebanyakan pilah-pilih, Mbak Alu­na. Duh, hati-hati, lho. Semakin tua itu semakin susah da­pet jodohnya."

"Lha kui, Cah Ayu, sekolahnya nggak usah tinggi-ting­gi. Wong lanang jadi minder, toh, ya nanti ujung-u­jung­nya cuma di dapur."

Tak terhitung berapa banyak yang menimpali topik pem­bicaraan tersebut. Oleh-oleh yang disuguhkan tam­pak kalah menarik dibanding membicarakan kenyataan bah­wa Aluna belum menikah. Apalagi di umur yang men­de­kati kepala tiga, tidak sedikit yang memberinya stereoti­pe ti­dak laku alias perawan tua.

Aluna menahan tangannya untuk menyentuh ben­da-benda tajam yang ada di dekatnya. Ia takut benda itu a­kan melayang pada mulut-mulut toxic yang melukai telinga ser­ta hatinya. Ia juga menutup mulut rapat-rapat, beru­sa­ha tak menyela apa pun. Upayanya ini tak lain ditujukan un­tuk menjaga martabat Ibu.

"Wong-wong saiki soyo pinter malah soyo aneh. Opo-opo ra se­suai wayahe," sahut Mas Bram, anak dari Bude Win.

"Tapi yo Mbak Aluna ini masih mending sih, Mas, da­ripada Fani itu malah milih child free padahal wes rabi." La­gi, Wulan menyetir topik pembicaraan.

Topik pergunjingan itu baru selesai ketika mema­suk­i pukul 01.30 dini hari. Satu per satu kerabat mulai un­dur diri. Bersamaan hal itu, Aluna membekali satu per sa­tu dengan oleh-oleh yang sudah dikemasnya sejak di Jogja. Ia mengantarnya hingga beranda rumah bersama Ibu.

Ketika Ibu hendak beranjak masuk, Aluna mena­han­nya dengan mendekap.

"Ibuk, pangapuntenipun nggih, dereng saget gawe Ibuk bang­ga. Ngapunten sanget karena anaknya Ibuk gur isoh dadi ba­han omongan sedulur." Aluna menuturkan perlahan, me­nahan gemetar dari pita suaranya.

Ibu mengusap lembut punggung putrinya itu. "Ibuk selalu bangga sama Nduk Aluna."

🌻🌻🌻

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang