✨bagian 2. resign

44 9 19
                                    

PRINTER di sudut ruang masih berderit, mencetak tu­lis­an di atas kertas A4. Aluna membubuhkan tanda tangan se­­ben­tar, kemudian memasukkannya ke sebuah amplop co­­ke­lat. Napasnya terdengar berat setelah meletakkan am­plop itu di atas meja.

Surat pengunduran diri. Begitu titel yang tertulis dan bercetak tebal. Aluna melepas kacamata yang ber­teng­ger, lantas memijit tulang hidung secara perlahan. Ham­pir enam tahun ia membersamai perjalanan perusa­ha­an kebugaran ini; FitZone Gym. Berulang kali pula Ibu me­mintanya pulang, dan hari ini terkabulkan.

"Nduk, ibuk sampun sepuh," lirih Ibu lewat sam­bung­an telepon tiga bulan yang lalu, membawa rasa bersa­lah di lubuk hati Aluna.

"Sabar nggih, Buk. Aluna masih belum siap buat pu­lang." Berulang kali, hanya kalimat itu yang sanggup di­ge­lon­torkan Aluna.

Aluna mengusap sudut mata yang basah. Perjuang­an­nya di FitZone memang sedang mencapai puncak keja­ya­an. Enam tahun juga bukanlah angka yang singkat da­lam berproses. Ia sudah terlalu lama melarikan diri. Rasa­nya cukup untuk menyembuhkan diri, tapi menanam rasa sa­kit di benak Ibu.

"Udah waktunya pulang, Lun." Aluna menepuk ba­hu­nya sendiri, berharap dapat menyalurkan semangat.

Sejak sepuluh menit yang lalu, Aluna berdiri di pin­tu masuk ruangan. Matanya berulang kali mengerjap me­na­tap papan nama yang terpasang; Diajeng Bellona-Ke­pa­la Divisi Marketing. Ia menarik napas panjang sebelum me­narik papan nama tersebut.

"Kerja bagus, Lun," ujarnya begitu memasukkan pa­­­pan nama tersebut ke tote bag.

Aluna sudah memastikan bahwa barang-barangnya tak ada yang tertinggal di ruangan. Ia pun meneruskan lang­kah menuju ruang HRD yang berada satu lantai di a­tas­nya. Lengan sebelah kirinya memeluk amplop cokelat, sedangkan sebelahnya lagi sibuk dengan ponsel. Ia mengi­rim pesan singkat pada Winda bahwa sedang dalam per­ja­lan­an untuk menyerahkan surat pengunduran diri.

Pantofel dengan hak setinggi tujuh senti meter itu ber­henti selangkah sebelum ruang HRD. Ia menghela na­pas beberapa kali, berharap hal itu akan menenangkan de­gup jantung. Pada tarikan yang keempat, bahu yang ter­ba­lut blazer sage itu mengendur. Barulah Aluna melanjutkan lang­kah, lantas menarik handel pintu.

"Duduk, Lun," ujar Sarah begitu mendapati Aluna yang muncul di balik pintu ruangan.

Aluna segera mendudukkan diri, lantas menyo­dor­kan amplop cokelat yang dibawa. "Lo baca dulu deh, Sar."

Perlahan, amplop cokelat itu dibuka Sarah. Ia mem­ba­canya sekilas. "Padahal pagi itu kita dateng bareng buat in­terviu di sini ya, Lun. Sedih banget rasanya lo resign du­lu­an. Semoga gue bisa cepet nyusul deh ya, capek banget ja­di budak korporat."

Hanya sebuah tawa kecil yang mampu Aluna la­yang­kan. "Gue setuju sih, biar Alvaro bisa bareng mama­nya 24/7."

"Sialan lo. Jadi kangen sama anak gue, 'kan," sahut Sa­rah diakhiri tawa menguar.

Usai berbincang ringan, Aluna lebih dulu pamit un­dur diri. Ia mengakhirinya dengan dekapan singkat seba­gai tanda perpisahan.

"Bisa lo tarik aja nggak sih, surat resign itu. Kasihan La­lita Caffe, omset kopinya bakal langsung anjlok gara-ga­ra ditinggal pelanggan setianya," ujar Sarah setengah me­lucu.

"Lo bukannya udah janji buat gantiin gue jadi pe­lang­gan Lalita Caffe?" tanya Aluna, memancing umpatan Sa­rah. "Ya udah, gue duluan ya, Sar. Anak-anak mar­ke­ting udah pada nunggu di Keep Your Caffe, nih." Aluna ber­ujar sembari menunjukkan jam yang melingkar di per­ge­langan tangan

Sarah mengangguk, kemudian melayangkan bebe­ra­pa tepukan lembut di bahu Aluma. "See you on top, Lun."

Begitu Aluna menutup pintu ruangan Sarah, helaan na­pas lega terdengar. Ia menarik kedua sudut bibirnya per­lahan. Good job, Aluna, batinnya. Namun, langkah Alu­na terpaku beberapa saat.

"Lo ada perlu sama Sarah juga?" Aluna melempar per­tanyaan sembari melangkah mendekat pada Winda.

Alawinda Juwita, staf divisi keuangan FitZone Gym, teman kos Aluna. Ia bersandar di tembok yang selisih dua me­ter dari pintu ruang HRD. Tangannya bersedekap. Hal ini sudah berlangsung sejak setengah jam lalu, tepat ketika Alu­na memasuki ruang HRD.

"Congrats, Lun. Resmi pengangguran, nih!" Adalah ka­limat pertama yang dilontarkan Winda.

Aluna terbahak. "Apaan banget deh," sahutnya ri­ngan. "Mau ikut ke Keep Your Caffe, nggak? Gue traktir se­kalian sama anak-anak marketing."

Buru-buru Winda menggeleng. "Lo habisin aja ma­lem ini buat makan-makan sama mereka, soalnya besok lo wa­jib traktir dan seharian sama gue."

"Dih, merinding."

🌻🌻🌻

Americano menjadi minuman favorit Aluna selama dua ta­hun terakhir. Setelah memberikan daftar pesanan pada kar­yawannya, Aluna bergabung dengan 15 orang lainnya yang merupakan tim marketing. Suasana tampak begitu ra­mai dan menyenangkan.

"Habis ini, berarti lo balik ke desa, Lun?" tanya Dave yang duduk berhadapan dengan Aluna.

Anggukan dari Aluna cukup untuk menjawab perta­nya­an si leader tim content creator. Lantas, wanita berumur 29 ta­hun itu berbalik mengajukan pertanyaan. "Lo nggak ma­­u nyoba healing ke desa? Gue siap jadi tour guide nih, wa­lau­pun udah tujuh tahun ngerantau."

Arin yang mendengar pertanyaan itu justru menya­hut­i, "Gue mau banget dong, Lun. Apalagi muncak di Mer­babu. Berasa menyatu sama alam."

Decakan dari Dino mengalihkan perhatian. "Ja­ngan­­kan muncak, Rin. Lo cuma disuruh naik ke lantai li­ma lewat tangga darurat aja udah ngeluh jompo."

Sontak tawa mereka pecah. Tidak ada yang mem­ban­tah ucapan Dino karena terlalu realistis.

Gelembung notifikasi panggilan masuk tampak mun­­cul pada layar ponsel Aluna. Buru-buru ia beranjak bang­­kit. Sembari melangkah menuju sudut ruang yang se­pi, Aluna menekan ikon berwarna hijau, lantas menem­pel­kan layar ponsel pada daun telinga.

"Nggih, Buk. Aluna kayaknya staycation di Jogja dulu. Udah janjian sama Laili juga buat ketemu." Setelah men­je­laskan perihal tanggal kepulangan, Aluna mengutarakan izin untuk berlibur ke Jogja.

"Ojo suwi-suwi loh, Lun. Mesakne Simbah, ngko dadi be­ban pikir," tanggap ibunya di seberang.

"Aluna sido bali, Na?" Itu adalah suara Simbah Setri ne­nek perempuan.

"Nggih, Mbok. Jare rep mampir Jogja sik."

Aluna mendengar Simbah Setri-nya sedang bercakap de­ngan Ibu. Pasti akan banyak petuah-petuah yang akan di­sampaikan begitu mendengar rencana kepulangannya. Alu­na-si putu pembangkangnya Simbah Setri.

"Lha, Aluna bali rene rep rabi, Na?" tanya Simbah Setri, lagi.

"Dereng, Simbah," sahut Aluna cepat. "Bel­um ke­te­mu jodohnya," lanjutnya.

Helaan napas dari Simbah Setri terdengar. "Yungalah, Lun ... Lun. Sekolah duwur, kerjaan sukses, yo panggah dadi pe­ra­wan tuo. Kancamu kae kabeh wes do rabi lan ndue anak."

Nyess. Nylekit.

"Nanti ada waktunya, Simbah. Emang bukan seka­rang aja." Aluna berujar lesu.

"Itu karena kamu kebanyakan pilih-pilih, Lun. Coba li­hat Ara, dia beda enam tahun loh sama kamu, tapi sekarang hi­dup­nya udah sukses. Anaknya udah masuk TK, suaminya kerja di pabrik, udah bisa bikinin orang tuanya rumah juga," sahut Ibu dengan nada berapi-api.

Aluna memijit pelan dahinya. "Buk, Aluna punya wak­tunya sendiri, Ara dan orang lain juga. Jangan diban­ding­in."

Sambungan telepon terputus. Aluna mengem­bus­kan napas beratnya. Perdebatannya dengan Ibu tidak per­nah berakhir dengan baik.


🌻🌻🌻

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang