PRINTER di sudut ruang masih berderit, mencetak tulisan di atas kertas A4. Aluna membubuhkan tanda tangan sebentar, kemudian memasukkannya ke sebuah amplop cokelat. Napasnya terdengar berat setelah meletakkan amplop itu di atas meja.
Surat pengunduran diri. Begitu titel yang tertulis dan bercetak tebal. Aluna melepas kacamata yang bertengger, lantas memijit tulang hidung secara perlahan. Hampir enam tahun ia membersamai perjalanan perusahaan kebugaran ini; FitZone Gym. Berulang kali pula Ibu memintanya pulang, dan hari ini terkabulkan.
"Nduk, ibuk sampun sepuh," lirih Ibu lewat sambungan telepon tiga bulan yang lalu, membawa rasa bersalah di lubuk hati Aluna.
"Sabar nggih, Buk. Aluna masih belum siap buat pulang." Berulang kali, hanya kalimat itu yang sanggup digelontorkan Aluna.
Aluna mengusap sudut mata yang basah. Perjuangannya di FitZone memang sedang mencapai puncak kejayaan. Enam tahun juga bukanlah angka yang singkat dalam berproses. Ia sudah terlalu lama melarikan diri. Rasanya cukup untuk menyembuhkan diri, tapi menanam rasa sakit di benak Ibu.
"Udah waktunya pulang, Lun." Aluna menepuk bahunya sendiri, berharap dapat menyalurkan semangat.
Sejak sepuluh menit yang lalu, Aluna berdiri di pintu masuk ruangan. Matanya berulang kali mengerjap menatap papan nama yang terpasang; Diajeng Bellona-Kepala Divisi Marketing. Ia menarik napas panjang sebelum menarik papan nama tersebut.
"Kerja bagus, Lun," ujarnya begitu memasukkan papan nama tersebut ke tote bag.
Aluna sudah memastikan bahwa barang-barangnya tak ada yang tertinggal di ruangan. Ia pun meneruskan langkah menuju ruang HRD yang berada satu lantai di atasnya. Lengan sebelah kirinya memeluk amplop cokelat, sedangkan sebelahnya lagi sibuk dengan ponsel. Ia mengirim pesan singkat pada Winda bahwa sedang dalam perjalanan untuk menyerahkan surat pengunduran diri.
Pantofel dengan hak setinggi tujuh senti meter itu berhenti selangkah sebelum ruang HRD. Ia menghela napas beberapa kali, berharap hal itu akan menenangkan degup jantung. Pada tarikan yang keempat, bahu yang terbalut blazer sage itu mengendur. Barulah Aluna melanjutkan langkah, lantas menarik handel pintu.
"Duduk, Lun," ujar Sarah begitu mendapati Aluna yang muncul di balik pintu ruangan.
Aluna segera mendudukkan diri, lantas menyodorkan amplop cokelat yang dibawa. "Lo baca dulu deh, Sar."
Perlahan, amplop cokelat itu dibuka Sarah. Ia membacanya sekilas. "Padahal pagi itu kita dateng bareng buat interviu di sini ya, Lun. Sedih banget rasanya lo resign duluan. Semoga gue bisa cepet nyusul deh ya, capek banget jadi budak korporat."
Hanya sebuah tawa kecil yang mampu Aluna layangkan. "Gue setuju sih, biar Alvaro bisa bareng mamanya 24/7."
"Sialan lo. Jadi kangen sama anak gue, 'kan," sahut Sarah diakhiri tawa menguar.
Usai berbincang ringan, Aluna lebih dulu pamit undur diri. Ia mengakhirinya dengan dekapan singkat sebagai tanda perpisahan.
"Bisa lo tarik aja nggak sih, surat resign itu. Kasihan Lalita Caffe, omset kopinya bakal langsung anjlok gara-gara ditinggal pelanggan setianya," ujar Sarah setengah melucu.
"Lo bukannya udah janji buat gantiin gue jadi pelanggan Lalita Caffe?" tanya Aluna, memancing umpatan Sarah. "Ya udah, gue duluan ya, Sar. Anak-anak marketing udah pada nunggu di Keep Your Caffe, nih." Aluna berujar sembari menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangan
Sarah mengangguk, kemudian melayangkan beberapa tepukan lembut di bahu Aluma. "See you on top, Lun."
Begitu Aluna menutup pintu ruangan Sarah, helaan napas lega terdengar. Ia menarik kedua sudut bibirnya perlahan. Good job, Aluna, batinnya. Namun, langkah Aluna terpaku beberapa saat.
"Lo ada perlu sama Sarah juga?" Aluna melempar pertanyaan sembari melangkah mendekat pada Winda.
Alawinda Juwita, staf divisi keuangan FitZone Gym, teman kos Aluna. Ia bersandar di tembok yang selisih dua meter dari pintu ruang HRD. Tangannya bersedekap. Hal ini sudah berlangsung sejak setengah jam lalu, tepat ketika Aluna memasuki ruang HRD.
"Congrats, Lun. Resmi pengangguran, nih!" Adalah kalimat pertama yang dilontarkan Winda.
Aluna terbahak. "Apaan banget deh," sahutnya ringan. "Mau ikut ke Keep Your Caffe, nggak? Gue traktir sekalian sama anak-anak marketing."
Buru-buru Winda menggeleng. "Lo habisin aja malem ini buat makan-makan sama mereka, soalnya besok lo wajib traktir dan seharian sama gue."
"Dih, merinding."
🌻🌻🌻
Americano menjadi minuman favorit Aluna selama dua tahun terakhir. Setelah memberikan daftar pesanan pada karyawannya, Aluna bergabung dengan 15 orang lainnya yang merupakan tim marketing. Suasana tampak begitu ramai dan menyenangkan.
"Habis ini, berarti lo balik ke desa, Lun?" tanya Dave yang duduk berhadapan dengan Aluna.
Anggukan dari Aluna cukup untuk menjawab pertanyaan si leader tim content creator. Lantas, wanita berumur 29 tahun itu berbalik mengajukan pertanyaan. "Lo nggak mau nyoba healing ke desa? Gue siap jadi tour guide nih, walaupun udah tujuh tahun ngerantau."
Arin yang mendengar pertanyaan itu justru menyahuti, "Gue mau banget dong, Lun. Apalagi muncak di Merbabu. Berasa menyatu sama alam."
Decakan dari Dino mengalihkan perhatian. "Jangankan muncak, Rin. Lo cuma disuruh naik ke lantai lima lewat tangga darurat aja udah ngeluh jompo."
Sontak tawa mereka pecah. Tidak ada yang membantah ucapan Dino karena terlalu realistis.
Gelembung notifikasi panggilan masuk tampak muncul pada layar ponsel Aluna. Buru-buru ia beranjak bangkit. Sembari melangkah menuju sudut ruang yang sepi, Aluna menekan ikon berwarna hijau, lantas menempelkan layar ponsel pada daun telinga.
"Nggih, Buk. Aluna kayaknya staycation di Jogja dulu. Udah janjian sama Laili juga buat ketemu." Setelah menjelaskan perihal tanggal kepulangan, Aluna mengutarakan izin untuk berlibur ke Jogja.
"Ojo suwi-suwi loh, Lun. Mesakne Simbah, ngko dadi beban pikir," tanggap ibunya di seberang.
"Aluna sido bali, Na?" Itu adalah suara Simbah Setri nenek perempuan.
"Nggih, Mbok. Jare rep mampir Jogja sik."
Aluna mendengar Simbah Setri-nya sedang bercakap dengan Ibu. Pasti akan banyak petuah-petuah yang akan disampaikan begitu mendengar rencana kepulangannya. Aluna-si putu pembangkangnya Simbah Setri.
"Lha, Aluna bali rene rep rabi, Na?" tanya Simbah Setri, lagi.
"Dereng, Simbah," sahut Aluna cepat. "Belum ketemu jodohnya," lanjutnya.
Helaan napas dari Simbah Setri terdengar. "Yungalah, Lun ... Lun. Sekolah duwur, kerjaan sukses, yo panggah dadi perawan tuo. Kancamu kae kabeh wes do rabi lan ndue anak."
Nyess. Nylekit.
"Nanti ada waktunya, Simbah. Emang bukan sekarang aja." Aluna berujar lesu.
"Itu karena kamu kebanyakan pilih-pilih, Lun. Coba lihat Ara, dia beda enam tahun loh sama kamu, tapi sekarang hidupnya udah sukses. Anaknya udah masuk TK, suaminya kerja di pabrik, udah bisa bikinin orang tuanya rumah juga," sahut Ibu dengan nada berapi-api.
Aluna memijit pelan dahinya. "Buk, Aluna punya waktunya sendiri, Ara dan orang lain juga. Jangan dibandingin."
Sambungan telepon terputus. Aluna mengembuskan napas beratnya. Perdebatannya dengan Ibu tidak pernah berakhir dengan baik.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...