"IYA, Buk. Ini Aluna lagi makan sama Laili, ada Ken juga. Ternyata Ken gemesin banget, Buk. Kita culik aja gimana?" Gurauan itu diakhiri Aluna dengan tawa menguar, mencuri pandangan seisi restoran.
Bocah laki-laki berumur tiga tahun itu mendengar namanya disebut. Ia bergerak merapatkan diri pada ibunya. Kunyahannya mendadak memelan. Takut-takut ia menatap Aluna yang duduk berseberangan.
Laili mengusap lengan Ken sembari menyodorkan suapan bakmi. "Tante Aluna cuma bercanda, Ken."
"Wah, Ibuk mau ketemu Ken juga jadinya. Besok Ibuk ikut jemput kamu ke Jogja ya, Nduk," sahut Ibu di seberang.
Aluna mengangguk semangat. "Oke deh. Ibuk sama Paklek Turmuji mau jemput jam berapa emangnya? Agak sore aja gimana?"
"Ya sudah, nanti ibuk tak bilang dulu ke Paklekmu, ya. Ibuk tutup teleponnya, salam buat Laili. Assalamu'alaikum," ujar Ibu mengakhiri panggilan.
"Wa'alaikumussalam, Ibuk," balas Aluna lantas meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia mendongak, menatap Laili secara penuh. "Dapet salam dari Ibuk, Lai. Katanya besok mau ke sini, ketemu Ken," lanjutnya.
"Terakhir ketemu Ibuk pas Ken ulang tahun ke satu, ya. Duh, kangen banget, deh." Laili membalas usai menyelesaikan kunyahan wontonnya.
Meja dengan ukuran sekitar 1x1 meter itu tampak dipenuhi oleh beberapa mangkuk bakmi kosong—hanya punya Ken yang tampak masih terisi, dua mangkuk wonton soup, sepiring gyoza, dan tiga gelas minuman berbeda. Aluna melanjutkan suapan wonton soup-nya sembari beberapa kali melirik Laili dengan sudut mata. Ibu anak satu itu tampak tak melepas kacamata hitamnya sejak tadi, bahkan hingga mereka berganti hidangan.
"Kocomotomu kui raiso mbok lepas po?" tanya Aluna yang mulai terganggu.
Laili hanya meringis lantas menggeleng. Ia menyamping untuk menyodorkan suapan pada Ken. "Bangunan kafemu piye? Sido buka kapan sih, Lun? Aku meh melu ngeramekne kii," lanjutnya yang mengubah arah pembicaraan.
Kelopak mata Aluna menyipit, menyadari adanya lebam kemerahan di dekat sudut mata sahabatnya itu. Ia menghentikan suapan sembari setengah berdiri, menunduk untuk menatap Laili lebih dekat. Bahkan tangannya ikut memegangi rahang Laili, memastikan bahwa sahabatnya itu tak bergerak dan mengacaukan pengamatannya.
"Anjir, sampe lebam ungu gini kena apa sih, Lai?" tanya Aluna sembari menyingkirkan anak rambut Laili, mencermati lebih detail.
Sedikit merasa gugup, Laili mencoba mengenyahkan tangan Aluna dari wajahnya. "Ah, biasa ibu-ibu, kena mainannya Ken. Wes, lungguh o, ndak ra penak disawang."
Aluna mengangguk paham sembari menghentikan aktivitas tersebut. Ia kembali duduk manis di kursinya, menyuap gyoza yang tampak menggugah selera. Namun, kedua manik matanya masih belum lepas dari Laili.
"Jare Ibuk sih sewulan ngkas rampung. Terus tinggal nyicil peralatan sama SDM," tutur Aluna menjawab pertanyaan Laili tadi.
"Hire aku aja deh, Lun." Laili berujar tanpa menatap Aluna, terkesan spontan.
"Nafkah bojomu kurang, tah?" tanya Aluna yang mengundang tatapan tajam dari Laili. "Lagian, kenapa hari ini Rafa absen, sih? Padahal mau silaturahmi sekalian minta testimoni soal hubungan rumah tangga."
Ujaran terakhir Aluna membawa gelak tawa Laili. Ibu Ken itu bahkan harus menyeruput minumannya terlebih dahulu untuk memutus tawa. Usai itu, ia melepas kacamata, bertemu tatap dengan Aluna.
"Bosen ngelajang, tah?" Pertanyaan itu mengalun dengan nada rendah, terdengar serius.
Aluna mengedikkan bahu. "Nggak juga, sih, tapi Ibuk karo simbah wes koyo debt collector le nagihi mantu."
![](https://img.wattpad.com/cover/323051430-288-k786512.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
es.o.pe | Standar Orang Perfect
RomanceDiajeng Bellona melarikan diri ke Yogyakarta setelah rencana pernikahannya diputuskan sepihak melalui panggilan telepon. Butuh lebih dari lima tahun untuknya menyembuhkan diri dan pulang, meski berujung dianggap cacat karena belum menikah di usianya...