✨bagian 4. kenalin, ini istriku

17 3 0
                                    

"IYA, Buk. Ini Aluna lagi makan sama Laili, ada Ken juga. Ter­nyata Ken gemesin banget, Buk. Kita culik aja gima­na?" Gurauan itu diakhiri Aluna dengan tawa menguar, men­curi pandangan seisi restoran.

Bocah laki-laki berumur tiga tahun itu mendengar na­manya disebut. Ia bergerak merapatkan diri pada ibu­nya. Kunyahannya mendadak memelan. Takut-takut ia me­natap Aluna yang duduk berseberangan.

Laili mengusap lengan Ken sembari menyodorkan su­ap­an bakmi. "Tante Aluna cuma bercanda, Ken."

"Wah, Ibuk mau ketemu Ken juga jadinya. Besok Ibuk i­kut jemput kamu ke Jogja ya, Nduk," sahut Ibu di seberang.

Aluna mengangguk semangat. "Oke deh. Ibuk sa­ma Paklek Turmuji mau jemput jam berapa emangnya? A­gak sore aja gimana?"

"Ya sudah, nanti ibuk tak bilang dulu ke Paklekmu, ya. Ibuk tutup teleponnya, salam buat Laili. Assalamu'alaikum," u­jar Ibu mengakhiri panggilan.

"Wa'alaikumussalam, Ibuk," balas Aluna lantas me­le­tak­kan ponselnya ke atas meja. Ia mendongak, menatap Laili secara penuh. "Dapet salam dari Ibuk, Lai. Katanya be­sok mau ke sini, ketemu Ken," lanjutnya.

"Terakhir ketemu Ibuk pas Ken ulang tahun ke sa­tu, ya. Duh, kangen banget, deh." Laili membalas usai me­nyelesaikan kunyahan wontonnya.

Meja dengan ukuran sekitar 1x1 meter itu tampak di­penuhi oleh beberapa mangkuk bakmi kosong—hanya pu­nya Ken yang tampak masih terisi, dua mangkuk won­ton soup, sepiring gyoza, dan tiga gelas minuman berbeda. Aluna melanjutkan suapan wonton soup-nya sembari be­be­rapa kali melirik Laili dengan sudut mata. Ibu anak satu itu tampak tak melepas kacamata hitamnya sejak tadi, bah­kan hingga mereka berganti hidangan.

"Kocomotomu kui raiso mbok lepas po?" tanya Aluna yang mulai terganggu.

Laili hanya meringis lantas menggeleng. Ia me­nyam­ping untuk menyodorkan suapan pada Ken. "Ba­ngun­an kafemu piye? Sido buka kapan sih, Lun? Aku meh melu nge­ramekne kii," lanjutnya yang mengubah arah pembica­ra­an.

Kelopak mata Aluna menyipit, menyadari adanya le­bam kemerahan di dekat sudut mata sahabatnya itu. Ia meng­hentikan suapan sembari setengah berdiri, menun­duk untuk menatap Laili lebih dekat. Bahkan tangannya ikut memegangi rahang Laili, memastikan bahwa sahabat­nya itu tak bergerak dan mengacaukan pengamatannya.

"Anjir, sampe lebam ungu gini kena apa sih, Lai?" ta­nya Aluna sembari menyingkirkan anak rambut Laili, men­cermati lebih detail.

Sedikit merasa gugup, Laili mencoba mengenyah­kan tangan Aluna dari wajahnya. "Ah, biasa ibu-ibu, kena ma­inannya Ken. Wes, lungguh o, ndak ra penak disawang."

Aluna mengangguk paham sembari menghentikan ak­tivitas tersebut. Ia kembali duduk manis di kursinya, me­nyuap gyoza yang tampak menggugah selera. Namun, ke­dua manik matanya masih belum lepas dari Laili.

"Jare Ibuk sih sewulan ngkas rampung. Terus tinggal nyi­cil peralatan sama SDM," tutur Aluna menjawab per­ta­nya­an Laili tadi.

"Hire aku aja deh, Lun." Laili berujar tanpa mena­tap Aluna, terkesan spontan.

"Nafkah bojomu kurang, tah?" tanya Aluna yang meng­undang tatapan tajam dari Laili. "Lagian, kenapa ha­ri ini Rafa absen, sih? Padahal mau silaturahmi sekalian min­ta testimoni soal hubungan rumah tangga."

Ujaran terakhir Aluna membawa gelak tawa Laili. Ibu Ken itu bahkan harus menyeruput minumannya ter­le­bih dahulu untuk memutus tawa. Usai itu, ia melepas ka­ca­mata, bertemu tatap dengan Aluna.

"Bosen ngelajang, tah?" Pertanyaan itu mengalun de­ngan nada rendah, terdengar serius.

Aluna mengedikkan bahu. "Nggak juga, sih, tapi Ibuk karo simbah wes koyo debt collector le nagihi mantu."

es.o.pe | Standar Orang PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang