Dia adalah duniaku. Dia adalah seluruh hidupku. Dia adalah sumber kebahagiaanku. Semua benar-benar terasa istimewa. Semua sangat terasa sulit untuk dilupa.
" Teruslah seperti itu, bodoh. "
Dengan segera aku menoleh kearah samping. Memperhatikan gadis kecil itu, yang tengah asik memainkan sekuntum bunga mawar yang ada dalam genggamannya.
" Apa maksudmu? " Tanyaku kemudian.
" Heuhh ??" Tersenyum remeh. Kemudian gadis kecil itu memperlihatkan telapak tangannya yang tengah mengeluarkan darah. Aku rasa, itu akibat dari dia yang terlalu kencang menggenggam batang bunga mawar yang tengah dia mainkan.
" Lihat ? Sudah jelas. Siapa yang bodoh disini. " Dengan segera aku meraih tangannya. Berusaha membantu mengobati lukanya dengan mengolesi alkohol sedikit demi sedikit.
Dia meringis kecil, dan dapat aku rasakan gadis kecil itu tengah menatap lekat kearahku. Mencoba menelisik setiap raut wajah yang akan aku keluarkan ketika membantu dia yang tengah menahan perih.
"Fiuhhh .. selesai. Kau harus lebih berhati-hati ketika ingin memainkan bunga mawar, gadis kecil". Aku mengacak-acak sedikit kasar rambutnya yang hari ini ditata dengan rapi. Yang dengan segera membuat dia mengurucutkan bibirnya.
Dengan kesal gadis kecil itu kembali merapihkan rambut nya yang berantakan karena ulahku. " Bagaimana bisa orang yang sedang terluka, bisa dengan mudahnya mengobati orang lain yang sedang terluka ". Membuang bunga mawar tadi dengan asal. Menepuk-nepuk pelan dress kuningnya yang mungkin sedikit berdebu. Seraya melayangkan tatapan seriusnya kearahku.
" Gadis kecil. Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan padaku? Tolong jelaskan sedikit lebih panjang. Karena aku tidak bisa mengerti begitu saja apa yang ini kamu sampaikan "
" Bodoh ! "
" Siapa sebenarnya yang kamu bilang bodoh, gadis kecil yang tidak tahu sopan santun ?"
" Tentu saja kamu ! "
" Heyy .. Mungkin disini yang lebih bodoh itu kamu. Sudah jelas batang bunga mawar itu berduri, tapi masih saja kamu genggam erat. Lihat telapak tanganmu yang harus aku beri perban "
" Tentu saja yang lebih bodoh itu kamu ! Sudah jelas laki-laki itu tidak ingin hidup dengan kamu. Dia ingin terlepas dari genggaman tangan kamu kak ! . Lihatlah, sekarang tanganmu yang lebih banyak mengeluarkan darah. Lepaskan kak. Jangan biarkan dia menyakiti kamu lebih dari ini "
Nafasku tercekat. Kedua mataku kembali menatap kearah laki-laki yang masih setia duduk disampingku. Dia menatap kearahku dengan amarah yang berusaha dia tahan. Beralih menatap kembali tautan tangan kami yang tidak pernah ingin aku lepas sedetikpun.
Benar apa yang gadis kecil itu ucapkan. Tanganku benar-benar terluka. Begitupun dengan tangannya. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Mengapa menjadi seperti ini? mengapa kita menjadi saling melukai?
Dia adalah duniaku. Dia adalah harapanku. Dia adalah sandaranku. Dia, selalu dia, selalu ingin dia.
Namun jika tetap dipaksa aku dengan dia akan sama-sama terluka. Aku yang terluka karena cakarannya yang ingin bebas. Dan dia yang terluka karena cengkramanku yang menahan dia terlalu keras.
" Benarkah apa yang gadis kecil itu ucapkan? Benarkah kamu ingin lepas dariku? "
Dapat aku lihat tatapan matanya yang tadi penuh dengan amarah kini berangsur menghilang. Digantikan tatapan sendu seraya menganggukkan kepalanya perlahan.
" Kenapa ? "
" Karena memang, tidak seharusnya kita seperti ini " Dia menunjukkan tautan tangan kami yang belum aku lepas.
" Akan terasa sulit jika aku hidup, tanpa ada peran kamu didalamnya".
" Bahkan setelah matipun, kita harus melewati beberapa tahap kesulitan sebelum menemukan kebahagiaan yang abadi "
Tanpa sadar aku membelalakan kedua mataku. Menatap tidak percaya pada apa yang telah dia ucapkan. Apakah selama dengan ku dia tidak pernah merasa bahagia? Apa denganku dia sebenarnya merasa sangat tersiksa? Apakah aku, apakah aku penyebab semua rasa sakitnya?.
Dengan perlahan. Aku melunakan sedikit cengkramanku. Membuat diapun ikut sedikit melunakan cakarannya ditanganku. Tautan tangan kami pun semakin lama, semakin terlepas.
Sakit ..
Rasanya benar-benar sakit. Entah itu karena bekas cakarannya. Atau entah karena kekosongan yang mulai bisa aku rasakan.
Dia sudah benar-benar terlepas. Dia benar-benar sudah bebas.
Aku masih menatap kearah telapak tanganku yang benar-benar terdapat banyak luka disana. Ini semua karena ulahku. Ini semua karena kesalahanku sendiri.
Dengan perlahan dia duduk dihadapanku. Mengoleskan sedikit alkohol. Membantu mengobati luka yang secara tidak sengaja dia torehkan.
" Segala sesuatu yang diawali dengan keterpaksaan tidak akan pernah berhasil akan hasilnya ". Aku masih menatap wajahnya yang tengah fokus membersihkan beberapa noda darah yang telah mengering.
" Genggaman kamu tidak selamanya salah. Ada beberapa waktu, rasanya aku ingin membalas genggaman kamu dengan sama lembutnya ". Ucapnya seraya menyematkan senyum tipis yang kembali menghiasi wajah rupawannya.
" Namun genggaman kamu tidak selalu lembut. Sering terjadi. Genggaman kamu selalu terlalu erat. Membuat aku sesak. Membuat aku ingin benar-benar lepas dari kamu "
" Aku minta maaf jika itu benar-benar menyakiti kamu ". Ucapku yang masih berusaha menepis tetes air mata yang semakin banyak membasahi pipiku.
Setelah selesai. Dia menatap lekat kearahku. Membantu merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Mengusap pipiku secara perlahan. Mungkin sebagai tanda salam perpisahan.
" Terima kasih karena kamu sudah mau melepaskanku. Terima kasih karena kamu sudah merelakan aku untuk mencari kebahagiaan lain. Terima kasih untuk semua waktu yang sering kamu habiskan denganku "
Untuk pertama dan terakhir kalinya aku memeluk tubuh tegap itu dengan begitu erat. Terima kasih aku ucapkan pada gadis kecil dengan dress kuning yang sudah menyadarkanku ' jika laki-laki ini memang tidak akan bahagia jika tetap denganku. Aku relakan semua. Aku relakan dia mencari bahagia yang lain'.
Tunggu !!
Dimana gadis kecil itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Alone
Teen Fiction"Dalam hidup pasti akan selalu ada pilihan. Memilih untuk berlari, atau memilih untuk berhenti" - Sheena Arkani "Segala sesuatu yang diawali dengan keterpaksaan tidak akan pernah berhasil akan hasilnya" - Tirta Galvin