Dalam beberapa kesempatan. Manusia selalu haus akan sebuah pengakuan. Entah itu diakui jika dia cantik. Entah itu diakui jika dia pintar. Atau entah diakui jika dia sangat berguna.
Hal itulah yang selalu menjadi pemicu, hal yang selalu menjadi pikiran, jika dia tidak diakui dia akan merasa menjadi manusia yang tidak berguna. Manusia yang merepotkan. Manusia yang tidak bisa apa-apa.
Dalam sebuah kasus pertemanan -yang melibatkan banyak pihak tentunya pikiran seperti itu akan selalu hinggap. Dimana hukum alam dengan sendirinya akan menghadirkan beberapa manusia yang benar-benar ditakdirkan untuk menjadi dia si istimewa.
Dari tiga puluh teman menjadi sepuluh teman. Dari sepuluh teman menjadi tiga teman. Hingga pada akhirnya dari tiga teman akan tersisa satu-satunya yang benar-benar teman.
Sheena termasuk kedalam salah satu manusia yang tentunya memiliki banyak teman. Entah itu ketika di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, bahkan sampai sekarang –dikampus pun Sheena masih memiliki banyak teman. Tapi hanya sebatas teman. Teman satu angkatan, teman satu jurusan, teman satu kelas.
Kembali pada definisi ingin diakui. Biasanya manusia akan melakukan berbagai macam hal, melakukan berbagai macam cara untuk mengambil perhatian si dia yang dianggap istimewa.
Contohnya seperti Galvin.
Bayangkan saja,, untuk apa mahasiswa arsitektur tengah makan dengan lahap dikantin fakultas seni. Dan yang lebih mengejutkannya lagi. Galvin masih lahap menyantap sarapannya, sedangkan disekelilingnya banyak pasang mata wanita yang tidak lepas untuk memperhatikan paras tampannya.
" Ngapain sihh Shee dia pagi-pagi udah disini ? "
Sheena menatap lekat kearah Aruni yang masih menggandeng tangan kanannya, menggelengkan kepala seraya menyelipkan rambut panjangnya-yang hari ini diurai ke belakang telinganya " Gak tahu Ru ".
Mendesah, Aruni balas menatap Sheena " Balik kelas aja yuk Shee, gak mood gue kalau ada dia "
Sheena mengangguk, mengikuti apa yang Aruni katakan. Untung saja posisi duduk Galvin sangat dekat dengan pintu kantin. Membuat Sheena dan Aruni bisa langsung melihat keberadaan Galvin disana.
" Jadi,, gimana? Lo beneran setuju sama tawaran tuh si orang gila ?"
Sheena terdiam. Ingatannya kembali memutar tawaran Galvin tempo hari. Sebenarnya Sheena tidak memiliki waktu lagi. Tepatnya besok dia harus memberikan jawaban tentang apa yang telah Galvin tawarkan.
Entahlah, Sheena masih tidak tahu harus menjawab apa " Kalau menurut kamu, aku harus jawab apa Ru? "
" Kalau kata gue sih, jelas lo harus jawab enggak mau sih Shee. " Aruni sedikit membenarkan ikat rambutnya. Mengambil lipbalm di tas kecilnya. Dan mengoleskan sedikit pada bibir tipisnya yang terasa kering " Tapi itu balik lagi sama perasaan lo Shee, kalau menurut lo, lo mau coba ya lanjut, kalau enggak yaudah berhenti dari sekarang aja."
Sheena mengerenyitkan kedua alisnya, menatap bingung kearah Aruni yang kini tengah serius mengacak-acak isi tasnya. Suasana kelas seni masih terbilang sepi. Hanya ada tiga manusia yang sudah menduduki kursinya masing-masing. Dua diantaranya adalah dia dan Aruni tentunya.
" Ru, sebenarnya apa sihh yang buat kamu gak suka sama Galvin ?"
" Dia so' ganteng "
" Tapi, kan emang ganteng "
Dengan seketika Aruni menghentikan kegiatannya, membelalakkan kedua matanya, menatap kaget pada Sheena yang mungkin tidak sadar jika dia telah mengakui si laki-laki gila itu tampan " Shee serius ??"
" Apa ?" Sheena memberikan senyum tipis, ketika teman satu kelasnya yang lain datang dan memberinya senyuman.
" Kayaknya lo suka sama Galvin ya ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Alone
Teen Fiction"Dalam hidup pasti akan selalu ada pilihan. Memilih untuk berlari, atau memilih untuk berhenti" - Sheena Arkani "Segala sesuatu yang diawali dengan keterpaksaan tidak akan pernah berhasil akan hasilnya" - Tirta Galvin