Jika dia punya kuasa. Mungkin hidupnya tidak akan seperti ini. Menjadi bahan tertawaan bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. Namun Sheena mengerti jika ini merupakan sebuah ujian dari sebuah kehidupan.
Karena salah satu syarat untuk menjadi manusia, adalah dengan rela menerima setiap ujian yang akan dia hadapi. Tidak pantas rasanya jika dia harus mengeluh pada Tuhan. Yang sudah dengan berbaik hati memberinya kesempatan untuk merasakan indahnya kehidupan.
Mengusap pelan wajahnya dengan handuk kecil yang Owen pinjamkan. Sheena menatap wajahnya yang sudah lebih baik dari sebelumnya.
Ia, memukul-mukul pelan dadanya ketika ingatannya kembali pada kejadian beberapa menit yang lalu, seketika rasa marah kembali menguasai emosinya.
Galvin ..
Mengapa laki-laki itu diam saja ..
Mengapa laki-laki itu diam saja ketika ia melihat, Ganeeta dengan sengaja menumpahkan jus mangga tepat diatas kepalanya.
Bagaimana bisa .. ba-bagaimana bisa Galvin. " Hikss .. " Sheena mengusap pelan pipinya yang penuh dengan linangan air mata.
Beberapa bulan terakhir ini Galvin nya benar-benar berubah. Setelah pembicaraan mengenai Galvin yang ingin segera bertemu ibunya. Laki-laki itu benar-benar banyak berubah.
Sebenarnya Sheena tidak tahu pasti. Apa penyebab Galvin bisa berubah seperti itu. Apakah ada kalimat yang cukup menyakiti hatinya ?. Ataukah Galvin marah hanya karena dia belum siap untuk mempertemukan dia dengan ibunya ?.
Ahh .. benar.
Pasti Galvin kesal karena alasan dia yang masih belum siap untuk mempertemukan dia dengan ibunya.
Memoleskan sedikit lipbalm pada bibirnya. Sheena menyelipkan rambut panjangnya –yang masih sedikit basah pada belakang telinga. Menarik dan mengeluarkan nafasnya secara perlahan. Sheena mencoba mengulas senyum kecil pada bibir tipisnya yang sudah tidak sepucat tadi.
" Ohh .. Owen. Aku pinjem jaket kamu dulu yaa. Besok aku balikin." Sheena memberikan senyum lebarnya pada Owen yang masih berdiri menunggunya didepan pintu toilet. Ia menunjuk jaket hitam Owen yang tengah dia pakai.
" Lo .. sama Galvin lagi ada masalah ?." Owen menatap penampilan Sheena dari ujung kepala sampai ujung kaki, menelisik apakah masih ada sisa jus dirambutnya atau di celana hitamnya. Tidak ada. Semuanya sudah bersih.
" Enggak. " Sheena menggelengkan kepalanya pelan.
" Gak usah bohong. Kalau gak ada masalah, kenapa dia bisa biarin lo diketawain hampir sama anak-anak satu kantin ?. Kalau gue gak papasan sama lo di lorong tadi, gue yakin lo masih kotor kayak tadi Shee."
Sheena terdiam. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang kembali berdetak tidak normal. Rasanya dia ingin menangis saat ini juga. Nyatanya dia dan Galvin sedang tidak baik-baik saja " Aku bener gak papa Owen .. Ohh tuh ada Galvin. "
Owen menolehkan kepalanya kebelakang. Menatap Galvin yang datang menghampiri keduanya, dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana hitamnya, tentu saja dengan raut wajah yang cukup datar.
" Makasih Wen. Sekarang lo boleh pergi."
Owen mengerutkan kedua alisnya " Tumben Vin. Lo tega malu-maluin cewek lo sendiri.". Galvin mengalihkan tatapannya pada Owen " Gak usah ikut campur. Ini urusan gue sama Sheena.".
" GALVIN !! ."
Sheena berteriak ketika Galvin dengan tiba-tiba akan membuka resleting jaket Owen dengan cukup kasar. Kedua tangannya memeluk sendiri tubuhnya dengan cukup erat. Berusaha menepis tangan Galvin yang berhasil meraih kembali restleting jaketnya " Galvin, stop !!. Aku gak pake baju lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Alone
Teen Fiction"Dalam hidup pasti akan selalu ada pilihan. Memilih untuk berlari, atau memilih untuk berhenti" - Sheena Arkani "Segala sesuatu yang diawali dengan keterpaksaan tidak akan pernah berhasil akan hasilnya" - Tirta Galvin