3

3.2K 1.1K 77
                                    

Seperti biasa rumah terlihat lengang. Kutatap wajah letih yang ada di depan cermin saat masuk ke kamar mandi. Mau tidak mau pembicaraan dengan suster tadi membuatku berpikir. Seperti apa masa depanku nanti? Apa yang sudah kulakukan selama ini? Semua sesuka hatiku, tapi apa yang terjadi? Tidak ada satupun kecuali kepuasan saat melihat orang lain takut saat melihatku. Senang saat mereka menghindar ketika aku menatap tak suka. Aku memang mudah marah, terutama jika ada yang mengganggu.

Setelah mandi kubuka situs tentang sekolah-sekolah bisnis yang ada di Amerika. Seharusnya tidak perlu seperti ini. Tinggal bilang Mommy maka seluruh data yang kuperlukan akan berada di depan mata. Tapi kali ini aku ingin melakukan sendiri. Kubaca informasi yang dibutuhkan satu persatu. Juga meneliti lokasi kampus yang akan dituju. Mencari universitas mana yang kira-kira menarik minat. Ada beberapa yang menjadi catatan yakni surat rekomendasi dan tes TOEFL. Untuk yang terakhir aku yakin lulus. Karena memang menguasai bahasa Inggris sejak kecil.

Sejenak tergoda untuk bermain game, tapi kembali ingat nasehat Suster Bernadeth, entah kenapa ada rasa haru yang tiba-tiba muncul. Sebulan ini aku adalah salah satu murid yang selalu bolak balik masuk ke ruangannya. Entah itu karena dipanggil atau sukarela datang sendiri. Satu yang membuatku salut, Suster tidak pernah menyalahkan, menghakimi dan memarahi seluruh perbuatanku. Hanya menasehati dan mengingatkan tentang masa depanku.

Ia adalah orang pertama yang melakukan itu. Sebelumnya tidak ada yang peduli. Bahkan ketika aku tidak pulang-pulang. Sering mendengar salah seorang teman yang dicari orang tuanya ketika terlambat pulang ke rumah. Itu tak pernah terjadi padaku. Maommy mungkin hanya bertanya dari mana. Kalau malas menjawab aku akan langsung pergi dan dia tidak mengejar atau bertanya.

Bosan berpikir tentang hidup, kuraih sebuah buku dan mulai membaca. Tak lama sudah kuletakkan kembali karena merasa bosan dan mulai mengantuk, akhirnya aku memilih tidur.

***

"Kamu ribut lagi kemarin?" tanya Mommy pagi hari saat kami sarapan bersama. Ia menatap tajam pada luka memar yang ada diwajahku.

"Iya, dengan Mark. Mommy tahu dari siapa?"

"Mommy-nya, dia masuk rumah sakit, giginya patah. Kenapa sampai separah itu?"

"Mobilnya sengaja menyenggol motorku sampai jatuh. Dia yang menyetir. Kutabrak mobilnya dari belakang. Mereka minta ganti rugi?"

"Ya, sekaligus menuntut kamu mengucapkan permintaan maaf. Mereka menyampaikan pesan melalui lawyer. Berarti ini sangat serius, Kalian punya masalah sebelumnya?"

"Keluarganya memang berlebihan."

"Sedikit, maklum orang kaya baru. Sedikit-sedikit buat pernyataan di media sosial lalu bayar wartawan. Mommy juga tidak suka."

"Awalnya kami ribut di club. Sepertinya dia tidak puas lanjut di lapangan basket."

"Sudah berapa kali Mommy katakan, jangan berkelahi. Tidak semua hal bisa kamu selesaikan dengan kekerasan." Nada suara Mommy terdengar seperti tengah memimpin dalam rapat.

"Sesekali boleh lah, dari pada terus menerus mendengarkan kesombongannya. Lagian bukan cuma dia yang terluka, aku juga. Nggak lihat memar diwajahku? Bedanya aku tidak mengatakan apapun pada Mommy."

"Daddy-mu tadi pagi menghubungi, menanyakan kejadian sebenarnya."

"Tumben tidak tanya kesalahan anaknya. Lagian untuk apa menghubungi Daddy? Dia tidak akan mau tahu tentang aku."

"Jangan terlalu keras kepala."

"Aku tidak mau berurusan dengan Daddy, semua bisa kuselesaikan sendiri." Elakku. Paling malas kalau sudah mendengar seseorang menyebut mantan suami Mommy. Selesai berkata demikian kutinggalkan meja makan.

TAK LEKANG OLEH WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang