10

6K 1K 56
                                    

Saat turun pagi harinya kutemui Mommy sedang sarapan sendirian. Kucium pipinya tanpa menyapa. Entah ke mana laki-laki bernama Andy itu.

"Ada apa dengan kamu?"

"Aku baik-baik saja."

"Kamu berubah, karena tadi malam? Andy sudah pulang kalau itu yang kamu mau tahu."

"Tidak ada hubungannya denganku."

Sebenarnya ingin bertanya lebih jauh, tapi sekali lagi itu bukan urusanku. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Mommy. Dia masih sangat muda ketika berpisah dengan Daddy. Perempuan normal pasti butuh belaian. Lama kami sibuk dengan sarapan masing-masing.

"Kamu tahu Mommy masih membutuhkan pendamping."

Kalimat itu cukup mengejutkanku. "Kenapa tidak menikah saja?"

"Supaya gagal lagi?"

"Tergantung bagaimana Mommy menghargai sebuah pernikahan. Buktinya Daddy bisa."

"Tidak mudah menemukan orang yang benar-benar mencintai dan bersedia menerima kekurangan mommy."

"Bagaimana dengan Andy?"

"Dia seorang instruktur yoga sebenarnya."

"Sudah lama kenal?"

"Setahun terakhir, dia juga memiliki acara yang cukup banyak pengikut."

"Apa karena dia terlalu miskin? Mommy bukan yang pertama, setidaknya Daddy juga melakukan itu."

Mommy meletakkan gelasnya. "Dia laki-laki, jelas tuntutan masyarakat berbeda. Dengan mudah akan mendapat cap menumpang hidup."

"Kita bukan orang berpikiran kuno, buat perjanjian pra nikah. Pasti aman."

"Kamu yakin Grandpa mengijinkan?"

Aku tidak tahu jawabannya. Sulit kalau sudah bicara tentang keluarga besar. "Kalau aku yang melakukan hal sama?"

"Kamu sedang menyukai gadis dari kalangan biasa?"

"Tidak."

"Jujurlah."

"Belum." Aku memilih menyembunyikan Airin karena takut Mommy akan mengirim orang untuk menyelidikinya.

Mommy terdengar lebih seperti orang yang sedang mengungkapkan dendam di masa lalu. "Bagaimana dengan hubungan Mommy dan Andy?"

"Tidak ada, just friend. Wawancara itu sudah lama direncanakan."

"With benerfit?"

"No, kenapa bertanya begitu?"

"Dia menginap?"

Mommy menatap ke arah lain yang segera kuartikan sebagai jawaban iya.

"Kamu berbeda sekarang."

"Aku hanya ingin melindungi Mommy. Jangan sampai orang lain berpikiran buruk."

"Mommy bisa menjaga diri. Kamu sudah dewasa. Jangan pedulikan kata-kata orang lain. Mereka hanya menuntutmu untuk sempurna sesuai standar mereka. Tanpa peduli seperti apa keadaanmu saat menjalankannya."

"Aku sudah sembilan belas. Hampir dua puluh. Paham dengan setiap keputusan Mommy." Ini adalah jawaban jujur hasil merenung sepanjang malam.

"Tidak lama lagi kamu juga akan menjadi milik orang lain." Kali ini ada senyum sedih pada rautnya.

"Aku akan tetap menjadi milik Mommy."

"Semoga jika waktu itu tiba, Mommy bisa menerima kehadirannya." Suaranya terdengar bercanda tapi aku tahu dia terlalu memaksakan diri.

TAK LEKANG OLEH WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang