6. Gelagat

69 20 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rave menyalakan keran wastafel. Tangannya saling menggosok dengan kuat, berpacu dengan degup jantung. Di baliknya, langit bergemuruh lagi. Petir menggelegar sepintas kemudian. Jendela bergetar keras. Tampaknya badai tidak akan usai dalam hitungan jari saja.

Rave membasuh muka yang pucat, kemudian mengangkat pandangan pada kaca di depan. Kedua matanya yang gelap memandang jauh pada pantulan di sana—melewati bahu telanjangnya, melampaui ambang pintu kamar mandi yang terbuka, kepada seorang wanita muda yang nyenyak di kasur.

Syukurlah. Nan mulai menerima nasib terjebak badai. Sejujurnya, Rave merasa bersalah karena mengajaknya berlibur di situasi yang tidak tepat. Semestinya aku mendengarkan ramalan cuaca bodoh itu, pikirnya, tetapi Rave tak pernah memerhatikan ramalan.

Atau peringatan.

Semalam ada seorang pemuda yang meninggal di penginapan, dan Rave tak bisa tidur. Bukannya ia putus asa. Ia tahu nasib baik tidak berpihak pada mendiang Nicco. Instingnya bekerja sangat baik menyangkut nyawa seseorang. Rave sudah menyaksikan terlalu banyak pertumpahan darah sehingga mampu menentukan nasib pemuda malang tersebut. Namun, melihat binar harapan di mata Erika, Rave tidak tega. Lagi pula ia bukanlah Raven Danvers yang dahulu. Misi hidupnya sekarang adalah membantu orang dalam kebaikan, bukan lagi—

Petir menyambar untuk kesekian kali. Rave mematikan keran dengan decit nyaring.

Namun, semua sia-sia saja. Setelah upayanya untuk membantu Erika mengobati mendiang Nicco, Rave merasa kecolongan. Ia mengira Nicco memang akan baik-baik saja—bahwa harapan Erika pantas untuk diperjuangkan. Bahwa insting Rave bisa saja salah, dan itu baik. Namun, saat seluruh penghuni penginapan sibuk, Nicco justru ditemukan dalam kondisi yang ... ya Tuhan.

Rave cepat-cepat memutar keran lagi, semata-mata untuk mengaliri gumpalan ludah yang ia muntahkan. Ia belum makan apa-apa semalam. Tak ada selera. Mengurus mayat yang tubuhnya terkoyak-koyak memang bukan pengalaman pertama. Namun Rave sangat membencinya.

Pemuda berambut legam itu meraih handuk dan mengusap wajah, kemudian melap bulir-bulir air yang menetes dari dadanya yang bidang. Ia menghela napas. Sudahlah. Hari telah berganti. Ada banyak hal yang mesti Rave lakukan hari ini daripada larut pada kengerian masa lalu.

Rave menghampiri tepi kasur dan mencondongkan tubuh. "Bangun, Sayang." Ia menarik helai-helai rambut cokelat kastanye Nan. "Sudah pagi," tambahnya dengan sebuah kecupan di pipi.

Nan mengerang. Ia mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran. Bahkan seorang Rave tidak lolos dari omelan Nan saat diganggu tidur.

"Apa yang kamu mimpikan?" Rave tersenyum geli. Akhirnya ada alasan untuk melupakan mimpi buruk sesaat. Ia menangkap tangan Nan, menyusupkannya kembali ke selimut, dan bergerak-gerak usil hingga Nan terkesiap bangun.

"Rave! Apa yang kamu—hei!" Nan mendesah. Ia menggeliat menjauh, semata-mata menyingkirkan tangan Rave dari tubuhnya. Senyum culas menyempurnakan kecantikannya. "Kau selalu tahu cara membangunkanku. Tapi ini masih ... astaga, masih jam lima. Apa kamu gila?"

Something in The StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang