5. Kematian

72 18 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jemari memainkan perkakas dalam ruangan kecil dengan mesin yang bising. Meski demikian, Orlen tak mempermasalahkan, seluruh atensinya tersedot pada kotak perkakas dan beberapa benda yang dirinya temukan di gudang. Mur dan baut berserakan di lantai, bisa saja membuat seseorang jatuh jikalau tak hati-hati melangkah. Gadis SMA yang menjadi mekanik dadakan sejak badai menerpa penginapan itu tersenyum, diangkatnya benda yang tak jelas bentuknya dan tertawa bak orang gila. Terhanyut dalam euforia, Orlen sontak melempar benda setengah jadinya saat pintu menjeblak terbuka.

"Astaga, kaget aku!" serunya sambil menoleh ke pintu. Ada seseorang di sana, dengan jas hujan dan suara bising badai di balik badan. Tanpa permisi, orang itu masuk, tetesan turun dari jas hujannya saat mendekati Orlen.

"Waktunya makan, kau ingin mati kelaparan?" Orang itu menunduk, wajah cantik memandang langsung Orlen, membuatnya terdiam sejenak. Meski sudah sehari penuh sejak mereka mulai dekat, gadis itu masih tak percaya dengan kecantikan pemuda tersebut.

Sadar dari keterpukauan, Orlen lantas memandang jam tangan yang ada di lengan kiri, pukul 07.00 PM, rupanya dia terlalu fokus pada hobi barunya. "Ah, ya, kau benar. Terima kasih karena sudah repot-repot ke sini, Kak Xiran." Gadis itu lantas memakai jas hujan yang diletakkan di sudut ruangan, kemudian berlari masuk ke gedung utama bersama Xiran.

Saat sampai di penginapan penghuni lainnya sudah ada di meja makan. Cahaya remang-remang yang berasal dari bohlam lampu tak menyurutkan niat mereka untuk mengisi perut malam ini. Orlen memilih langsung duduk di kursi kosong, saat gadis berkacamata yang tak terlalu jauh darinya melirik sebentar. Meski semuanya berkumpul—pengecualian Niccolo—suasana tegang melingkupi seluruh ruangan. Terjebak di penginapan selama beberapa hari dan hanya bergantung pada generator usang sepanjang malam memang bukanlah hal yang menyenangkan, Orlen sendiri jika bisa ingin segera pulang.

"Bagaimana keadaan Niccolo, Erika?" Gadis berkacamata bertanya setelah menyeka mulutnya dengan serbet. Matanya memandang gadis yang sedang memakan hidangan di seberang meja.

Gadis yang ditanya malah menyesap air yang ada di gelas terlebih dahulu. "Pendarahannya sudah berhenti, tapi tetap saja kondisinya lemah karena sudah kehilangan banyak darah," ujarnya kemudian mengambil piring yang isinya telah tandas, Erika memandang seluruh penghuni penginapan. "Kalau begitu saya permisi ke kamar duluan." Tak lama Erika menghilang, menyisakan beberapa penghuni yang ikut undur diri ke kamar masing-masing.



Orlen terbangun karena dahaga menyerang. Keadaan luar kamar temaram, dan mengingat sudah lewat tengah malam tak ada siapa pun di sana. Langkah gadis itu sedikit terseok-seok, akibat kantuk yang kembali menyerang. Beruntung, ketika sampai ada air kemasan di meja makan, membuatnya tanpa berpikir panjang menghabiskan isinya. Tuntas dengan keperluan, Orlen hendak kembali saat suara langkah kaki di lorong terdengar. Kantuknya seketika hilang, dengan panik dia mengambil teflon yang tak jauh dari jangkauan. Dadanya bertalu kuat, keringat serasa mengaliri belakang punggungnya. Langkah kaki itu makin mendekat, sembari menggigit bibir dan memejamkan mata, diayunkan teflon sekuat tenaga, bersamaan dengan itu, pekikan dan suara benda jatuh mengisi kesunyian malam.

Something in The StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang