BAB 17 : Temu Kangen

21 8 6
                                    

Hari ini adalah pertemuan pertama dengan ketiga sahabatku semenjak hampir empat tahun berlalu. Semoga empat tahun tidak merubah apapun dari kami.  Aku memulai membuka percakapan di grup whatsapp.

Obrolan Whatsapp grup

Aku : Guys, hari minggu pada kemana nih.

Satria : Gabut

Fara : Iya nih, sama lagi gabut diatas kasur

Bagas : Jongkok

Aku : Dasar kamu Gas, selalu begitu

Fara : Bukan Bagas kalau gak jorok

Satria : Cowok biasa kali kayak gitu

Aku : Btw, aku kirim sesuatu buat kalian.  Aku kirimnya ke sruput Cafe. Nanti sore bisa kalian ambil.

Bagas : Apa'an? Hadiah?

Fara : Yeeyy dapat apa ya (^,^)

Satria : Kenapa kamu kirim ke sruput Cafe

Aku : kalo kirim ke alamat kalian semua bisa bangkrut aku.

Untung alasanku sedikit masuk akal, semoga mereka percaya dan aku sudah tidak sabar menunggu sore.

Aku memandang langit sore yang biasanya berwarna jingga, kali ini hanya ada warna abu-abu dengan sedikit awan menggantung. Aku bergegas menuju sruput cafe, jangan sampai ketiga manusia itu lebih duluan datang. Yang ada aku yang dapat surprise, bukan mereka. Dengan style berbeda aku meminjam jaket kulit ayahku, memakai topi dan masker, sudah mirip penculik anak-anak.


Aku sudah bekerjasama dengan petugas sruput cafe, untuk melancarkan aksiku. Aku menacari tempat duduk di pinggir kaca supaya bisa memantau kedatangan mereka. Tidak lama mereka bertiga datang, aku melihat masih tetap kompak dengan datang  bersama-sama. Mereka bertiga langsung menghampiri petugas yang berada dikasir, mungkin bertanya tentang paket yang aku bicarakan di whatsapp grup. Petugas tersebut menyuruhnya duduk di tempat biasa kami nongkrong, semacam tempat duduk favorit kami berempat. Aku melihat dari kejauhan mereka langsung duduk dan saling pandang seperti orang bingung. Tidak lama aku berjalan menghampiri mereka dengan rasa gugup, sambil membawa piring diatas baki yang berisi pisang goreng kesukaan kami.

“Silahkan, Kak.” Sontak mereka kaget karena dikasih sepiring pisang goreng.

“Eh, tapi kita belum pesan loh mbak.” ucap Fara dengan nada panik.

“Oh, belum ya. Tapi sudah terlanjur disajikan kak, dimakan aja.” kalimatku semakin membuat mereka panik dan saling menatap satu sama lain.

Karena aku sudah gak kuat lagi menahan tawa, akhirnya aku membuka topi dan masker secara bersamaan.

‘Hanna..!” mereka bertiga berteriak serentak dan memelukku. Mungkin ada sekitar sepuluh menit kami berempat saling berpelukan, kok sudah mirip acara anak-anak itu ya, sambil berucap ber-pe-lu-kan.

“Bisa ya ngerjain kita, ujar Bagas sambil mengacak acak rambutku.”

"Sewa dimana itu jaket, sela Fara sambil memeluk tangan kananku.”

“Cocok sih kamu Han, kayak preman pinggiran.” Satria gak mau kalah komentar dengan kalimat yang selalu bikin hati kesal.

Kalian paling jago kalo ngebully aku, hidup kalian sepi ya selama hampir empat tahun, karena gak ada yang di bully. Aku memajukan bibirku hampir dua senti sambil memasang wajah kesal.

Kami membicarakan banyak hal, ada banyak cerita yang terlewatkan selama kami berpisah. Terkadang wajah kami berubah menjadi sedih, kadang sumringah mendengar cerita lucu dari masing-masing. Sungguh aku sangat merindukan suasana seperti ini, suasana yang tidak aku dapatkan ketika aku berada di surabaya. Ada pepatah bilang, sahabat adalah tempat untuk berbagi cerita sedih dan senang, bahkan cerita yang tidak ada bobotnya sekalipun. Aku baru menyadari kebenaran pepatah tersebut, sebab aku sedang mengalaminya.

Fara bersemangat bercerita tentang kabar baik, yaitu sebentar lagi dirinya akan melangsungkan pernikahan yang akan berlangsung dua bulan lagi. Obrolan tentang pernikahannya Fara menambah obrolan kami memesan ulang cemilan dan minuman. Bagas juga tidak mau kalah, memberikan pengumuman pernikahannya yang selang satu bulan dari acaranya Fara. Mereka berdua terlihat begitu bahagia menyambut kehidupan barunya, semua terlihat dari cara mereka menceritakan konsep pernikahannya. Sementara Satria masih sibuk membantu perusahaan papanya yang sedang membuka cabang di beberapa kota. Aku.., jangan tanya tentang hidupku, semua masih begitu abu-abu tidak terarah. Bahkan dipikiranku tidak ada rencana pernikahan atau tujuan hidup yang seperti apa. Aku menjalani kehidupan ini dengan santai dan menikmati setiap proses yang akan terjadi esok, nanti, dan lusa.


“Btw, cowok yang kamu bilang kayak artis korea itu gimana? Kamu gak menikah aja sama dia. celetuk Fara memecah kosentrasiku.”

“Eum.. aku menarik napas berat kemudian menghembuskannya perlahan. Dia sudah meninggal dua tahun lahu.”

“Hah! Kok bisa.”

Tiba-tiba kepala Fara langsung di toyor sama Bagas dan Satria.

“Kecelakaan, kecelakaan tunggal lebih tepatnya, jawabku tidak semangat.” Tentu saja aku tidak menceritakan kejadiannya dengan detail

“Sorry, Han.” kalimat Fara penuh penyesalan sambil merangkulku.

Aku menganguk, entah mengapa mendadak dadaku seperti ada yang mengganjal karena begitu sesak untuk bernapas. Sekilas bayangan Dimas muncul di pikiranku.

Tiba-tiba aku kepikiran selembar kerta yang akan aku tunjukkan kepada semuanya, aku langsung membuka tas dan mencari keberadaan kerta tersebut. Aku mengaduk-aduk tas dan mengeluarkan semua barang keatas meja. PLAK! Aku menepok jidatku sendiri, aku lupa jika kertas itu sudah aku pindah ke dalam laci.

“Sial! umpatku.”

Semua mata tertuju padaku, karena melihat tingkahku yang mendadak aneh.

“Cari apa’an sih! tanya Satria penuh heran.”

“Iya, kayak barang penting aja sampai panik gitu.” sambung Bagas.

“Tadinya aku mau menunjukkan sesuatu kepada kalian, tapi barangnya gak ada. Aku lupa kalau sudah aku pindah ketempat lain.” jelasku kepada mereka.

“Barang apa’an? Fara semakin penasaran.

“Besok aja deh, soalnya kalau gak ada barangnya susah mau ngejelasinnya.”

Wajah mereka langsung berubah, seolah kecewa karena apa yang di tunggu tidak jelas.

Aku menyandarkan badanku ke sofa sambil menatap lampu gantung yang  berada diatas kepalaku. “gagal lagi mau cari tahu pelaku itu” ucapku dalam hati sambil memejamkan mata.

“Hanna! Teriakan Fara membuatku kaget sehingga badanku langsung duduk tegap.”

“Kampret, bikin kaget aja sih! makiku.”

Yang lainnya langsung tertawa melihat ekspresiku. Berada di tengah-tengah mereka aku tidak pernah merasa kesepian, semoga kebersamaan ini tidak akan hilang seiring diantara mereka akan menempuh kehidupan baru. Ada canda, tawa, tangis, bahagia, serta kelucuan yang membuat persahabatan ini menjadi berwarna. Kelak cerita ini akan menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak kami. Sudah berjam-jam lamanya obrolan ini berlangsung, dari cafe sepi sampai ramai dan kembali sepi kami masih sibuk dengan ocehan kami. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang karena mata sudah begitu berat ingin segera tidur. seperti biasa Bagas dapat tugas mengantar kami satu per satu sampai rumah.

Sampai dirumah aku langsung menuju kekamar untuk istirahat, tapi langkahku terhenti karena ada suara yang mengagetkanku.

“Ayah, bikin aku kaget aja. Gerutuku sambil memandang wajah ayahku.”

“Kamu ini jam segini kok baru pulang, dari mana saja.”

“Ketemu sama teman-teman Yah, Fara, Bagas, dan Satria.” Aku harus menjawabnya dengan lengkap, jika tidak aku bakalan terus-terusan di interogasi.

Setelah mempercayai kalimatku, ayah kembali masuk kedalam kamarnya, begitu juga denganku. Rasanya pinggang kena encok akibat duduk berjam-jam lamanya.

Mitos Jodoh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang