BAB 10 : Koma

40 10 30
                                    

07:30       Dimas : [Hanna, kamu kok belum ada di kantor?]

08:15      Dimas : [Han, kamu sakit?]

09:35      Dimas : [Hanna, plis jawab telepon aku. barusan aku di panggil Pak Anthony, kalau kamu sudah mengundurkan diri dari perusahaan. Kenapa Han? kenapa gak bilang dulu sama aku? apa semua ini karena aku?]

Dimas begitu gelisah karena Hanna mengundurkan diri tanpa pamit, padahal hari sebelumnya mereka berdua membicarakan hubungan mereka dan semua tampak baik-baik saja, walaupun belum resmi pacaran. Hari itu Dimas tidak kosentrasi bekerja, yang ada dalam pikirannya hanyalah Hanna. Di tambah sejak pagi panggilan dan pesannya tidak mendapatkan jawaban dari perempuan yang kini sedang dicintainya itu. Rasa bersalah pun menghampiri dirinya, karena perasaan yang tidak bisa dipendamnya kini dirinya justru kehilangan orang yang dicintainya.

11:15      Aku : Sorry, Dim. Aku gak bisa cerita apapun sama kamu. Ini keputusanku sendiri, tidak ada hubungannya denganmu. Aku harap kamu bisa mengerti.

Aku tidak menjawab banyak pertanyaan dari Dimas, karena akan memperkeruh keadaan. Aku tahu, mungkin saat ini Dimas sedang menyalahkan dirinya atas sikapku mundur dari perusahaan. Setidaknya aku bisa sedikit bebas dari pandangannya dan bisa menenangkan hati dan pikiranku. Sebab, hari ini aku hanya berdiam diri di kost.

Rintikan hujan mewakili suasana hatiku
Aku berjalan menuju jendela kamar
Mengeluarkan setengah kepalaku untuk menyaksikan air berjatuhan
Begitu syahdu, begitu menenangkan
Bunyi percikannya mampu menghibur hatiku
Hati yang gundah karena ada lelaki yang mencintaiku


Sore itu Dimas datang ke kost, dia ingin bertemu denganku untuk bicara perihal keputusanku. Padahal sedang turun hujan, aku pun malas untuk keluar kamar. Berkali-kali dia meneleponku, tapi tidak sekalipun aku menjawabnya. Entah kenapa mendadak malas bicara denganya.

“Bu Sri, boleh minta tolong? Aku menyergap langkah Bu Sri yang kebetulan lewat depan kamarku.”

“Boleh, Mbak. apa?

“Bisa intip keluar pagar? Apakah benar ada seseorang disana.”

“Temannya Mbak Hanna? Kenapa gak di suruh masuk saja.” Bu Sri justru salah tangkap yang aku bicarakan.

“Bukan, coba Bu Sri pastikan dulu, beneran ada atau tidak.” Perempuan paruh baya itu menganguk dan pergi mengambil payung menuju pagar depan.

Bu Sri mengintip pagar dari celah-celah kecil, sambil sesekali badannya membungkuk. Mungkin untuk melihat lebih jelas orang yang ada di depan sana. Tidak lama Bu Sri menghampiriku dengan langkah tergopoh-gopoh.

“Ada pria yang sedang berdiri di samping mobilnya Mbak.” terang Bu Sri sambil mengatakan ciri-ciri orang tersebut.

“Kasihan, ini kan sedang hujan. Bajunya sudah basah kuyup. Sambungnya dengan wajah setengah iba.”

Mendengar apa yang di sampaikan Bu Sri, aku langsung merasa bersalah. Kenapa Dimas senekat itu, keluar dari dalam mobil hujan-hujanan hanya karena aku. pikiranku semakin tidak karuan. Tapi aku masih dengan keras kepalaku yang tidak mau menemuinya.

Aku segera mengambil handpone, dan mengirim whatsapp kepada Dimas. Aku menyuruhnya pulang, bahkan aku janji untuk bertemu besok dan menceritakan semuanya. aku juga menulis permohonan agar dia menurut kali ini. selang beberapa menit, Dimas membalas pasanku, hanya dengan kalimat OK. Aku tidak tahu lagi apakah dia beneran pulang atau tetap bertahan dengan keangkuhannya disitu. Padahal aku hanya khawatir jika dia sakit atau kenapa-napa.

Mitos Jodoh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang