BAB 23 : Ciuman Pertama

29 4 0
                                    

Cinta tidak butuh waktu untuk menjelaskan, kenapa seseorang jatuh cinta.
Cinta tidak memiliki alasan untuk memilih seseorang yang dicintainya.

AUTHOR



Hari ini aku dan satria sibuk wara wiri untuk mempersiapkan pernikahan kami yang tinggal beberapa hari lagi. Kegiatan hari ini ditutup dengan makan malam berdua, ini kali pertamanya aku dan satria makan malam di tempat yang romantis lengkap dengan buket bunga di samping meja serta pernak pernik berbentuk hati yang memenuhi ruangan tiga kali tiga. Sambil menunggu makanan datang, satria terus menatapku. Entah kenapa aku jadi salah tingkah sendiri jika di pandangi sama satria.

“Sat, bisa tidak kamu jangan menatapku seperti itu. pintaku, karena mulai risih.”

“Memangnya kenapa? aku sedang bahagia akhirnya bisa menatapmu dengan leluasa tanpa gangguan Fara atau Bagas.” sahutnya setengah menggoda.

“Eum.. berikan alasan kenapa kamu memilih aku untuk menjadi pasanganmu.”

“Karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama orang yang aku cintai.” Satria menjawab pertanyaanku dengan kalimat receh tapi mampu buat hatiku berbunga lengkap dengan pipi merona.

“Silahkan, selamat menikmati.” Kalimat dari petugas restoran menhentikan adegan serius kami. Entah sejak kapan makanan yang kami pesan sudah berada diatas meja.

Tanpa basa-basi kami langsung menyantap makanan yang sudah tersaji. Aku seperti mengalami dejavu, pernah mengalami adegan seperti ini tapi di tempat lain. sambil mengunyah makanan pikiranku menerawang mengingat-ingat kejadian yang sama.

Glek!

Mendadak makanan yang belum ingin aku telan dengan tidak sopannya langsung masuk menuju tenggorokan. Aku langsung mengambil segelas minuman di meja. Satria yang melihatku langsung mengusap pipiku sambil berkata “pelan-pelan makannya”  lagi-lagi aku malu karena kebodohanku. Ini bukan soal dagingnya yang keras, tapi karena aku ingat peristiwa yang sama itu adalah Dimas. Ya, aku pernah melakukan makan malam seperti ini bersama dimas beberapa tahun lalu sebelum kecelakaan itu merenggut nyawanya. “Ah! Kenapa aku teringat akan peristiwa itu? Batinku.” 

“Han, kamu lagi mikirin apa? makanannya gak enak ya.” tanya Satria sambil melihat makananku.

“Eh, enak kok. Aku cuma sedang mengingat-ingat apalagi yang masih kurang untuk acara kita.” aku mejawabnya dengan sedikit kebohongan.

“Nanti kita cek lagi daftarnya, masih kurang apa aja. Sekarang makan dulu ya.” pinta satria.

Jantungku langsung berdebar karena sedang melakukan kebohongan, tapi aku tidak mungkin menceritakan perihal dimas kepada satria. Apalagi pernikahan kami tinggal menghitung hari.

Selesai makan kami berdua langsung pulang, sepanjang perjalanan menuju parkir mobil, satria terus menggenggam tangangku. Bahkan sesekali dia mengusap-usapnya sambil menatapku, aku hanya melihatnya penuh keanehan sambil tetap fokus berjalan.

“Sat, sorry ya kalau aku masih sedikit canggung dengan hubungan kita.”

“Gak masalah, Han. semua butuh waktu.” Sahut satria sambil memasang seatbelnya.

“Semua berjalan begitu cepat.” Aku menghembuskan napas panjang sambil menyandarkan punggungku.

Mendengar kalimatku, posisi duduk satria yang tadinya lurus kedepan langsung menyamping dan menatapku.

“Kamu cinta gak sama aku, Han?”

Aku terdiam beberapa saat sambil memejamkan mata. “Hmm.. aku menyayangi kamu sebagai sahabat, tapi akhir-akhir ini aku mencintai kamu sebagai orang baru yang masuk dan memporak-porandakan hatiku. Bahkan aku sendiri masih tidak mempercayainya jika cinta datang secepat itu.” Jelasku membalas tatapan satria yang sedari tadi berlum berpaling.

“Lalu, apa yang menjadi kegelisahanmu.”

“Aku tidak gelisah.” Sahutku langsung mengatur posisi dudukku menjadi tegap.

Kami saling pandang untuk sekian detik, tangan satria mengusap pipiku. Wajahnya semakin dekat kearahku, tidak lama bibir kami saling bersentuhan. Entah kenapa aku begitu menikmati setiap gerakannya, bahkan lidahnya dengan liar masuk kedalam mulutku. Ini adalah ciuman pertamaku, sehingga aku tidak mampu mengimbangi gerakan satria yang begitu membabi buta.

“Sat, Satria.. hentikan.” Aku mendorong badan satria karena sudah susah bernapas.

“Maaf, Han. Aku kilaf.” Sahutnya dengan napas yang masih tersengal.

Kami saling terdiam, satria menyalakan mobilnya dan bergegas pergi. Semenjak keluar dari restoran kami terlena dengan obrolan tanpa disadari masih berada di parkir restoran. Entah adegan tadi terekam cctv atau tidak aku sudah tidak bisa berpikir lagi.

“Hanna, baru pulang?” tanya ayah, suaranya mengagetkanku yang baru menutup pintu.

“Iya, Yah."

“Sudah berapa persen persiapannya, apa yang masih kurang biar ayah sama ibu bantu.”

Aku duduk di hadapan ayah dan ibu sambil menatap makanan di meja makan, baru kali ini aku tidak selera makan masakan ibu. Ciuman tadi membuatku merasa kenyang.

“Tinggal milih sauvenir aja, Yah. Semuanya sudah beres, besok Satria datang kerumah buat bantuin milih-milih sauvenir.” Aku berusaha menjelaskan sampai dimana persiapan pernikahanku dengan satria.

Ayah dan ibu hanya menganguk sambil menikmati makan malamnya. Sementara pikiranku masih terbayang adegan di mobil tadi. “Duh! Norak!” aku memaki diriku sendiri dan pergi ke kamar untuk tidur.

Hari ini begitu melelahkan, sejak pagi hingga malam aku baru bisa meluruskan kedua kakiku. Aku memandang langit-langit kamar, masih dengan pikiran alotku yang menyangkal bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah sebuah mitos. “Ah! Bodo amat deh, mau mitos atau bukan toh semua sudah terjadi. Mungkin setelah ini aku mulai mempercayai jika beberapa mitos memang ada, dan kebenarannya siap menghampiri siapapun yang tadinya tidak mempercayainya.”  Mulutku terus komat kamit membicarakan kalimat yang sudah mulai ngelantur karena rasa kantuk yang menyerang perlahan tapi pasti. Hanya dengan hitungan detik aku sudah kabur kealam bawah sadar sambil memeluk guling kempes kesayangan.

“Hanna, Ayah dan Ibu pergi kerumah Bude dulu.” kalimat ibu membangunkanku dari mimpi indah.

“Mau ngapain kerumah Bude?” tanyaku dengan mata masih terpejam.

Buugh!

“Ayo bangun, kamu ini sudah mau menikah kok masih malas-malasan.” Ibu melemparkan bantal kecil ke wajahku. Hal tersebut membuatku kaget dan seketika duduk sambil menahan sisa kantuk.

“Ih.. ibu ditanyain ngapain kerumah Bude, malahan lempar bantal.” Gerutuku.

“Ya nyuruh Bude datang keacara pernikahan kamu nanti, kalau sama orang yang lebih tua itu harus datang, gak cukup pakai undangan dan telepon saja. Sudah sana mandi, kamu bilang satria mau datang.” terang ibu yang bicaranya sudah kayak tukang sayur gak ada jedanya.

“Iya..Iya.., sahutku sambil turun dari tempat tidur.”

Setelah ibu keluar kamar, aku bergegas menuju kamar mandi. Akhir-akhir ini pikiranku menjalar kemana-mana sehingga sulit untuk fokus. Kejadian lagi sabun aku pakai buat keramas. “Aarrggghhh!” aku berteriak penuh kekesalan karena rambutku menjadi agak kaku setelah menggunakan sabun mandi. Aku mengulang adegan mandiku dengan benar, membuka mata lebar-lebar supaya tidak mengulangi kesalahan yang baru saja terjadi.

Karena perut sudah mulai keroncongan aku langsung menuju meja makan dengan handuk yang masih menempel di kepala. Seperti biasanya, ibu selalu menyiapkan makan pagi. Aku menikmati setiap suapan yang masuk kedalam mulut, karena sebentar lagi aku akan tinggal dirumah baru bersama satria.
“Mudah-mudahan bisa bangun pagi dan membuat sarapan.” Cetusku sambil terus mengunyah makanan.

Mitos Jodoh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang