BAB 15 : Kembali Pulang

21 9 19
                                    

Birunya langit tidak akan berubah menjadi birunya laut.
Begitupula rinduku, yang tidak akan hilang sebelum bertemu.

Author

Empat tahun telah berlalu, banyak kenangan yang harus aku tinggalkan di kota ini. Seberapa jauh aku melangkah dan berapa lama aku bertahan, nyatanya kembali pulang adalah tujuan akhir dari perjalananku. Tahun demi tahun mengukir berbagai cerita kehidupan, membuatku menjadi manusia yang lebih matang dan memiliki pikiran lebih dewasa. Kerinduan berkumpul keluarga juga para sahabat meyakinkanku untuk menyudahi perjalananku di kota ini. Kota sejuta cerita yang mungkin tidak akan aku lupakan. Ada asa dan rasa yang bergemuruh menjadi sebuah cerita untuk mendewasakan manusia keras kepala sepertiku.


Matahari pagi selalu memberikan semangat dan kehangatan dalam hidupku untuk mengawali rutinitas setiap hari. Aku akan merindukan kamar kost ini, kamar yang menjadi saksi bisu perjalananku selama di kota ini, kamar yang selalu mendapat cahaya kehangatan dari sang mentari.

Aku menarik napas berat sambil menuju wastafel. Setelah membasuh wajahku dengan air, aku masih berdiri menatap diriku didalam cermin. Dengan bodohnya aku mencubit pipiku yang tirus, hanya untuk memastikan jika ini bukanlah mimpi. Ya, aku hanya memastikan apa yang sedang aku lakukan benar-benar nyata. Pandanganku kembali ke beberapa barang yang berserakan di lantai, semalam aku tidak sanggup lagi membereskan karena mata sudah sangat ngantuk. Bahkan pagi ini aku tidak sempat merapikannya karena harus berangkat ke kantor. Ada perasaan deg deg'an tapi ada rasa senang. Ya, hari ini adalah terakhir aku bekerja sebab aku memutuskan untuk pulang selamanya. Pengunduran diriku juga sudah di setujui oleh perusahaan, walaupun hari ini agak santai, aku tetap berangkat pagi seperti biasanya.




Sampainya di kantor aku langsung di panggil keruang direktur. Dalam hatiku sudah senang karena bakalan dapat pesangon, ternyata kenyataan berbalik seratus delapanpuluh derajat. 

“Hanna, kamu resign-nya mundur dua atau tiga hari ya.”

“Hah! Kok mundur, Pak. Bukannya kemarin Bapak sudah approv.” Mendadak kalimatku meninggi.

“Bu Maya masih belum bisa masuk, bayi yang kemarin dilahirkannya mengalami kuning. Jadi masih berada di rumah sakit.” terang pak direktur yang membuatku langsung lemas.

“Kan ada team lain, Pak..aku masih berusaha memelas agar tidak jadi mundur.”

“Plis Hanna, kasih dedikasi kamu untuk perusahaan ini dengan mundur dua hari yaa. Lagian kamu pulang aja kan, gak ada urusan yang penting.”

Aku hanya bisa pasrah, karena gak bisa menolak juga. Aku melangkah keluar ruangan direktur dengan gontai, sambil sesekali memijat pelipis yang mulai berdenyut.


“Woi, kenapa kok lemes. Gak dapat pesangon? tanya Vee yang memperhatikanku keluar dari ruangan direktur.”

“Hmm.. masih mending gak dapat pesangon, ini malah suruh mundur dua hari lagi.”

“Mundur? Apanya yang mundur.”

“Jadwal aku resign mundur dua hari lagi karena Bu Maya belum bisa masuk kerja.”

“Oo…begitu toh.” Sahut  Vee sambil menatapku seolah dia senang karena aku gak jadi pulang cepat.

“Apa’an sih, cengar cengir. Senang kamu ya.” aku meletakkan kepalaku diatas meja karena tidak bersemangat.

Vee semakin menggodaku dengan mengacak-acak rambutku yang sengaja tidak aku ikat karena tadi masih setengah basah.

Jujur seharian aku gak ngapa-ngapain dikantor, hanya membolak-balikan berkas dan menatap layar monitor. Dengerin musik, bikin kopi, ngemil jajan yang dibelikan sama Vee. Rencana yang sudah aku susun jadi berantakan, membuatku gabut sepanjang hari, ini yang dinamakan gaji buta.


Begitu selesai menghabiskan waktu penuh kegabutan di kantor, akhirnya senja datang dengan cepat dan segera berganti malam. Aku berkemas-kemas untuk segera pulang karena ada banyak barang yang segera aku packing.

“Waktu datang aku cuma bawa satu koper dan ransel, kenapa ini sudah dua koper masih kurang?” aku bicara sendiri penuh rasa heran.

Selama hampir empat tahun aku menghabiskan uangku dengan membeli barang-barang yang tidak bisa aku jual lagi. Baju-baju dan tas juga sepatu ini sudah memenuhi dua koperku, setengahnya lagi masih berantakan dilantai. Aku membongkar isi koper ulang, memilah-milah mana yang bisa aku kasih ke orang dan sebagian akan aku bawa pulang. Walaupun semuanya masih begitu bagus tapi semua ini tidak bisa aku bawa semuanya, bisa-bisa pulang aku sewa mobil box hanya untuk membawa barang-barang ini.


Setelah berjam-jam aku berhasil menyingkirkan barang yang tidak aku bawa. Kamar sudah mirip kapal pecah, semua berserakan dimana-mana.

Drrtt!

“Hanna, besok kamu gak usah ke kantor, barusan Bu Maya memberi kabar kalau besok sudah bisa ngantor. Nanti uang pesangon biar di transfer sama Bu Maya ke rekening kamu. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perusahaan kami, semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.”

Membaca whatsapp dari pak direktur aku senyum-senyum sendiri, saking senangnya aku jingkrak-jingkrak diatas tempat tidur dan ada bunyi KRAK cukup keras hingga aku menghentikan tingkahku. Aku memeriksa tempat tidur dengan rasa panik. “Duh! Jangan sampai tempat tidur ini patah.” umpatku. Mau pulang aja banyak banget hambatannya, kalau sampai patah aku bakalan ganti rugi bisa-bisa beneran mundur agendaku pulang kerumah. Setelah memastikan aman, aku kembali naik dengan perlahan dan merebahkan tubuhku dengan sopan agar tidak terjadi sesuatu.



Pagi yang cerah, secerah hidupku hari ini. Aku berangkat ke stasiun pasarturi diantar sama Vee. Begitu baiknya dia, rela cuti kerja hanya ingin mengantarku ke stasiun dan membuatku terharu. Selama kami bersama, belum pernah sekalipun kami berantem atau saling diam.


“Han, kamu bakalan balik sini lagi gak? tanyanya.

“Entahlah, aku gak tahu.” Sahutku singkat.

“Kembali lagi seperti beberapa tahun lalu, aku bakalan sendiri lagi di kost. Jalan-jalan sendiri, cari makan sendiri, lebih banyak menghabiskan waktu di kamar saja. Mungkin kamu juga akan kembali menjalani kehidupan yang sama seperti sebelum datang kesini. Hidup memang tidak bisa di tebak ya, Han.”


Walaupun matanya tetap fokus dengan jalanan yang padat, Vee tatap seperti kebiasaannya, ngomong panjang kali lebar sama dengan luas.

Entah kenapa kalimat Vee seperti memberikan pesan tersembunyi kembali ke beberapa tahun lalu dan hidup tidak bisa ditebak  seolah kalimat itu menyiratkan sesuatu, sayangnya aku masih belum dapat kata yang tepat untuk menggambarkan kalimat tersebut.

“Thanks ya, Vee, selama aku di surabaya kamu sudah menemaniku dalam suka dan duka, mungkin banyak dukanya kali ya. Kalau ada waktu senggang aku akan main kesini, atau kalau kamu ada waktu bisa berlibur ke semarang, nanti tidur dirumahku.”

“Seru juga tuh, Han.” seperti biasa, Vee selalu antusias dengan hal-hal baru.

Sayangnya obrolan kami harus selesai karena sudah sampai di stasiun. Kami berdua saling berpelukan untuk terkakhir kali. Terdengar pengumunan bahwa keretaku sudah datang, aku bergegas masuk ke dalam dan meninggalkan Vee yang masih berdiri di pintu luar. Kami saling melambaikan tangan seperti yang ada di film-film, sayangnya ini sebuah kisah nyata yang hanya bisa dinikmati oleh orang disekitar yang memang melihat aksi kami berdua.

Dalam perjaalanan di kereta, jariku sudah gatal untuk memberitahu sahabatku melalui grup whatsapp, tapi selalu aku urungkan karena ingin memberi kejutan. Aku juga tidak memberi kabar kepulanganku kepada orang tuaku. Rindu ini sudah menggunung karena selama hampir empat tahun aku tidak sekalipun pulang. Tidak sabar ingin segera bertemu mereka semua dan cerita banyak hal yang aku alami.

Mitos Jodoh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang