BAB 2 : Percakapan Panjang

52 19 33
                                    

Selesai ke acaranya Amel, kami berempat memutuskan untuk nongkrong di cafe langgangan, Sruput Cafe namanya. Selain namanya unik, cafe ini begitu homey. Kami pun memesan minuman dan cemilan untuk menemani obrolan malam kami.

"Gimana Han, sudah dapat ijin dari kedua orang tuamu?" tanya Bagas.

Aku hanya menggelengkan kepala dengan wajah masam.

"Yaudahlah Han, cari kerja disini saja, ngapain sih harus keluar kota." timpal Fara sambil mensruput kopi panasnya.

"Benar tuh, atau gak kamu menikah saja sama aku hahaha." ujar Bagas sambil tertawa lebar.

"Dengar ya, kemarin aku sudah bahas kalau aku gak akan menikah dalam waktu dekat. Dan kamu jangan berharap bisa menikahiku walaupun kamu anak orang kaya, sekalian harta orang tuamu gak akan habis tujuh turuan." ungkapku dengan memandang wajah semuanya.

"Kamu ngapain lihatin aku dengan tatapan begitu Sat. jangan berpikir juga bisa menikah denganku." imbuhku dengan nada sewot kepada Satria yang sedari tadi menatapku tanpa kedip.

Seketika suasana menjadi hening, mungkin kalimatku sedikit berlebihan. Kami menghabiskan malam dengan cerita-cerita konyol dan tidak bermutu.

"Sat, kamu gak pengen ngelamar ke avengers?" tanya Fara dengan polos.

Semua mata memandang Fara, karena kalimatnya kurang masuk akal.

"Maksudnya gimana sih, Far." sahut Satria.

"Iya, nama kamu kan Satria. Anggota avengers kan satria semua tuh pada jago berantem."

Krik....Krikk.... 🪳🪳

Aku, Satria dan Bagas saling pandang, semua terdiam sesaat dengan wajah berpikir keras.
Kami bertiga masih tidak nyambung dengan kalimat Fara yang kayak orang mabuk. Fara merasa canggung karena jokesnya gagal membuat kami tertawa, sebaliknya kami justru berpikir mati-matian untuk memahami kalimatnya. Selang beberapa detik setelah kami semua terdiam, pandangan kami tertuju ke meja. Menatap tajam sebuah piring yang hanya tersisa satu pisang goreng,

Shreettt!

Tangan Satria lebih dulu mengambil pisang goreng itu. Sementara aku, Bagas dan Fara menarik tangan kami karena gagal mendapatkan pisang goreng satu-satunya. Satria memakan pisang dengan lahap seolah takut kami minta. Entah kenapa kami mendadak bertingkah seperti anak kecil. Kami pun menertawakan tingkah kami sendiri, saling toyor kepala karena merasa lucu saja.

"Pulang yuk, sudah hampir jam 11 malam. Takut nanti aku berubah jadi upik abu." kata Fara.

"Gak mungkin berubah Far, kamu memang sudah mirip upik abu. Mau berubah gimana lagi." sahut Satria dengan tertawa renyahnya.

Kami berempat pulang dengan diantar Bagas, karena hanya dia yang membawa mobil. Satu per satu dari kami turun, dan aku orang terakhir yang turun.

"Thanks ya Gas, ucapku sambil menutup pintu." Kali ini aku menutupnya dengan pelan.

"Han, kamu serius mau keluar kota?" tanya bagas sambil membuka setengah jendela kacanya.

Aku hanya menganguk dan menatap wajah Bagas, tidak lama Bagas ikutan manggut-manggut. Perlahan jendela kaca mobilnya tertutup, aku masih berdiri mematung sambil menyaksikan mobil Bagas hilang dari pandanganku.
Sampainya dirumah, aku bertingkah seperti pencuri. Mengendap-endap supaya tidak terdengar oleh kedua orangtuaku yang mungkin sudah tertidur.

Huufft!!
Aku menghela napas sambil mengusap jidatku, padahal gak berkeringat hanya gerakan reflek saja. Setelah mengganti baju tidur aku langsung merebahkan badanku, karena masih belun ngantuk aku mengambil handhpone yang ada di tas, berniat mau posting foto-foto di pernikahan Amel.

"Eh, apa ini?" tanyaku dalam hati sambil mengambil benda mungil dalam tas.
Beberapa bunga melati ada dalam tasku. Aku langsung berpikir keras tentang bunga tersebut, bahkan pikiran aneh mulai bermunculan di otakku.

Keesokan paginya aku menelepon Amel, untuk menanyakan bunga tersebut. Apakah salah satu dari ketiga orang yang aku curigai (satria, bagas dan fara sempat meminta bunga yang menjadi hiasannya.) Amel dengan yakin tidak satu dari yang aku curigai meminta bunga tersebut. Mendengar jawaban dari Amel pikiranku semakin tidak karuan, belum selesai masalah surat gelap itu, kini muncul bunga pengantin yang ada di dalam tas aku. aku mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Amel, dan jalan mondar-mandir dikamar sambil berpikir keras. Sayangnya aku tidak mendapatkan petunjuk apapun, jika sudah begini aku terpaksa menghubungi ketiga sahabatku itu.

Nanti malam ketemu di Sruput Cafe, penting! Gak pakai alasan!

Aku mengirimkan whatsapp di grup yang isinya cuma 4 biji manusia aneh, termasuk aku sendiri. Whatsapp tersebut langsung mendapatkan respon dari semuanya, tapi tidak satu pun yang aku balas. Aku ingin semuanya jelas pada saat bertemu nanti.

"Hanna! Bantu ayah sebentar." panggil Ayah dengan keras.

Tanpa menjawanya aku langsung keluar kamar dan mencari keberadaan ayahku.

"Ayah lagi ngapain? tanyaku sambil memperhatikan ayahku yang sedang ngusap-usap mobil."

"Lagi main catur, memangnya kamu gak lihat Ayah sedang ngapain." sahut Ayah sambil melempar kain kanebo kearahku.

"Iya-iya, tahu. Gitu aja ngambek."

"Lanjutin, Ayah mau siap-siap ganti baju." kata Ayah sambil berlalu dari hadapanku.

Dengan malas aku membersihkan sisa-sisa air yang masih menempel di mobil, sementara otakku terus memikirkan dua kejadian aneh yang baru saja aku alami. Tidak lama kemudian ayah keluar dengan pakaian rapi, sambil melihatku penuh curiga.

"Sudah beres Han? tanya Ayah."

"Sudah Yah, di cek aja kalau gak percaya." jawabku setengah bete.

Ayahku memperhatikan bodi mobil dengan cermat, sudah mirip guru yang mau kasih nilai hasil ujian.

"Ok, Sip. Ayah kerja dulu, ini buat kamu." ucap Ayah sambil menyodorkan lembaran merah kepadaku.

"Hah, ini buat aku Yah? tanyaku dengan mata berbinar-binar.

Ayahku hanya menjawab iya sambil masuk kedalam mobil, semenatara aku masih kegirangan menerimam upah yang jumlahnya cukup banyak. Aku masuk kedalam rumah sambil kipas-kipas uang, sudah kayak juragan cabe yang jualannya laris manis.

Jam 7 malam tepat di Sruput Cafe ketiga sahabatku sudah duduk dengan wajah tegang, aku sengaja datang terlambat karena tidak mau menunggu mereka yang suka telat. Ternyata diluar dugaan, kali ini mereka yang on-time.

"Cepat duduk Han, gak sabar. Ada apa sih!" ujar Fara penuh penasaran.

Aku duduk disebelah Fara sambil menarik napas panjang, mereka semakin serius melihat sikapku yang tidak seperti biasanya.

"Apa'an sih Han, buruan cerita!" pinta Bagas yang sama penasarannya dengan Fara.

Dengan penuh keraguan aku mengeluarkan bungan pengantin dari dalam tas, kemudian aku taruh di atas meja. Pandangan mereka langsung terpusat kepada bunga tersebut.

"Kalian tahu ini? tanyaku dengan memandang tajam wajah mereka."

"Tahulah, inikan bunga pengantin." jawab Bagas dan Fara secara bersamaan.

Dalam hati aku mencurigai Satria, karena sejak awal dia hanya diam. Bahkan ketika aku mengeluarkan bunga tersebut ekspresinya datar saja.

"Sat, kamu kan yang naruh bunga itu didalam tas aku."

"Hah! Kamu nuduh aku Han."

"Iyalah, kamu daritadi santai aja gak penasaran dan gak kaget." tegasku kepada Satria yang sok cool.

"Gak ada bukti Han, lagian ngapain aku ngelakuin itu. Kalau kamu minta dengan senang hati aku ambilin langsung dari Amel." ucap Satria gak kalah sewotnya.

"Sudah-sudah, lebih baik kita cari tahu bersama. Tahan emosi kalian berdua." Fara melerai pembicaraanku dengan Satria.

Malam itu kami habiskan untuk membahas bunga pengantin, bahkan Satria menyarankan untuk cek CCTV. Tapi aku menolaknya karena gak mau memperbesarkan masalah kecil, selain itu aku malu jika harus diketahui banyak orang. Biarkan itu menjadi misteri, entah apa artinya tentang bunga itu aku tidak peduli, karena aku tidak mau mempercayai mitos.

Mitos Jodoh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang