1. Kehilangan dan Pertemuan

34.6K 3.1K 34
                                    

Pertama-tama, terima kasih banyak. Aku kaget peminatnya sebanyak ini. Ini pertama kalinya aku menulis cerita kerajaan. Semoga suka, ya.

Mohon vote dan comment nya biar aku makin semangat dan up tiap hari. Hehe

===

"Ayah! Ibu!" Pekikan seorang gadis berusia delapan belas terdengar di pintu.

Gadis itu berjalan cepat turun ke tangga untuk menuju ke pekarangan rumahnya yang luas. Gaun warna kuning muda yang ia kenakan tampak melambai-lambai ke sana ke mari seiring kakinya berlarian.

Seorang pelayan tampak ketakutan. Ia bergetar karena takut dimarahi.

Sepasang suami istri berusia empat puluhan menengok. Mereka tersenyum menatap putri semata wayangnya yang berlari-larian.

"Sera, pelan-pelan," ucap si ayah dengan lembut.

Sera tersenyum kecil. Ia menatap ayah dan ibunya. "Aku tidak mungkin melewatkan kepergian Ayah dan Ibu. Untung aku belum terlambat!" Ia tersenyum dengan sumringah. "Aku akan merindukan Ayah dan Ibu. Sampai kapan Ayah dan Ibu pulang dari Edessa?"

Si ibu membelai lembut rambut Sera. "Minggu depan, Sera."

Sera mengangguk dengan senyum. Ayah dan ibunya--Robert dan Elvia Calwell--adalah pedagang kain yang cukup termahsyur di Methia. Sangking terkenalnya, mereka juga mensuplai kain hingga ke negara lain seperti Edessa.

Jarak Edessa dan Methia memang berdekatan. Juga dengan tempat tinggal mereka yang berada sedikit di dekat perbatasan, ekspansi bisnis tersebut jadi sangat memungkinkan.

Setiap bulan, pasangan Calwell itu akan pergi ke Edessa selama satu minggu. Sebenarnya, hal ini sudah diketahui Sera mengingat kegiatan ini dilakukan setiap bulan selama hampir seumur hidupnya. Hanya saja, Sera selalu menanyakan kapan orangtuanya pulang untuk memastikan.

"Sera mau titip apa, Nak?" tanya Robert pelan.

Sera memiringkan kepala. "Aku hanya ingin Ayah dan Ibu pulang dengan selamat, seperti biasanya." Ia berkata dengan senyum.

Elvia mengangguk dengan senyum terkulum. "Kami pasti akan kembali," jawabnya. "Sekarang, kamu kembali belajar dengan Nyonya Carter, oke?"

Sera memeluk ibunya pelan sebelum sang ibu naik ke kereta kuda bersama sang ayah. Tak lama, kereta kuda itu sudah pergi keluar rumah.

Di hari ketujuh, Sera sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Ia mengenakan gaun terbaiknya. Juga berias diri. Hari ini, ayah dan ibunya akan pulang. Dan, Sera ingin menyambut mereka dengan baik.

"Nyonya Winston, apakah hari ini Anda sudah memasakan masakan yang kuminta?" tanya Sera begitu ke dapur.

Claire Winston, kepala juru masak di rumah tersebut mengangguk. "Sudah, Nona. Saya sudah memasakan ayam bakar kesukaan Tuan dan Nyonya."

Sera tersenyum puas. Kegiatan ini memang selalu dilakukannya setiap bulan. Ia tak akan melewatkannya sedikit pun.

Hari mulai sore dan mentari mulai terbenam. Tetapi, anehnya, orangtuanya tak kunjung datang. Padahal seharusnya, mereka pulang di siang hari.

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Hari sudah gelap tetap ayah dan ibu mereka pun belum datang.

Sera menarik napas pelan. Ini sudah tengah malam dan kedua orangtuanya belum pulang. Rasa gemetar dan khawatir menjalar ke mana-mana.

"Nona Sera, Anda sudah harus tidur. Ini sudah tengah malam. Saya khawatir Anda sakit jika menunggu terus seperti ini." Seorang pelayan berkata pada Sera dengan lembut.

Sera menggeleng. "Saya masih harus menunggu mereka," jawabnya. Walaupun, pada akhirnya, gadis itu tertidur di atas sofa karena tak kuat menahan kantuk.

Gadis itu bangun di pagi hari ketika matahari merembes melalui kelopak matanya. Ia mendongak ketika mendengar suara pintu diketuk.

Sera melompat. Ia dengan senang membuka pintu. Berpikir bahwa ayah dan ibunya sudah pulang. Tetapi lagi-lagi, tidak ada tanda-tanda orangtuanya di depan rumah. Sebagai gantinya, seorang lelaki seumur ayahnya datang dengan topi di dada.

"Nona Sera Calwell, saya turut berduka cita."

Kalimat pertama itu menyambar Sera. Ia membelalak kaget. "A-apa maksudnya? Anda siapa?"

Lelaki itu mengulum bibir. "Saya, Frederick, salah satu petugas patroli di perbatasan. Kemarin, ada kecelakaan di tebing yang menjadi perbatasan antara Edessa dan Methia. Sebuah kereta kuda terjatuh ke sana."

Sera bergetar. A-apa?

"Kereta kuda itu adalah milik orangtua Anda, Nona."

Dada Sera kembang kempis. Ia menutup mulutnya. "La-lalu, bagaimana dengan orangtua saya?"

Lelaki itu menarik napas. "Kami belum menemukan jasad dari Tuan dan Nyonya Calwell. Tetapi, dengan kondisi terlempar dari tebing seperti itu, kami rasa, nyawa mereka tidak selamat, Nona."

Sera seperti disambar petir di siang bolong. Ia bergetar hebat. "Tidak mungkin!" Ia berteriak histeris.

Sera ambruk. Ia menangis tersedu-sedu. Sementara, tak ada yang bisa orang lain lakukan.

Pencarian terus dilakukan. Namun, selama satu bulan, tak ada hasil yang memuaskan. Tidak apapun yang ditemukan oleh tim pencarian hingga akhirnya, pencarian dihentikan. Tuan dan Nyonya Calwell dinyatakan meninggal dunia.

Belum selesai dengan berita yang memukul, Sera tiba-tiba mendapatkan kabar buruk lainnya. Bagaikan sudah terjatuh ditimpa tangga, Sera mengetahui bahwa orangtuanya memiliki hutang yang cukup besar untuk menunjang bisnis mereka.

Satu demi satu, Sera memberhentikan pelayannya. Satu demi satu aset keluarga mereka dijual. Termasuk rumah yang Sera tempati sejak kecil. Gadis itu harus pindah ke rumah mereka yang lebih kecil.

Rumah itu terletak sangat dekat dengan perbatasan. Dikelilingin kebun dan hutan, rumah yang lebih mirip pondok itu dulunya menjadi tempat liburan Sera dan keluarganya. Tetapi sekarang, Sera harus tinggal di sana. Jauh dari keramaian, jauh dari apapun.

Berbekal sisa uang yang masih tersisa, Sera bertahan hidup dengan pas-pasan. Gadis yang dulunya merupakan anak keluarga terpandang itu, bekerja sebagai buruh cuci di sebuah rumah besar di kota. Tak ada lagi yang memandangnya.

Sera tidak peduli. Sejujurnya, ia tidak terlalu peduli dengan perhatian orang-orang. Ada yang lebih penting dari semua itu: keberadaan orangtuanya.

Dengan kuda cokelat yang menjadi sisa satu-satunya yang ia bawa, gadis itu selalu menyusuri pinggir tebing dan lereng setiap hari. Satu demi satu, ia jelajahi. Berharap ia bertemu dengan orangtuanya. Atau setidaknya, jasad yang masih tersisa.

Satu bulan, dua bulan, setahun, dua tahun. Hingga, tiga tahun berlalu. Sayangnya, Sera sama sekali tak pernah menemukan jasad atau bekas kedua orangtuanya.

Hingga suatu sore, ketika ia menyusuri hutan di bawah tebing, matanya terpaku pada seorang laki-laki yang terkapar di atas dedaunan. Lelaki itu berambut pirang, matanya tertutup dan tubuhnya berlumur darah segar.

"Ya, Tuhan!" teriak Sera sambil berlari ke arah lelaki itu.

Tangannya bergetar hebat. Ia melirik ke atas tebing. Dengan luka seperti ini, sepertinya, laki-laki ini jatuh dari tebing, sama seperti orangtuanya.

Sera menahan napas. Ia mengguncang-guncangkan tubuh lelaki itu. "Halo, apa kamu masih hidup?"

Tak ada jawaban. Mata lelaki itu masih terpejam.

Sera memeriksa denyut nadi pria tersebut. Masih ada. Ia bernapas lega. Tetapi bagaimana cara membawa lelaki ini?

Sera melirik Vanda--kuda cokelat yang menemaninya selama ini. Ia menarik napas panjang. Sera mengambil tali lalu dengan kekuatan yang bisa ia kerahkan, Sera mengikat tangan lelaki itu dan lalu menyambungkannya dengan pelana kudanya.

"Aku harap kamu bertahan," ucap Sera pelan. Ia menunggangi kudanya lalu melirik lelaki terluka tersebut yang kini terikat dengan kudanya.

Sera menendang sisi perut kiri Vanda untuk mengisyaratkan kuda tersebut untuk berjalan pelan. Berjalan sambil menyeret lelaki yang tadi ia temui di hutan.

==Bersambung==

LUCIUSERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang