3. Temannya

22K 2.5K 34
                                    

selamat membaca. Mari vote dan comment yang banyak!

===

"Apa yang mau kamu lakukan setelah ini?"

Kalimat itu menjadi pertanyaan dari Lucius untuk Sera ketika gadis itu selesai menyuapinya. Percayalah, Lucius canggung setengah mati ketika gadis itu bahkan meniupi sup tersebut sebelum Lucius memakannya.

Seumur hidupnya, Lucius tak pernah dekat dengan perempuan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih berkuda, menggunakan pedang dan berburu. Kalaupun mengobrol dengan gadis-gadis, biasanya, ia akan pergi minum teh bersama. Duduk berhadapan dengan jarak satu meter lebih dengan camilan-camilan kecil sebaga penghias obrolan yang tak bermutu berada di antara mereka.

Tetapi kini, ia dan Sera berbeda. Gadis itu benar-benar dekat. Jarak mereka tak sampai setengah meter. Rasanya, jantung Lucius berdegup tak karuan.

"Mau apa?" tanya Sera retoris sambil merapikan mangkuk. "Aku berencana memeriksa perbanmu, lalu membalur obat di punggungmu. Kamu tahu, tiga hari ini, aku agak sulit mengganti perban itu karena kamu selalu terbaring."

Lucius menelan ludah. Rasa bersalah menjalar ke mana-mana. "Ma-maaf," ucapnya. "Maaf karena merepotkanmu."

Melihat pandangan Lucius yang merasa bersalah. Sera buru-buru menggeleng. "Ah, tidak! Jangan berpikiran seperti itu."

Gadis itu memukul bahu Lucius ringan. Niatnya sih, bercanda. Tapi sayang, ia memukul bahu yang salah. Alhasil, "Argh!" Lucius memekik dan meringis kesakitan.

Mata Sera membelalak. Ia terkaget dengan ketidak sengajaannya. Dengan panik, ia memegang bahu itu. "Ya, Tuhan! Maafkan aku!" ucapnya ketakutan. "Se-sebentar, biar kubuka perbannya."

Lucius mengulum bibir menahan sakit. Ia membiarkan Sera membuka perbannya.

Dari mata Sera, gadis itu dapat melihat luka lebam Lucius yang lebih baik daripada pertama kali ia ditemukan. Luka terbukanya juga sudah kering. Tinggal menunggu beberapa hari sampai luka itu benar-benar sembuh.

"Ah, sepertinya lukamu sudah jauh lebih baik. Apakah kamu sudah bisa menggerakan tanganmu?" tanya Sera pada Lucius.

Lelaki itu mencoba menggerakan lengannya. Masih sedikit sakit, namun ia mengangguk pelan.

"Kalau begitu, mandilah terlebih dahulu. Aku akan siapkan air hangatnya. Obat dari kota akan datang mungkin dalam tiga puluh menit lagi." Sera berkata cepat.

"Eh?" Lucius mengerjap tak percaya.

"Apa?" balas Sera tak mengerti. Gadis itu berjalan ke depan kamar dan tetap membiarkan pintu terbuka.

"Obat dari kota?" tanya Lucius masih bingung.

"Ya, di tempat terpencil seperti ini, tak ada tabib atau orang yang menjual obat. Jadi, kita harus ke kota untuk membeli obat tersebut."  Sera menjelaskan sambil mengipas-ngipas tungku yang di atasnya berisikan kendi air panas.

Lucius lagi-lagi menelisik ke sekeliling. Ia memandang kamar yang ia pakai dengan lebih jelas sekarang. Sepertinya, kalau dilihat baik-baik dari segi manapun, kamar ini adalah kamar perempuan. Apakah kamar ini adalah kamar Sera?

Lucius memiring-miringkan kepala. Tubuhnya bersandar di dipan yang sudah dialasi bantal.

Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?

Ketimbang ditanyakan pada Sera, kalimat itu ingin ia tanyakan pada dirinya sendiri. Lucius kini berada di Methia. Ia sudah keluar dari Edessa. Lalu selanjutnya apa? Melanjutkan hidup di Methia?

Tunggu!

Lucius tersadar akan sesuatu. Ia buru-buru menatap sekeliling. Jantungnya seperti turun ke perut. Ia merasa panik.

LUCIUSERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang