"Milikmu berwarna biru."
Suara bariton asing itu membuatku mematung.
Aku melupakan niatku untuk menemukan buku sejarah yang harus kutemukan sebelum bel pelajaran pertama pagi ini berbunyi.
Menurut pembelaanku, aku jelas-jelas tidak sedang membuka semua kancing blus yang kupinjam dari Joy lalu dengan bangga memamerkan pakaian dalamku pada orang yang kebetulan lewat di depanku sambil bilang : “Hei! Lihat, nih! Aku sedang memakai edisi terbatas Victoria secret. Warna biru membuatku terlihat mencolok, kan?”
Nggak begitu. Karena pertama. Aku nggak punya pakaian dalam yang harganya tak masuk akal. Kedua, nggak ada yang bisa dipamerkan dibaliknya.
Jadi apa yang membuat orang asing ini mengatakan hal tidak senonoh itu padaku? Seorang gadis terhormat yang sedang melakukan urusannya sendiri.
Apa mungkin pakaian yang kupinjam dari Joy ternyata berlubang? atau lebih buruk. Tembus pandang? Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah memeriksa pakaian ini sebelumnya. Dan itu baik-baik saja.
Tapi ini Joy! Aku bersumpah dia lebih licik dariparada penyihir mana pun yang aku ketahui.
Aku tahu cepat atau lambat dia akan balas dendam setelah apa yang aku lakukan terhadap rambutnya. Namun aku tidak menduga ia akan bergerak secepat ini. Maksudku apa saja selain pakaian tembus pandang di sekolah. Demi jubah kusut De Merey!
Aku dapat merasakan kalau wajahku memerah, dan mengapa aku harus begitu?! Aku mesti kelihatan tolol banget! Jadi sebelum aku kehilangan nyali—meskipun jelas aku sudah kehilangan muka—aku menutup pintu lokerku dan menoleh pada si tukang intip barusan.
"Terima kasih atas perhatian yang nggak diperlukan. Tolong urus urasanmu sendiri. Dan beri wanita beberapa rasa hormat, dasar brengsek!" kataku dalam satu tarikan nafas.
cowok jangkung berwajah familiar itu memberi tatapan bingung kepadaku. Jika aku menatap wajahnya beberapa detik lagi saja, mungkin saja aku ingat pernah melihatnya dimana.
Tidak masalah. Siapa pun dia tukang intip tetaplah tukang intip.
Cowok itu mengangkat satu alis hitamnya. Lalu memberikan tatapan tidak percaya seolah aku baru saja menumbuhkan mata ketiga.
"Maaf?" dia bertanya.
Oh.
Dia akan menjadi kematianku dengan pertanyaan polos itu.
"Begini, jika kamu benar-benar tidak tahu malu, aku akan mengatakannya dengan jelas. MENYINGKIR DARI HADAPANKU DAN SIMPAN PANDANGANMU UNTUK DIRIMU SENDIRI!" cecarku padanya. Tak lupa menekan setiap kata berharap dia paham dan segera menyingkir, karena aku sudah tidak tahan dengan semua penghinaan ini.
Kuberikan juga tatapan paling mengintimidasi yang aku punya pada cowok tak tahu malu ini.
Seolah neraka baru saja dibuka. Cowok terkutuk itu tersenyum miring. Kentara sekali terlihat geli. Jika aku tahu lebih baik, dia mungkin sedang menahan tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda Ward : Escape From Black Stone Castle
FantasíaApakah kau suka meledakkan benda-benda secara tidak sengaja dan senang membuat kekacauan kecil di sekelilingmu? Jangan kuatir, aku juga begitu kok, meskipun bukan hobiku. Namaku Amanda. Tepat pada hari ulang tahunku yang ke-enam belas, Ayahku yang t...