Aku tahu hari itu akan menjadi bencana ketika aku bangun kesiangan dan kaus kakiku basah karena aku lupa mengeringkannya.
Atau ketika kakiku tersangkut di kaki kursi Maria Vasquez yang lantas menyebabkan wajahku menghantam keras meja terkutuk itu sampai hidungku berdarah.
Pokoknya hari ini berjalan seakan aku sedang merangkak di gerbang neraka. Menunggu kesialan lainnya sebelum aku benar-benar tersungkur ke dalam neraka itu sendiri.
Wah! Pasti asyik banget!
Aku bukan orang yang menimbun keberuntungan seperti Hannah Coleridge, yang saking beruntungnya berhasil selamat dari ledakan nuklir saat liburan musim panasnya di Korea Utara. DUA KALI (Siapa sih, orang waras yang berlibur ke Korea Utara dua musim panas berturut-turut?).
Tapi, aku juga tak semalang Rufus Micah yang keberuntungannya nol besar seantreo Pinnella Pass.
Mari kita ambil positifnya saja. Hari ini aku memang sedang sial saja.
Sial kuadrat.
Aku akan mengabaikan rasa merinding di tulang punggungku. Atau semua inderaku yang tiba-tiba terasa terlalu sensitif.
Aku menganggukkan kepalaku yakin. Walaupun kepalaku sedang pening luar biasa akibat kecelakaan kecil tadi pagi.
aku membetulkan posisi dudukku pada kursi di kafetaria yang tidak terasa nyaman sambil menyendok semangkuk pasta dingin yang sudah basi dengan setengah hati.
Hei! Bukannya pasta basi adalah favoritku atau apa. Tapi nggak ada pilihan lagi. Dibandingkan dengan salad setengah busuk yang sejak awal aku abaikan, pasta basi kelihatannya nggak terlalu buruk.
Atau kupikir begitu kira-kira.
Yang pasti, pingsan karena kelaparan di kelas Bu Nana jelas tak termasuk daftar ayo-jangan-bertindak-memalukan-lagi-hari-ini.
“Mm.. kamu oke, Amanda? Hidungmu mulai terasa sakit lagi?” tanya Diana Kingsley.
Omong-omong tentang hidung, aku jadi ingat kalau aku punya hidung sampai-sampai secara spontan aku memegangnya.
“Aduh!” Aku berjengit.
Hidungku yang malang diperban secara paksa oleh perawat Maya yang sudah sangat sepuh. Beliau kaget saat melihatku datang sambi berdarah-darah. Lalu perawat berusia delapan puluh tujuh tahun itu dengan sigap (seringnya sih panik) membabat hidungku dengan delapan lapis perban yang sebenarnya sama sekali tak perlu.
Kalau kau lihat wajahku sekarang, aku yakin sekali kamu akan bilang aku cewek sinting yang tak ada kerjaan karena membawa sarang tawon di hidung.
“Masih sakit, ya? Perlu kuambilkan obat penghilang rasa sakit?” Bahkan Joy yang sebelumnya jarang sekali menganggap pederitaanku dengan serius berkali-kali menanyakan apa aku baik-baik saja dan apakah ada yang aku butuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda Ward : Escape From Black Stone Castle
FantasíaApakah kau suka meledakkan benda-benda secara tidak sengaja dan senang membuat kekacauan kecil di sekelilingmu? Jangan kuatir, aku juga begitu kok, meskipun bukan hobiku. Namaku Amanda. Tepat pada hari ulang tahunku yang ke-enam belas, Ayahku yang t...