15.

230 66 4
                                    

Hari ini tepat seminggu mama Desta di rumah sakit, dan sekarang dia sudah bisa dipulangkan ke rumah karena kondisinya yang sudah mulai membaik. Amara dan Dewi yang selalu merawatnya selama ini, dan juga Reska yang senantiasa setia menemani Amara menjaga mamanya.

Amara menatap mamanya yang sedang tersenyum menatap keluar jendela mobil, wanita paruh baya itu terlihat sangat senang karena kondisinya sudah mulai pulih kembali. Luka-lukanya sudah diobati dengan baik, dan biaya pengeluaran rumah sakit Arka yang menanganinya secara penuh sebagai bentuk tanggungjawabnya.

Dewi mengintip kedua ibu dan anak itu lewat spion dalam mobil, ia ikut tersenyum bahagia. Amara dan mama Desta berperan penting bagi hidup Dewi, gadis berperawakan tomboy itu hanyalah anak sebatang kara. Dan mama Desta-lah yang sudah menerima kehadiran Dewi di hidupnya dan kini menjadi pegawai terbaik di toko rotinya.

"Naomi seneng deh, Sekarang mama udah sembuh total dari cidera itu." Ucap Amara.

"Alhamdulilah, semuanya takdir tuhan nak. Dan berkat doa kalian, mama bisa melewati masa kritis." Balas mama Desta lembut.

Dewi tersenyum hangat. "Sekarang sampe rumah, ibu jangan langsung ke toko dulu. Ibu harus banyak istirahat, nanti urusan toko biar Dewi yang handle."

"Makasih, mba Dewi!" Seru Amara, ia bersyukur memiliki Dewi yang selalu membantu mamanya selama ini. Amara juga sudah menganggap Dewi sebagai kakaknya sendiri.

Dewi mengangkat jempolnya dan terkekeh kecil, matanya kembali fokus kearah jalanan dan menyetir dengan baik. Di kursi belakang sana, Amara tampak masih enggan melepaskan pelukannya dengan sang mama. Mama Desta juga dengan lembut membalas pelukan anak gadisnya.

.

.

Arka memutar pulpennya sambil melamun, raut wajahnya terkesan datar dan sulit ditebak isi pikirannya. Selama pelajaran berlangsung, Arka hanya diam menatap kearah jendela, tidak ada satupun materi yang masuk ke otaknya. Karena saat ini ia memikirkan kondisi tante Desta, mama Amara.

Kejadian sore itu sudah berlalu seminggu lepas, dan selama seminggu juga Arka tak pernah lagi bertemu dengan wanita paruh baya tersebut. Dan seminggu itu juga Arka tidak lagi bertemu dengan Amara, gadis yang kini berhasil masuk ke dalam pikirannya.

"Ar?" Bisik Sandi yang berada di kursi belakang Arka. "Diam bener, bang?"

"Woi?" Panggil Harsa pelan, ia berjaga-jaga menatap sang guru yang masih asyik menulis di papan tulis.

Chandra berdecak pelan, ia menoleh kesamping menatap datar kedua temannya yang mencoba mengganggu fokus Arka. "Jangan ganggu dia San, Har. Fokus sama pelajaran."

Reva menguap karena mengantuk berat, ia sudah tidak dapat menahan matanya untuk tidak terpejam. Tasnya di letak diatas meja untuk dijadikan bantal, kepalanya langsung diposisikan senyaman mungkin.

Sandi menunjuk Reva yang duduk di posisi belakang kursi Chandra. "Noh, tuan putri kita udah tidur."

Chandra menoleh ke belakang, ia menghela nafas pelan dan mengusap kepala Reva lembut. Setelah itu Chandra menggeserkan kursinya untuk menyembunyikan posisi Reva di belakang punggungnya agar guru tidak menotice kelakuan gadis itu.

Sandi membulatkan matanya, ia menggeleng lemah seolah tak terima. "Kalo kita ditegur, lah si Reva dibiarin sampe ketiduran. Gak adil lo, Chan!"

Chandra menatap Sandi datar, jari telunjuknya terangkat di depan bibirnya. "Shut!"

Harsa mengangkat bahunya acuh, ia menoleh menatap Reva disampingnya dan tersenyum hangat. Harsa meraih jaketnya di dalam laci mejanya dan dipakaikan di bahu Reva sebagai selimut agar gadis itu tidak kedinginan.

Sandi dibuat terkejut dengan perlakuan sweet Harsa, tak pernah ia melihat sisi lembut dari teman konyolnya itu. Biasanya Harsa dengan senang hati menjahili setiap ketenangan Reva. "Buset,"







DEAR, BABU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang