Rahasia

126 30 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Bukan bermaksud untuk menunda, hanya sedang mencari waktu yang tepat saja. Tidak tergesa-gesa, tidak pula terlalu lama."

°°°

Sebening syahadat, begitulah yang tertera jelas di sampul buku yang tengah dipegangnya. Novel terbitan tahun 2016 karya Diva Sinar Rembulan, berlabel best seller dan segera difilmkan. Berjumlah sekitar 400 halaman lebih, Melvana Media itulah nama penerbit yang menjadi tempat percetakannya.

Di belakangnya terdapat blurb yang menarik, apik, serta ciamik. Membuat siapa pun jatuh hati dan ingin membaca kisah di dalamnya. Begitupun dengan Haidar, hatinya tergerak untuk membaca karya fiksi yang kemarin didapatnya dari seseorang, siapa lagi jika bukan Anindira Maheswari.

Pada saat membuka halaman pertama, tertera judulnya dengan ukuran cukup besar, terdapat space kosong di bagian atas dan bawahnya. Tepat di bawah tanda tangan penulis, dia terpaku dan terpikat pada tulisan tangan yang begitu rapi dan indah.

Kota Tua, saya datang!

Menjelajah penjuru negeri merupakan mimpi yang saya idam-idamkan, dan Kota Tua menjadi salah satu tempat incaran. Jika Haba dan Sam disatukan karena perbedaan yang membentang, maka izinkan saya untuk dibersamakan dengan dia yang seiman. —Anindira Maheswari—

Baru di halaman pertama, dan belum sampai pada kisah para tokoh utama, tangan Haidar sudah bergetar dibuatnya. Gejolak dalam dada pun memberontak dengan begitu hebat, napas pria itu tercekat beberapa saat.

Perlahan tapi pasti tangannya bergerak untuk membuka lembar demi lembar halaman buku tersebut, dia benar-benar larut dalam bacaan bahkan tidak sadar sudah sekitar satu jam lebih bercengkrama dengan karya sastra tersebut.

Padahal dia bukanlah termasuk orang yang gemar membaca, apalagi novel yang merupakan fiksi dan karangan belaka. Dia lebih menyukai komik karena tidak membosankan dan terhibur karena gambar yang disuguhkan. Namun, sepertinya asumsi itu terpatahkan. Kini dia jatuh cinta dan benar-benar masuk ke dalam cerita.

Haidar berhenti di halaman 287, Perjalanan Hati begitulah judul yang tertera di sana. Refleks dia pun meraba kalung Rosario yang melingkar apik di lehernya. Dia merapatkan matanya cukup lama, bahkan tangan itu tak terlepas dari bandulnya.

Secara perlahan Haidar pun membuka kedua matanya, mendongak ke langit-langit lebih dulu, lantas kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Dada pria itu naik turun dengan napas memburu, terlebih saat membaca tepat di halaman 291 sampai 292, di sana menceritakan tentang wafatnya Nabi Muhammad.

Matanya seketika perih, cairan bening meluncur bebas begitu saja. Telinganya seperti ada yang membisikkan sesuatu, kalimat yang tadi dibacanya sangat amat terngiang-ngiang.

Ummatii, ummatii, ummatiii!

Begitu menyayat hati membaca kisah kematian manusia mulia seperti Nabi Muhammad saw. Ajal tengah datang dengan rasa sakit yang tak terbantahkan, tapi beliau masih memikirkan umatnya.

Masya Allah, bahkan beliau bersedia menanggung sakitnya dicabut nyawa agar umatnya tidak merasakan kesakitan tersebut. Begitu besar rasa cinta yang Nabi miliki untuk umatnya, tapi terkadang kita melupakannya. Hanya sekadar bershalawat saja bibir ini terkadang kelu, tidak mampu.

Allaahumma sholli 'alaa Muhammad wa'alaihi wasahbihi wasallim.

"Bang."

Haidar tersentak, dan dengan segera menghapus kasar air matanya. Memberi senyuman terbaik pada Arhan lantas berujar, "Iya, kenapa?"

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang