Arhan Vs Haidar

117 32 2
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Cinta memang tak kasatmata, tapi denyutannya terasa begitu nyata. Mampu Meluluhlantakan siapa saja yang terjangkit virusnya."

°°°

Anin yang tengah melipat mukena selepas melaksanakan salat duha tersentak kala mendengar suara seorang pria yang memanggil namanya. Suara itu berasal dari shaf depan, tapi Anin tak memiliki cukup keberanian untuk menyingkap kain penghalang.

"Anindira Maheswari."

"Ya."

"Saya Arhan, maaf sampai saat ini belum bisa menepati apa yang sudah saya katakan. Saya tak bermaksud untuk menggantung Anin dalam ketidakjelasan, bukan pula hanya sekadar memberi janji-janji manis. Hanya saja ada beberapa hal yang membuat niat baik saya itu tertunda," katanya di tengah keheningan mushola.

Keduanya berbincang dengan kain lebar sebagai penghalang. Mereka memang saling berhadapan, tapi tak ada satu pun yang berani menyingkap kain pembatas yang membentang.

"Jika boleh saya tahu, apa alasannya?" sahut Anin seraya menggigit kukunya gugup.

"Saudara seayah saya baru saja tertimpa musibah. Dua hari lalu ibu beliau meninggal dunia, saya tidak mungkin berbahagia di tengah kedukaan yang tengah beliau rasakan," jawab Arhan jujur apa adanya.

Selepas pemakaman, Haidar diboyong pulang ke rumahnya. Kondisi pria itu benar-benar kacau. Dia yang selalu ceria, gemar bercanda, dan tertawa, tapi kini menjelma sebagai sosok lain yang begitu pendiam dan sangat sulit untuk berkata.

Di tengah kedukaan yang mendera, Arhan tak mungkin merealisasikan niat baiknya. Dia masih memiliki simpati dan juga empati, tidak mungkin tega dan malah bersuka cita dia atas duka yang tengah menimpa sang saudara.

Anin cukup tercengang mendengar jawaban Arhan. Dia pun terdiam beberapa saat. Dia memang belum mengenal Arhan, bahkan latar belakang keluarganya saja tidak mengetahui. Mereka hanya sebatas tahu nama, sekadar cangkang luar pun sepertinya tidak sampai sana.

"Saya paham dan bisa mengerti, saya turut berduka cita atas musibah tersebut," tutur Anin setelah berhasil menguasai diri.

"Jika tangan saya tak kunjung mengetuk pintu rumah Anin, dan ada yang lebih dulu melakukan hal itu. Orang tua meridai dan sreg di hati, in syaa allah saya ikhlas," ucapnya dengan suara bergetar.

Anin berkawan geming, dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Saya tak ingin menghalangi langkah Anin, dan saya pun masih belum bisa memberi kepastian kapan saya akan datang untuk meminang. Menunggu bukanlah sesuatu yang mudah, dan saya juga tak ingin menjebak Anin dalam ketidakjelasan."

Arhan menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Rasa sesak sangat menyiksa, dadanya begitu sulit untuk bernapas. Pasokan udara seperti kian berkurang.

"Saya ada sesuatu untuk Anin, saya simpan di sini dan tolong buka di rumah. Saya pamit, assalamualaikum," tukasnya lalu berjalan menuju ke luar mushala.

Langkahnya terasa sangat berat, seperti ada yang memborgol kakinya agar tetap bertahan di sana. Dia menatap ke segala penjuru mushola, mungkin beberapa waktu ke depan dirinya takkan menumpang untuk salat duha lagi di tempat ini.

"Wa'alaikumusalam," jawabnya melirih.

Anin menyingkap kain pembatasnya beberapa saat setelah Arhan menghilang. Dia terpaku melihat bungkusan kotak berwarna cokelat, serupa dengan bingkisan yang dulu pernah Arhan berikan.

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang