Obrolan Sore Hari

112 33 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Melupakan memang bukan perkara gampang, tapi jika ada kemauan pasti akan dibukakan jalan."

°°°

"Kenapa Ayah gak ngasih tahu Anin kalau desainer interiornya itu putranya Om Anjar?" sembur Anin saat baru saja pulang dari kafe, dan mendapati sang ayah tengah duduk santai di teras rumah.

"Wa'alaikumusalam, Neng Geulis!" sindir Haruman sebab sang putri tak mengucapkan salam.

Anin menyalami punggung tangan sang ayah seraya mengucapkan salam dengan nada ketus. Tapi, hal itu justru disambut kekehan pelan Haruman.

"Emang kenapa kalau Arhan? Ada masalah?" tanya Haruman dengan santainya.

Anin seketika membisu, tubuhnya mendadak kaku. Pertanyaan sang ayah benar-benar membuat dirinya mati kutu.

"Kok malah diem? Kenapa?"

Anin gelagapan dan hal itu justru disambut senyum nakal sang ayah.

"Kamu suka sama Arhan."

Itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang jelas tak bisa Anin jawab secara gamblang.

"Biasanya kalau perempuan diem jawabannya iya," ungkap Haruman tepat sasaran.

"Kok Ayah sok tahu gitu sih!"

Haruman tertawa meremehkan. "Gak usah salting gitu. Kalau emang suka ya gak papa, normal namanya. Kalau kamu suka sama Sari, Ayah baru ngeri!"

"Tapi masalahnya gak sesederhana itu, Yah."

Anin dan Haruman melirik ke arah ambang pintu, di mana Arini tengah berdiri nyaman ikut larut dalam perbincangan.

Kening Haruman mengernyit. "Ayah ketinggalan informasi apa nih?"

Arini menjatuhkan tubuh di kursi yang tersedia, di samping sang putri lebih tepatnya. "Kisah cinta segitiga yang rumit. Kedua putra Kang Anjar menyukai putri kita, Anin mencintai salah satunya tapi yang dicintai malah memilih mundur karena tak ingin merusak tali persaudaraan, padahal dia juga mencintai Anin bahkan sudah berniat untuk melamar Anin secara resmi pada kita."

Anin hanya mampu menunduk dalam dan memilin ujung khimar untuk menyalurkan keresahan. Ibunya ini terlalu frontal jika berbicara, tidak bisa sedikit berbasa-basi atau menggunakan perumpamaan agar tidak terlalu to the point.

"Bukan masalahnya yang rumit, tapi pikiran mereka yang mempersulit. Kalau tahu saling mencintai kenapa harus mundur? Memangnya kalau dia mundur Anin akan legowo memilih saudaranya. Urusan hati itu gak bisa dipaksakan," tutur Haruman seraya geleng-geleng.

Anak muda zaman sekarang pola pikirnya terkadang tak masuk akal. Ada-ada saja. Dia sampai tak habis pikir.

"Puncak dari rasa cinta itu bukan mengikhlaskan, tapi memperjuangkan dia yang dicinta agar bisa duduk berdampingan di pelaminan. Ambil dia dengan penuh kesungguhan, atau relakan dia diambil orang," imbuh Haruman lantas dengan santainya menyeruput kopi hitam.

"Mau Ayah lamarkan Arhan untuk kamu, Nin?" tanya sang ayah dengan kerlingan mata jahil.

"Astagfirullahaladzim, Ayah kalau ngomong suka sembarangan. Gak mau lah!" sahut Anin justru dibalas gelak tawa oleh kedua orang tuanya.

"Gaya-gayaan nolak, padahal dalam hati mau. Diembat orang nyaho kamu!" oceh Arini.

"Mama sama Ayah sama aja!"

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang