9. In a Dream - Lena Park

351 71 23
                                    

"Every time I close my eyes. There's only you who I should hate"

[In a Dream - Lena Park]

.

Seorang gadis muda duduk di sebuah cafe, di penghujung musim gugur yang mulai terasa dingin, ia menunggu seseorang. Alasan yang membawanya datang ke negara ini, ia menunggunya untuk datang. Senja itu ia habiskan untuk menanti kedatangan sang wanita. Tak ada hal lain yang perlu dilakukannya karena wanita inilah tanggung jawabnya. Walaupun pekerjaan yang ia lakukan hanya sekedar memastikan, menurutnya ini cukup membosankan.

Musim dingin sebentar lagi datang, ia tak ingin lagi berlama - lama di negara ini. Ia ingin menyelesaikannya lalu pergi untuk hal yang lebih penting. Helaan napas berat terdengar lirih, jika menatap jingganya langit senja, entah mengapa hatinya ikut sendu. Ada perasaan rindu tak beralasan yang sebenarnya sengaja ia acuhkan. Ada kenangan yang kembali berputar bersama dengan pahitnya kopi yang tak lagi menyisakan manisnya. Hanya helaan napas berat yang menjadi aksi terakhir sebagai penutup senja di hari - hari yang ia lalui.

Atensinya mengarah pada sepasang kekasih yang bergandengan tangan sambil tertawa dan bercanda di balik kaca bening yang menghalanginya dari luar. Mendambakan hal seperti itu hanyalah sebuah fatamorgana yang selalu ia impikan, ada hal lain yang selalu membuatnya mundur selangkah. Sesuatu yang harus ia jaga dan pertahankan. Tak perlu mendamba hidup yang bahagia asalkan hal yang berharga baginya selalu bisa ia jaga selama yang ia bisa, ia akan bertahan.

Bel cafe itu berbunyi, netranya menangkap sosok yang telah ia tunggu sedari tadi. Wanita itu berjalan mendekatinya lalu duduk tepat di kursi yang berhadapan dengannya.

"Ternyata kau masih bisa melihat. Bahkan saat buta pun kau mengenaliku ya? Haha," ujarnya sambil diikuti kekehan kecil saat wanita yang ditunggunya itu sudah duduk dihadapannya.

"Aku ingatkan nona bahwa aku bukan buta total. Aku masih bisa menangkap objek dan arah datang cahaya, walaupun aku tak tahu seperti apa rupanya." Wanita itu menjawab santai, matanya mengarah tepat pada lawan bicaranya, seakan ia bukanlah orang buta seperti yang dikatakan gadis dihadapannya. Senyum teduhnya terasa begitu hangat dengan guratan wajah yang menghiasi wajah tuanya. 

"Aku tak mengenali semua orang, tapi mana mungkin aku tak mengenali orang yang ingin membunuhku. Ya kan, Shin Yuna," ujar wanita tua itu seakan - akan perkataannya hanyalah topik ringan semata. Senyuman tipis tersemat di bibirnya seiring ia menyadari apa yang membawanya kemari.

"Jangan sebut begitu, aku hanya mengawasi," balas Yuna memperhalus. Toh ia juga tak begitu suka menyebutnya sebuah aksi membunuh.

"Kau tak perlu mengotori tanganmu kali ini, karena sebentar lagi aku akan mati." Ada kekehan kecil di akhir kata yang wanita itu ucapkan.

"Aku mengerti, ada hal berharga yang harus kau lindungi. Bertemu denganmu terkadang membuatku sedih. Seperti membawa kembali memori - memori masa lalu." 

Yuna hanya tersenyum miris mendengar ucapan tersebut. Mata wanita itu tampak sendu. Entahlah, apakah senja itu juga menyentil hati kecilnya?

"Kenapa? Kau kasihan padaku?" Dengus Yuna kentara remeh. Ia tak begitu suka ada yang mengasihaninya.

"Tidak. Hanya saja aku seperti melihat diriku yang dulu. Bodoh, naif, dan tak punya tempat bergantung. Terkadang aku berpikir untuk berhenti, namun tak ada yang dapat kulakukan untuk hal yang harus aku lindungi. Aku jatuh terlalu dalam dan tetap sendiri hingga akhir. Aku sadar bahwa kesendirian adalah pilihan terbaik untuk melindungi segala hal," ujar wanita tua itu. Ya, senja itu juga membuat hati sang wanita sendu. Yuna hanya tersenyum kecut. Walau ia akui bahwa wanita itu satu - satunya orang yang selalu mengerti akan dirinya, terlepas dari hubungan mereka yang bukanlah teman atau sejenisnya.

AGAIN [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang