NAFISA sudah melupakan pria tersebut bahkan sebelum meninggalkan halaman rumahnya. Baginya, laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian rapi tadi tidak berbeda dengan tamu-tamu lain yang selama ini datang untuk menemui Ayah. Dan dia tidak pernah tertarik dengan urusan mereka.
Apalagi sekarang. Saat dia sedang diburu waktu. Nafisa mempercepat langkahnya menerobos lalu-lalang mahasiswa yang memenuhi koridor gedung FISIP. Masih pukul sembilan pagi, tetapi tampang-tampang bete mahasiswa menjelang ujian minggu depan sudah terlihat di mana-mana. Penyebabnya apa lagi kalau bukan urusan tugas yang harus tuntas dalam minggu ini.
Nafisa juga mengalami ke-bete-an yang sama karena rencananya untuk menghadap Pak Andra terancam batal. Dosen itu terkenal sebagai no karet-karet club. Terlambat lima menit saja dari waktu yang sudah dijadwalkan, jangan harap beliau mau meladeni. Apalagi telat sampai hampir setengah jam seperti kali ini.
Meskipun tahu kalau harapannya setipis pasmina yang sedang dipakainya, tidak membuat Nafisa menyerah. Gadis keras kepala itu tetap mencoba peruntungannya dengan melangkah mantap menuju ruangan dosen di lantai tiga. Dan berhadapan langsung dengan tampang masam sang dosen tampan yang sedang berdiri di depan pintu.
"Emang kamu tinggal di waktu Indonesia bagian mana?" tanya pria itu sengak.
Untung aku nggak pernah naksir kamu, Pak. Jadi nggak mempan dianyepin kayak gini, pikir Nafisa geli.
"Tahu nggak, tiga puluh menit waktu yang kamu sia-siakan secara nggak jelas itu berarti sangat banyak bagi orang lain. Mark Zuckerberg menghasilkan lebih dari 400 juta rupiah dalam setiap menit hidupnya. Jeff Bezos memiliki pendapatan 44 ribu dolar per 35 detiknya. Dan kamu?"
Nafisa mengangguk, sengaja berlagak bego. "Iya, Pak. Maaf. Kayaknya saya memang kurang motivasi diri jadi belum bisa sesukses mereka. Saya janji tidak akan mengulangi lagi keterlambatan nggak penting ini."
Nafisa menahan diri untuk tidak mengerang kesal. Yaelah, Pak Ganteng, ketinggian amat pake analoginya! Ini toh cuma urusan sama mahasiswi doang. Apa perlunya sampai sebut nama-nama orang terkaya di dunia itu. Nggak relate banget, tahu? Lagian bodo amat! Kelar urusan satu ini juga Nafisa nggak bakal kepikiran sama Zuckerberg dan Bezos.
"Ya udah, tunggu apa lagi? Masuk!"
Eh? Nafisa sampai tidak memercayai keberuntungannya. Padahal dia sudah siap mental andai diusir dengan bantingan pintu di depan hidungnya. Namun, alih-alih dosen muda bertampang rupawan itu memberi isyarat untuk mengikuti masuk ke bagian dalam kantornya. Jadi bodoh banget kalau dia tidak memanfaatkan kesempatan yang belum tentu terjadi lagi.
"Waktu saya nggak banyak. Habis ini ada kelas." Pak Andra melanjutkan gerutuannya sambil mengempaskan diri di kursi kebesarannya.
Lagi-lagi Nafisa mengangguk. "Siap, Pak," sahutnya sambil duduk di depan dosennya.
Bagi Nafisa, wajah cemberut yang ditunjukkan Pak Andra ini tidak ada apa-apanya dibanding dua pria di rumahnya. Karena ayahnya seratus kali lebih sangar dibanding sang dosen. Sedangkan kakeknya, jangan ditanya. Bisa seribu kali lebih menakutkan. Bila mereka berdua diibaratkan sebagai harimau dan singa, Pak Andra tidak lebih dari kucing persia imut yang lucu menggemaskan.
Tepat lima menit sebelum konsultasi selesai, terdengar suara ketukan di pintu. Dan Bu Medina sudah berdiri dengan ekspresi kesal di sana.
"Jadi dia yang bikin kamu nggak bisa bantuin aku tadi?" tanya Bu Medina sengit, sambil menunjuk pada Nafisa.
Melihat gelagat akan terjadi perang dunia di antara keduanya, cepat-cepat Nafisa membereskan kertas yang berhamburan di meja Pak Andra. Kertas yang beberapa menit sebelumnya menjadi korban keganasan tinta merah pulpen sang dosen yang terkenal tidak memiliki belas kasihan itu. Sudah menjadi rahasian umum kalau mereka adalah pasangan abadi sejak zaman mahasiswa yang sering ribut bagai kucing dengan anjing. Jadi bila hal itu benar terjadi sebentar lagi, Nafisa tidak mau menjadi volunteer bego dengan berada di tengah medan pertempuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Three to Marry
RomanceSometime, love isn't found. It's Built. Menikah itu nggak pernah ada dalam rencana Nafisa. Rencana jangka pendek terutama. Dia cuma pengen cepet lulus kuliah, jadi sarjana, melamar kerja di tempat yang jauh sekalian. Jakarta kalau bisa. Surabaya bol...