NAFISA memasuki rumah ketika mendengar percakapan beberapa perempuan dari arah teras belakang. Ini sudah pukul sembilan malam. Siapa lagi yang masih ngobrol sampai larut begini kalau bukan trio kwek-kwek kebanggaan keluarga Jauhari.
Salam Nafisa dijawab kompak oleh mereka. Sambil tersenyum lebar gadis itu menuju beranda belakang untuk menemui orang-orang yang sedang asyik mengobrol. .
Setelah mencium tangan ibu dan neneknya, serta menjitak kepala Syifa, Nafisa menghampiri tempat minum.. Dengan lincah dia meraih gelas, mengisinya dengan air mineral, dan meminumnya dalam tegukan-tegukan besar.
"Nafisa, minum pakai tangan kanan, dan harus sambil duduk!" tegur ibunya.
"Pakai tangan kanan kok, Bu!" Nafisa mengacungkan gelas kosong di tangannya. "Mau duduk nggak ada kursi. Jadi aku nekuk kaki sambil nyender ke meja. Itu bisa dianggap sama dengan duduk, kan?" lanjutnya sambil nyengir usil ke arah ibunya.
"Kamu itu ya, sekali-sekali nggak membantah kenapa sih?" komentar Nenek.
"Nafisa nggak membantah kok, Nek. Hanya membela diri dari tuduhan yang nggak benar," sahutnya santai sambil mengembalikan gelas dan kembali menghampiri ibunya.
"Tuduhan apaan sih, Kak?" tanya Syifa heran.
"Katanya aku minum sambil berdiri. Itu tuduhan nggak benar namanya," balas Nafisa sambil menatap ibunya dengan sayang.
Ketika wanita itu ngomel, dia hanya tertawa, mencium pipi ibunya, lalu melenggang pergi meninggalkan keluarganya yang menatap punggungnya dengan gemas.
"Nafisa sudah dewasa, harusnya kamu lebih tegas—"
Sayup-sayup Nafisa mendengar suara Nenek menegur ibunya. Hal ini selalu membuatnya kesal karena tidak terima setiap kali ibunya menjadi sasaran omelan Nenek. Tetapi juga membuat frustrasi karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Nafisa tumbuh dewasa dengan kesadaran kalau si rumah ini Ibu adalah pihak yang paling tidak enak posisinya. Karena selain memiliki suami otoriter seperti Ayah, Ibu juga harus rela tinggal bersama mertua yang sama-sama otoriter serta dominan seperti kakek dan neneknya. Nggak nyaman banget!
Nafisa baru saja menutup pintu kamarnya ketika mendengar teriakan Syifa. "Kak, tadi dicari Ayah."
Nafisa membuka pintu untuk melongokkan kepala. "Ada apa emang?"
"Nggak tahu. Cuma bilang mau ngomongin sesuatu katanya," jawab Syifa.
"Ya udah, besok aja kalau gitu. Udah malam," sahut Nafisa sambil menutup pintunya lagi.
Semoga nggak ada hubungannya dengan Haikal dari keluarga Bahtiar Affandi yang dia temui beberapa hari lalu. Pikirnya waswas.
Sejak obrolannya tentang jodoh bersama Rosi dan Mimi, tingkat kekhawatiran Nafisa meningkat berkali lipat. Ketakutan akan dijodohkan dengan pria pilihan orangtua yang tak dikenalnya diam-diam menggerogoti perasaannya. Sungguh dia berharap jangan sampai apa yang diprediksi teman-temannya itu terjadi. Ya Allah, aku masih ingin merasakan kebebasan di tengah keluarga absurd ini.
Sebagai putri sulung, Nafisa tahu kalau banyak harapan dibebankan di pundaknya. Apalagi posisi ayahnya yang menjadi tumpuan keluarga besar karena beliau satu-satunya pria di antara lima bersaudara. Membuat beban sosial Nafisa juga cukup berat karena menjadi sorotan keluarga. Tak peduli meskipun dia seorang perempuan.
Sebenarnya Nafisa tahu kalau kakek dan neneknya sangat berharap ayahnya memiliki seorang putrasebagai penerus darah keluarga. Sayangnya setelah melahirkan dirinya dan Syifa, kandungan Ibu harus diangkat karena endometriosis.
Kalau dirunut dari tradisi mereka secara turun-temurun, benar-benar sebuah keajaiban karena Ayah bisa bertahan untuk tidak menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki. Karena hal itu bukan sesuatu yang tabu di keluarga Jauhari. Buktinya, Kakek adalah putra yang dilahirkan oleh istri kedua, karena istri pertama dianggap gagal memberi keturunan yang bisa meneruskan nama keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Three to Marry
RomanceSometime, love isn't found. It's Built. Menikah itu nggak pernah ada dalam rencana Nafisa. Rencana jangka pendek terutama. Dia cuma pengen cepet lulus kuliah, jadi sarjana, melamar kerja di tempat yang jauh sekalian. Jakarta kalau bisa. Surabaya bol...