SUATU senja, Nafisa pulang dari kampus dengan mengendarai motor kesayangannya, ketika melihat Range Rover warna gelap terparkir di depan rumahnya.
Kayak pernah kenal.
Tanpa curiga gadis itu ngeloyor santai melewati gerbang menuju ke depan garasi. Turun dari motor, dia terkejut melihat seorang pria sedang duduk sendiri di teras rumahnya. Dahinya berkerut. Ha? Itu kan, om-om yang dulu itu? Haikal? Nafisa mengawasi sekeliling rumah untuk memastikan kalau sang tamu benar-benar telantar sendirian, sebelum berjalan mendekat.
"Assalamualaikum, Om," sapa Nafisa sopan. Karena tak mungkin dia pura-pura tidak tahu pada orang asing di depan rumahnya.
"Waalaikum salam," jawab Haikal sambil memandangi Nafisa dengan saksama. "Oh, kamu lagi."
Kamu lagi? Pertanyaan apa itu, woy? Dia yang tamu, dia yang arogan. Luar biasa.
Nafisa menatap sengit pada sosok pria yang memiliki anatomi tubuh serba panjang ini. Ya kakinya, juga badannya. Bahkan hidungnya pun bukan hanya sekadar mancung, tapi beneran panjang dan terpasang di wajahnya yang juga panjang.
Pria itu membalas tatapan Nafisa dengan cara yang membuat gadis itu merasa dihakimi. Persis cara Nenek memandangnya tadi pagi, sebelum mengatakan kalau penampilannya hari ini terlalu seksi.
Memang dia nekat memakai celana jeans ketat yang mengekspose bentuk kakinya. Tapi dia terpaksa karena hanya ini satu-satunya celana yang match dengan atasannya, sweter rajut yang warnanya kontras manis dengan kerudung voal motif abstrak yang tertata cantik menutupi kepalanya.
"Lagi nunggu Ayah, Om?" tanya Nafisa berbasa-basi, mengabaikan kecanggungan yang ada.
Haikal menggeleng. "Nggak juga."
Dih! Nih orang beneran nggak jelas deh. Kalau dia duduk di rumah tetangga sih Nafisa bodo amat. Ini jelas-jelas duduk di teras rumahnya. Nggak mungkin kan dia cuek aja?
"Oh, ya udah kalau gitu," kata Nafisa kesal sambil berjalan memasuki rumah. Merasa nggak guna dia berbasa-basi pada tamu tak tahu diri ini.
"Nafisa, itu ada anaknya Pak Bahtiar, kok dibiarin aja?" tegur ibunya yang muncul tiba-tiba saat Nafisa masuk dari pintu samping.
"Lah, tamu nggak jelas gitu. Ngapain?"
"Tapi dia tamu. Lebih baik kamu suguhi minuman dulu sambil—"
"Emang Mbak Mia ke mana, Bu? Kalau beneran tamu, kan udah dibikinin minum dari tadi," bantah Nafisa.
Dia memang paling malas kalau harus menyuguhkan minuman kepada tamu ayah atau kakeknya. Bukannya apa, para tamu itu berdatangan seolah tak ada habisnya.
"Mbak Mia sibuk di belakang. Ayo, sana cepat. Bikinin minuman! Teh hangat pasti cocok buat sore-sore begini."
Begitu ibunya menghilang ke dalam rumah, Nafisa segera menuju ke lemari pendingin besar yang ada di ruang tengah. Tanpa mau repot-repot, gadis itu meraih sebotol teh kemasan yang dingin berembun. Teh hangat sore-sore gini? Emangnya ini restoran atau kafe? Hih!
Laki-laki itu masih menunduk menatap layar ponselnya. Tetap bergeming meskipun Nafisa sudah berada di dekatnya. Jadi Nafisa mengentakkan kaki sedikit lebih keras untuk memberitakan kedatangannya.
"Silakan diminum, Om," katanya sesopan yang dia bisa.
Barulah Haikal mengangkat kepala dan mengangguk singkat. "Soft drink?" tanyanya dengan dahi berkerut. Mengomentari minuman yang tersaji di atas meja.
"Bukan. Ini cuma teh kemasan, bukan soda."
"Teh kemasan hm ...."
Nafisa mengangguk. "Iya, seger Om. Baru dari kulkas."
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Three to Marry
RomantizmSometime, love isn't found. It's Built. Menikah itu nggak pernah ada dalam rencana Nafisa. Rencana jangka pendek terutama. Dia cuma pengen cepet lulus kuliah, jadi sarjana, melamar kerja di tempat yang jauh sekalian. Jakarta kalau bisa. Surabaya bol...