SULIT dipungkiri kalau kalimat terakhir Pak Andra telah berhasil membuat Nafisa bungkam. Pak Andra telah semakin terang-terangan menyatakan maksudnya. Membuat perasaan gadis itu semakin tak keruan.
Chill out, Nafisa! Jangan gegabah! Pak Andra baru putus dengan pacarnya setelah hubungan belasan tahun. Move on tidak semudah itu. Apalagi kalian berada di lingkungan yang sama, dan antara kamu dan Bu Medina punya persamaan, yaitu sama-sama orang dekat Pak Andra! Tidak terlalu sulit untuk menebak pola ini. Nafisa seperti mendengar suara Rosi yang sedang memberinya peringatan.
"Ehm ... Pak, saya –"
"Tenang, Nafisa," pria itu memotong ucapan Nafisa. "Alasan kedua saya itu bisa kamu abaikan, kok. Kamu hanya butuh mempertimbangkan alasan pertama yang utama. Karena menurut saya, dengan kualitas akademikmu, kamu berhak untuk mencoba."
Syukurlah, tanpa sadar Nafisa mengembuskan napas lega.
Dan Pak Andra lagi-lagi tertawa. "Oke, kalau kamu setuju, temui saya di kampus hari Kamis minggu depan, jam sebelas siang."
Obrolan itu semakin membuat kepala Nafisa terasa penuh. Sampai akhirnya dia mulai merunut pelan-pelan dan memilahnya satu per satu. Karena, Ya Allah! Peluang pekerjaan macam ini namanya rezeki, kan? Dia akan merasa sangat berdosa kalau tidak bersyukur dengan menyia-nyiakan kesempatan tersebut sebelum mencobanya.
Tiba-tiba Nafisa melihat masa depannya dalam perspektif yang berbeda. Bila sebelumnya semangat untuk mengejar karier ke luar kota begitu menggebu-gebu, sekarang Nafisa berpikir dua kali untuk mempertimbangkannya kembali. Mungkin dia tidak perlu karier tinggi di agensi iklan atau perusahaan media di kota besar. Mungkin dia malah lebih cocok untuk menjadi dosen. Jujur saja, tanda-tanda ke arah ini bahkan sudah terlihat sejak semester empat, saat dirinya menjadi asdos untuk beberapa mata kuliah.
Nafisa pun berandai-andai tentang kehidupannya sebagai dosen. Dan harapannya melambung tinggi membayangkan dirinya melanjutkan kuliah di luar kota, bahkan bisa jadi ke luar negeri. S2, lalu S3, melakukan riset dan penelitian, membuat jurnal dan ... siapa tahu dia bisa jadi profesor kan?
Kebahagiaan gadis itu begitu meluap-luap saat mengirim pesan kepada Pak Andra yang menyatakan kesanggupannya menerima tawaran dari pria itu. Keputusan yang dia ambil tanpa melibatkan diskusi dengan orangtua. Karena Nafisa merasa hal itu nggak perlu. Bukankah menurut istilah, don't trouble trouble till trouble troubles you? Yang artinya, jangan memicu sesuatu yang akan memancing reaksi orang-orang dewasa yang memosisikan diri sebagai penentu nasibnya di rumah.
Percayalah, dia sudah sangat mengenal ketidakjelasan aturan main di rumah ini. Bukan tanpa sebab kalau Nafisa menyimpan banyak hal untuk diri sendiri. Karena yakin kalau tindakan serta keputusannya akan dinilai tidak benar oleh orangtuanya. Padahal mereka tidak paham dunianya. Tetapi menganggap semua yang dia lakukan butuh dikoreksi. Sebaliknya dengan tidak mengatakan apa-apa, justru lebih aman karena mereka tidak tahu.
Nafisa penasaran apa persepsi orangtuanya pada dia. Dan kenapa dia merasa tidak punya arti apa-apa? Semua perintah dan larangan diputuskan tanpa pernah mempertimbangkan pendapatnya. Seilah keberadaan Nafisa tidak berarti selain sebagai objek yang harus diatur dan dikendalikan.
Nafisa ada atau tidak ada, mungkin tidak akan ada pengaruhnya di keluarga.
Dulu, ketika memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, tidak ada tanggapan serius baik dari ayah maupun ibunya. Seolah apa pun pilihannya tak penting. Bahkan keputusannya untuk kuliah pun diresponsseperti ketika dia berpamitan untuk pergi sebentar ke toko depan komplek. Dan satu-satunya pertanyaan yang dilontarkan sang ayah hanyalah menanyakan berapa biaya masuknya dan kapan pembayaran terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Three to Marry
RomanceSometime, love isn't found. It's Built. Menikah itu nggak pernah ada dalam rencana Nafisa. Rencana jangka pendek terutama. Dia cuma pengen cepet lulus kuliah, jadi sarjana, melamar kerja di tempat yang jauh sekalian. Jakarta kalau bisa. Surabaya bol...