ADA yang berubah di rumah ini. Yaitu Ibu yang menjadi pendiam dan muram. Namun jangan tanya tentang Ayah dan Kakek. Mereka bersikap seperti biasa. Menjaga jarak dan hanya berbicara "tentang urusan laki-laki" serta menganggap para wanita adalah kasta kedua yang tidak berhak tahu urusan mereka.
Bila Syifa mengatasi perubahan ini dengan bersikap lebih manis kepada Nenek dan Ibu, sebaliknyaNafisa memilih menghindar serta lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Baginya, mengikuti drama pasangan Pak Andra dan Bu Medina jauh lebih seru daripada menghadapi para orangtua yang susah dia pahami apa maunya.
Untuk gadis seusianya, apa salahnya berencana menunda pernikahan sampai lima tahun ke depan? Cara Ibu menganalogikan jodoh seperti ajal sangatlah mengerikan dan belum masuk dalam pemahamannya. Memang sih, kalau ajal menjemput, manusia mana yang sanggup melawan? Tapi kalau jodoh, apa benar harus begitu? Ajal kan hubungannya manusia dengan Allah, melalui perantara malaikat. Kalau jodoh, kan melibatkan dua orang. Kalau salah satu enggak mau, apa benar tetap menjadi kewajiban?
"Kayaknya dulu Ibu diatur dengan cara begitu," kata Nafisa saat berada di kantin bersama Rosi dan Mimi. "Jadi beliau mendoktrin kami dengan pemahaman yang sama. Jadi kalau udah ada yang ngelamar, wajib diterima karena itu adalah jodoh. Kalau nolak, selain dosa, juga durhaka ke orangtua. Horor kan?"
"Kalau menurut aku, malah sebenernya jodohmu udah ada, Sa," kata Rosi sambil cekikikan. "Udah disiapin maksudnya."
"Iya, bener juga sih," Mimi mendukung Rosi. "Ortu kamu kan, antik."
"Idih!" seru Nafisa tak terima. "Kalian ini, ya, bikin aku parno aja."
"Emang nggak ada sinyal atau apa gitu, Sa? Atau penampakan cowok yang tiba-tiba seliweran di rumahmu? Atau—"
"Ada tuh, Kak Haikal-nya Syifa." Nafisa tiba-tiba teringat Om – ralat: Kak – Haikal.
"Ha? Gimana, gimana? Kok bisa kamu nggak cerita soal ini?" tuntut Rosi tak terima.
"Hayo, bilang!" seru Mimi tiba-tiba penuh semangat.
"Halah! Nggak ada yang istimewa, kok. Dia anaknya teman ayahku. Nggak ada omongan apa pun. Kalaupun ada agenda macem-macem, Syifa tuh yang punya jatah!"
"Gimana ceritanya kalian kakak adik bagi jatah?"
"Syifa yang suka sama orangnya. Syifa yang ngebet pengin dijodohin. Kalau aku, kan, kalian tahu sendiri mauku gimana?"
"Emang cowoknya gimana? Cakep, enggak?"
"Tinggi. Jangkung banget sampai sundul pintu depan rumahku. Menurut pendapat Syifa, gantengnyakayak aktor Korea."
"Yaelah, Syifa jadi kambing hitam," cibir Mimi. "Menurutmu?"
"Ya emang ganteng. Tapi aku nggak bisa mengasosiasikannya sama siapa pun. Kan, kalian tahu aku bukan tipe yang suka halu sama aktor atau apa gitu. Dan apa pernah kualitas fisik bikin aku tertarik?"
"Lebih tepatnya, Nafisa nggak pernah halu sama laki-laki," kata Rosi sambil tertawa. "Makanya bikin penasaran, kan, gimana dia ntar kalau falling hard for someone!"
Rosi dan Mimi tergelak-gelak.
"Pesona Pak Andra aja nggak nyampe ke dia," kata Mimi.
"Hei, kalian! Nggak sopan, tahu? Pak Andra udah taken. Dan jangan sekali-sekali ngomongin bullshitmacam 'sebelum janur kuning melengkung bla-bla-bla-bla' itu di depanku. Aku nih yang hampir tiap hari jadi saksi betapa kerasnya beliau dan Bu Medina berusaha mempertahankan hubungan, meskipun jelas-jelas keduanya nggak bisa akur satu sama lain!"
Sebenarnya Pak Andra dosen yang oke, dan bekerja membantu project beliau sangat menyenangkan. Tetapi ada hal lain yang membuat Nafisa kurang nyaman berada di dekat pria itu. Yaitu terlibat secara tak langsung dalam drama romansa dengan Bu Medina.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Three to Marry
RomanceSometime, love isn't found. It's Built. Menikah itu nggak pernah ada dalam rencana Nafisa. Rencana jangka pendek terutama. Dia cuma pengen cepet lulus kuliah, jadi sarjana, melamar kerja di tempat yang jauh sekalian. Jakarta kalau bisa. Surabaya bol...