Bab 5

1.1K 280 32
                                    

"KAMU kok nggak cerita sih, Sa, kalau Pak Andra putus sama Bu Medina?" tanya Mimi dengan nada menuduh, ketika mereka bertemu di kampus beberapa hari kemudian.

"Oh, jadi udah tersebar ya, beritanya?" Nafisa balas bertanya dengan cuek. "Syukurlah."

"Berarti kamu tahu udah lama?" Rosi membelalakkan mata.

Nafisa menggeleng. "Beberapa hari lebih awal aja dari kalian. Kebetulan ketemu Pak Andra waktu beliau baru pulang dari Malaysia—"

"Dan Pak Andra sendiri yang bilang sama kamu?" tanya Mimi penasaran.

"Iyalah. Beliau sendiri yang ngomong. Nggak mungkin aku yang nanya duluan, kan?" sahut Nafisa gusar. "Lagian ini bukan hal yang aneh. Tanda-tanda putus udah kelihatan banget sejak lama. Kalian udah sering denger ceritanya dari aku. Jadi pasti paham dong kalau hubungan kayak gitu tinggal nunggu waktu aja buat bubar dan—"

"Sa, jangan bilang kalau kamu adalah orang ketiga di antara mereka," tuduh Rosi.

"Gila, ya! Nggak lah! Siapa—"

"Pak Andra emang nggak ada tanda-tanda kodein kamu?"

"Woy! Hubungan antara aku sama beliau murni profesional!" sanggahnya.

"Seprofesional apa?" kejar Mimi.

"Antara dosen dan mahasiswa, dan asisten. Tanya deh sama yang pada jadi asdosnya Pak Andra. Nggak ada yang istimewa, kok. Kalian juga berkali-kali jadi saksi gimana kalau aku lagi ngobrolin materi kuliah atau riset sama beliau."

Tentu saja Nafisa tidak akan menceritakan kalau dia sampai malu karena kege-eran gara-gara makan malam waktu itu. Juga tentang desiran aneh yang dia rasakan saat berboncengan dengan Pak Andra di atas Scoopy-nya yang terlalu kecil bagi Pak Andra.

Halah! Paling itu terjadi karena kebetulan di malam hari, suhunya lebih dingin!

"Sekarang gini deh, Sa, karena kamu segini keras kepala sehingga susah menangkap segala kode dari cowok yang mungkin punya rasa spesial sama kamu, aku jadi pengin nanya," Rosi pantang menyerah menghadapi Nafisa. "Misalkan Pak Andra nembak kamu, gimana?"

"Ya, silakan aja. Selama beliau statusnya bebas, suka-suka beliau lah."

"Terus, kamu terima nggak?"

"Ya enggak lah!" jawab Nafisa mantap.

"Kok?" Mimi dan Rosi terbelalak berbarengan.

"Kan, aturan masih berlaku bahwa aku nggak boleh pacaran kalau masih mau lanjut kuliah?"

Rosi dan Mimi menepuk jidat dengan kesal. Dan Nafisa tertawa puas karena membuat kedua temannya tidak bisa mengetahui isi hatinya yang terdalam. Oh, teman! Tak akan kubagi informasi yang belum pasti ini, batinnya. Apa pun yang terjadi antara dirinya dan Pak Andra, biarlah dipikirkan nanti saja. Karena ada skripsi yang butuh segera diselesaikan.

Setelah hampir delapan semester berlalu dengan cukup mulus, pasti Nafisa nggak mau dong kalau harus gagal di akhir. Prinsipnya tetap sama. Yang penting lulus dulu. Masalah lain akan dipikir belakangan! Jadi dia perlu membentengi diri dari jebakan perasaan yang berpotensi membuat ambyar semuanya.

Langkah paling mudah tentu saja dengan sengaja menjaga jarak dengan Pak Andra. Alih-alih menghabiskan waktu di ruangan jurusan yang ada di depan kantor dosen itu, Nafisa lebih memilih menyembunyikan diri di perpustakaan. Atau kantin. Atau di mana saja asal tidak bertemu pria itu. Setiap acara kumpul-kumpul sesama asdos, dia datang paling akhir dan pergi paling cepat. Jadi nggak ada lagi acara ngobrol-ngobrol gemes sambil curhat heboh seperti tempo hari.

Kalau Nafisa mengira Pak Andra tidak merasa, dia salah besar. Pria itu tahu. Dan dengan terus terang menahannya suatu siang setelah mereka selesai briefing singkat bersama asdos lain di Kafe Melankoli.

It Takes Three to MarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang