SAMMY POV
Balik lagi masuk sekolah kayak biasanya dan harus balik ketemu sama cewek yang gak tau asal usulnya langsung musuhin aku sejak pertama kali masuk sekolah. Kan aneh ya? Aku gak kenal dia, masa dia tiba-tiba musuhin aku. Akhir-akhir ini, tepatnya sebelum kemaren ke Amerika. Aku tau kalo Ariana itu anak dari Karin. Karin itu siapa, aku sendiri gak tau. Yang jelas sih dia anak ibu yang namanya Karin.
So, hari ini aku mau cari tau siapa itu cewek sebenernya.
"Permisi!" salamku ketika memasuki ruang tata usaha.
"Sammy?" Sahabatku Vicky memandangku heran. "Ngapain di sini?"
"Lha, kamu sendiri ngapain di sini?" tanyaku, menyilangkan tangan.
"Aku?" Vicky menunjuk dirinya sendiri.
Aku mengangguk.
Vicky nyengir. "Nanyain beasiswa."
Aku baru inget, pertama masuk SMP ketemu Vicky di sini juga. Sahabatku dari kecil. Entah dia itu sepinter apa, yang jelas dia tidak lebih pinter dari aku. Hehe, narsis dikit boleh dong?
"Ngapain senyam-senyum?" Vicky menyipitkan matanya curiga.
"Gak kenapa-napa yeee..." Aku mengibaskan tangan cepat.
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
"Pertanyaan yang mana?" Aku celingak-celinguk cari petugas yang bisa diajak kompromi.
Vicky ngikutin aku. "Nah, ya. Mau cari informasi tentang orang ya?" tebaknya.
Aku berdecak sebal, segera menarik Vicky menjauh dari ruang tata usaha.
"Toa banget sih ngomongnya!" protesku, melotot.
"Sorry," Vicky balik nyengir lagi, kali ini plus ngacungin jari telujuk dan jari tengahnya.
"Aku mau cari info soal Ariana."
"Mau minta maaf ke rumahnya? Orangnya ada kok tadi."
"Dih, ngapain?!"
"Terus ngapain nanyain soal dia?"
"Mo tauuuu ajaa," jawabku, berbalik pergi.
"Heh! Jawab dulu pertanyaan aku!" Vicky mengikutiku di belakang.
"Ogah!"
"Sam!"
"Bawel deh ah!" Aku berjalan cepat kembali ke kelas.
Vicky masih aja ngikutin aku sampe ke kelas dan diliatin anak-anak.
Tapi emang udah biasa juga sih adegan kayak gini. Kita berdua udah sahabatan lama. Dari SD malahan. Jadi anak-anak juga udah pada tau dan gak heran - apalagi nyangkain kita punya suatu hubungan - kita sedeket ini.
Hei, umur aku masih dua belas tahun dan aku belum cukup dewasa untuk punya hubungan sama seorang cowok kan?
Lho lho lho? Kok aku jadi ngomongin itu ya? Ck.
Okay, balik lagi masa kini. Eh, waktu sekarang maksudnya.
Vicky malah mainin rambutku yang dikucir, sambil terus nanyain kenapa aku mau tau soal Ariana.
"Bawel banget sih, Vick! Ntar aku kasih tau kenapa," jelasku, menyuruhnya pergi. "Udah sana balik ke kelas kamu sendiri!" usirku.
Vicky mengerling jam tangan yang melingkar di tangannya. "Masih ada lima belas menit lagi."
Vicky malah menarik kursi terdekat. "Ayo jelasin sekarang."
Aku membuang nafas pelan. "I'm just wondering about Ariana."
Vicky menyeringai lebar. "Kalo aku tau tentang Ariana, kamu harus nurutin yang aku mau," ucapnya.
Aku menyipitkan mata, menatapnya dramatis. "Enggak ah! Pasti nanti minta yang aneh-aneh deh," tolakku.
Vicky menyentil keningku keras. "Pikiran kamu tuh yang nyangkain aneh-aneh."
"Heh, sakit tau!" protesku, berusaha membalas Vicky.
Dengan cepat Vicky menghindar dariku. Vicky menjulurkan lidahnya.
"Argh, rese kamu!"
Vicky tertawa terbahak-bahak. "Tanganmu pendek sih."
Aku memutar bola mata sebal. "Kalo panjang tanganku, aku copet dong?"
Vicky tambah terbahak-bahak. "Lucu, lucu!" serunya.
"Jadi kamu tau apa tentang Ariana?" tuntutku.
"Bilang iya dulu buat syarat yang aku ajuin."
"Enggak!" seruku keras. "Udah balik sana ke kelas kamu ah!"
Vicky berdiri, menyimpan kursi yang tadi ia duduki ke tempatnya. "Aku kasih tau bocoran dikit deh," ucapnya, mendekatkan wajahnya, berbisik pelan di telingaku. "Ariana itu kembar."
"HAH?!"
Anak sekelas langsung berpaling ke arahku.
Aku langsung nyengir, ngacungin jari telunjuk dan jari tengah. Sedetik kemudian anak-anak malah menertawaiku sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Vicky menyeringai lebar, merasa dirinya menang, melambaikan tangan ketika pergi meninggalkan kelasku.
Wait a minute, she's twin? Really? Oh, ya ampun. Kok bisa? Eh, maksudku, Vicky dari mana bisa tau Ariana itu kembar?
****
Gara-gara perkataan Vicky, aku jadi gak konsen belajar sampe-sampe Ariana yang getol banget nimpukin aku pake kertas yang dia lecek-lecek menyerupai batu kecil. Lalu saat aku akan membalasnya, tiba-tiba saja Ariana berdiri, membuat semua pasang mata memandangnya.
"Bu, Sammy membuang sampah sembarangan!" serunya keras, membuat Bu Rani menghentikan kegiatan mengajarnya.
Semua pasang memandangku dan juga kertas-kertas yang memang berserakan di sekitar bangkuku.
Dasar! Nyalahin orang lain seenaknya aja!
"Sam, ambil kertas-kertas yang berserakan itu!" suruh Bu Rani. "Lalu jelaskan pelajaran yang baru saja Ibu terangkan!"
"Eh?" Aku melirik buku yang sama sekali gak aku buka.
"Kamu gak dengerin ibu kan?"
"Tapi Bu kertas ini bukan---"
"Tidak ada tapi-tapi," tukas Bu Rani. "Belum cukup kamu diskors kemarin?"
Aku menundukkan kepala, mendengus pelan, melirik Ariana yang menjulurkan lidahnya sambil berkata tanpa suara, "rasain lo!"
Aku menggertakkan gigi kesal.
"Sammy!" seru Bu Rani. "Keluar dari kelas, berdiri di tengah lapangan, angkat satu kakimu dan jewer kedua telingamu sendiri sampai pelajaran ibu selesai!"
"Tapi Bu saya..."
"Keluar!"
Aku membuang nafas pelan, berjalan sambil menggerutu dalam hati.
Aku sengaja menghentakkan kaki menuju lapangan. Gak sadar kalo Jasper baru aja ngelewatin aku yang terus menggerutu.
"Sam?" panggil Jasper pelan, menepuk bahuku.
Aku berbalik, mendongakkan kepala. "Hai Jazz!"
"Mau kemana? Toilet?"
Aku menggelengkan kepala. "Lapangan," jawabku singkat, kembali berbalik meneruskan berjalan menuju lapangan.
"Lapangan?" Jasper menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"
"Bye, Jazz!" Aku melambaikan tangan tanpa menolehkan kepala pada Jasper.
"Hei!"
"Udahlah aku lagi bete, Jazz. Nanti aja aku ceritanya."
"Okay."
Baru juga masuk setelah skors dia udah mulai cari gara-gara lagi sama aku. Belum puas gitu aku jambakin rambutnya waktu itu? Dia punya masalah apa sih sama aku? Aku pernah ngelakuin kesalahan sama dia sejak masuk SMP gitu? Atau pernah ngelakuin kesalahan gitu waktu gak sengaja ketemu sebelumnya?
Seingat aku, aku belum pernah ketemu dia dimanapun. Ketemu-ketemu kan di sekolah ini. Dia udah mulai ngerjain aku lagi. Kesabaran tiap orang pasti ada batasnya juga. Ya selama aku masih bisa sabar aku gak akan bales. Kalo diliat-liat dia gak akan pernah berhenti ngerjain aku deh.
Aku membuang nafas panjang, mulai mengangkat satu kaki dan menjewer kedua telingaku.
Liat aja nanti. Pasti aku bales kamu Ariana!
Satu jam berlalu.
Aku masih tetap pada posisi walaupun beberapa kali sempoyongan nahan biar gak jatuh. Keringat bercucuran di bawah terik matahari siang-siang gini, tenggorokan juga kering. Lengkaplah sudah penderitaanku. Ditambah sekarang perut aku keroncongan. Aish.
Kapan bel istirahatnya bunyi?
Harusnya kan udah bunyi.
Sepuluh menit kemudian bel masih aja belum bunyi, sedangkan anak-anak udah pada keluar kelas mereka. Aku lirik kanan dan kiri, apa aku gak denger bel ya? Kok udah rame aja nih.
"Woi!"
Sebuah tepukan di bahuku membuatku hampir terjatuh kalo gak ditangkap yang baru aja seenaknya nepuk bahuku.
"Rese kamu Vick!" seruku.
Vicky nyengir, membuatku berdiri lagi.
"Udah bel istirahat ya, Vick?"
"Udah dari sepuluh menit yang lalu," jawab Vicky mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. "Kamu dihukum?" tebaknya, menghapus keringat yang mengalir dari dahi ke pelipisku.
"Keliatannya?" jawabku kesal.
"Ya gitu deh."
"Kamu makin lama makin rese, Vick!" seruku hendak memukul Vicky.
Dengan cepat Vicky menghindar, membuatku yang kelelahan berdiri terjatuh dengan bunyi gedebuk. Dan itu sakit sekali! Hiks...
"Wah, tumbang!" seru Vicky tertawa.
"Sialan lo!" seruku.
"Bel istirahat emang gak bunyi," jelas Vicky, berjongkok di sebelahku. "Katanya sih ada yang korslet atau apa gitu."
"Kantin yuk, Vick! Laper nih..."
"Oh, laper doang?" goda Vicky.
"Ya haus juga dodol!" seruku, mencubit lengan Vicky. "Bantuin berdiri!"
Vicky pun membantuku berdiri, tapi kakiku agak keram. Alhasil, jatuh lagi deh.
Vicky membuang nafas pelan, membalikkan badannya, meletakkan tanganku di bahunya, lalu menggedongku.
"Tumben mau gendong aku?" sindirku, menjawil telinga Vicky.
"Berisik ah! Emang mau aku tinggalin di lapangan ini?" tanya Vicky, mulai berjalan menuju kantin sambil menggendongku.
"Ya jangan dong! Tega banget gitu ninggalin sahabatnya di bawah terik matahari yang makin panas?"
"Temen-temen udah pada nungguin di kantin," ucap Vicky mengacuhkan pertanyaanku. "Mereka heran kamu gak muncul-muncul. Gak taunya masih aja setia ngangkat satu kaki dan jewer kedua telinga," jelasnya, diakhiri decakan.
"Vicky sayang, jangan bawel terus," suruhku, menunjuk deretan makanan dan minuman. "Tenggorokan aku kering dan butuh penyegar," jelasku, menyuruh Vicky memesan terlebih dahulu sebelum nyamperin temen-temen. "Dan perut aku butuh makan. Jadi kita pesen baru duduk, okay?"
"Iya, tuan putri!"
"Jijay! Gak usah panggil aku kayak gitu!"
"Oke-oke, putri tomboy!"
Aku tertawa terbahak-bahak.
Vicky pun berdecak. "Cepetan pesen!"
"Oh iya!" Aku pun meyebutkan pesananku pada Ibu kantin.
Setelah selesai aku dan Vicky pun duduk di kursi yang sudah disisakan oleh teman-teman ekskul basket.
Well, bisa dibilang ceweknya cuma aku. Tapi, mereka kayaknya udah gak nganggep aku cewek malahan saking tomboynya aku.
But, it's okay. I'm always having fun with them.
****
DAFA POV
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl
Teen FictionSejak masuk sekolah SMP, aku udah dapet musuh yg gak jelas asal-usulnya. Terus tiba-tiba ada cowok baru yg isengin aku juga. Kenal juga enggak udah ngisengin aku.. _Sammy_ First time I meet her, I admire her spirit. When I know her further, there's...