Ch.5 : Hentikan Waktu

146 32 0
                                    

🎶 The Boyz - Bloom Bloom 🎶

Dazzlingly blooming you
My season I've waited You
Dream of love pictured with you is
the reason I don't want to wake up

☆☆☆

Selasa.

"Hah..." Arka lepaskan kasar satu hembus napas.

Masih hari kedua dan motornya baru saja masuk bengkel pagi tadi.

Pagi ini ketika ia bangun dan Jafin meneruskan pesan dari Vanya —yang masih marah padanya soal insiden kemarin— bahwa kelas baru akan dimulai siang hari, dengan segera ia gunakan kesempatan emas tersebut untuk bawa motornya ke bengkel langganan milik Sang Kakak Sepupu. Arka diberitahu bahwa kemungkinan anak kesayangannya harus menetap selama tiga hari lebih untuk dicek dan diperbaiki secara menyeluruh karena alami rusak di beragam tempat oleh hantaman benda tumpul.

Jadi di sinilah ia sekarang; berjalan masuk ke dalam stasiun di siang hari yang terpantau terik setelah meninggalkan bengkel. Ia mau tak mau harus habiskan beberapa hari ke depannya naik kereta untuk bolak-balik rumah dan kampus. Yah, bukan hal yang buruk juga sih, pikir Arka. Toh benar kata sobat laknatnya: "Kalo lewat rel 'kan gak bakal kena macet."

Satu kakinya menghentak kecil, pemuda itu berdiri menunggu kereta di belakang garis pembatas peron sambil sesekali perhatikan sekitar. Banyak orang berlalu-lalang sambil mainkan telpon genggam mereka, sementara Arka menahan diri untuk tidak keluarkan benda pipih tersebut dari saku celananya. Bukan karena tidak ingin, tapi ia tak mau tertinggal kereta karena terlalu asik bermain game —kalau sampai terlambat lagi ia akan benar-benar kena detensi.

"Wah, pantes aja kerasa panas banget njir," gumamnya setelah mengecek jam di pergelangan tangan. Jarum pendek sudah menunjuk angka 12, melihat papan LED di atas kepala, kereta baru akan sampai sekitar 10 menit lagi.

Arka hela napasnya sekali lagi, kembali lihat sekitar untuk hilangkan rasa bosan saat tiba-tiba kedua matanya tangkap sosok seorang pemuda berkacamata tengah berjalan mendekat dari pintu masuk stasiun. Pemuda tersebut sesekali berhenti melangkah, fokus mengetik balasan kepada seseorang dalam ponsel pintarnya, tidak terlalu perhatikan arahnya berjalan.

Sunggingkan satu senyum miring, Arka masukkan kedua tangan ke dalam saku celana sambil berjalan santai ke arah Si Objek Pengamatan. Berhubung pemuda tersebut juga sedang melangkah tanpa hati-hati seperti itu, ada baiknya ia sekalian gimmick bilang mau menolong atau semacamnya.

Dengan satu gerakan cepat, tanpa dia juga sadari bahwa Sang Teman Sekelas sudah berdiri di dekatnya, Arka letakkan lembut tangan di dahinya dan menarik ujung belakang kemeja putih mahasiswa itu dengan kuat. Di detik yang sama, Arsa langsung menoleh cepat untuk lihat siapa pemilik tangan tersebut. Keduanya beradu tatap selama beberapa detik —karamel selami hazel dan begitu pula sebaliknya— sampai speaker peron berdengung.

Arka perlahan lepaskan kedua tangannya sambil keluarkan kekehan kecil, "Gue gatau lu pengen punya tato wajah?"

Lawan bicaranya mengerutkan kening dalam, "Maksud lo?"

Dengan satu isyarat dagu kecil, pemuda beralmamater abu itu menunjuk ke samping. Arsa perlahan menoleh ikuti arah tunjukkan Sang Teman, kedua matanya yang sipit seketika membola saat lihat sebuah tiang tebal berdiri kokoh tepat dua langkah dari tempat ia berdiri saat ini.

"A--... Anjiiiing!!!" sorak Arsa dengan satu tangan usap dada kasar dan napas sedikit tersengal. Ia baru saja hampir permalukan diri sendiri di depan banyak orang dengan tabrak benda tak bersalah di tengah peron!

"Lain kali kalo mau punya hiasan di muka, gak usah pake cara ekstrim kayak gini. Cari studio aja, minta face painting efek darah; selesai," ucap Arka, dalam hati terkikik geli lihat ekspresi dan reaksi super pemuda di hadapannya.

"Anjing lo, Ka!" bentak Si Lawan Bicara. Namun sedetik kemudian ia menunduk pelan sambil berbisik, "M-makasih udah nolongin gue..."

ANJ-- JANGAN SENYUM LO, MINGKEM!

Pemuda itu endikkan bahu, "Santai aja. Gue juga kebetulan lagi deket tadi."

"Lu ternyata beneran jadi naik kereta terus? Motornya rusak kenapa?" tanya Arsa sambil simpan telepon genggam ke dalam saku celananya. Daripada kena sial trus hampir nabrak tiang lagi!

"Hm," Arka memutar badannya menghadap rel, "Biasa, kena keroyok orang bar-bar."

Mendengar jawaban Sang Teman Sekelas, pemuda kemeja putih tersebut agak tersentak. Ia geser tubuhnya sedikit menjauh sambil berdeham tanpa suara, berusaha tidak menampakan kepada Si Lawan Bicara bahwa ia tak nyaman.

Jujur saja, ia selalu tahu bahwa Arka dan teman-temannya adalah berandal dan orang yang senang tawuran atau semacamnya. Namun itu adalah apa yang ia dengar berdasarkan kabar burung dari para mahasiswa di Fakultasnya, tidak pernah terpikirkan oleh Arsa bahwa ia akan mendapat kesempatan langka mendengar langsung konfirmasi kebenaran berita tersebut dari Objeknya.

Ting nung~!

Speaker peron kembali berdengung, beri tanda kereta akan segera memasuki peron. Dengan segera ia gunakan kesempatan ini untuk menaikan suasana dan mulai kembali percakapan, "Keretanya udah dateng tuh. Ayo siap-siap, kalo ketinggalan kita bakal kena detensi karna udah telat dua kali."

Arka melirik lewat sudut matanya dan terkekeh, "Gue sih gapapa. Asal bisa berduaan sama lu."

"Yang bener aja lo ya, "sergah Arsa jengkel, "Kalo mau jadi target rektor, sendiri aja. Jangan ajak-ajak gue."

Dengan itu, pemuda kemeja putih tersebut langsung melangkah masuk ke dalam kereta yang pintunya sudah terbuka. Meninggalkan Arka yang masih sibuk tahan kikikan gelinya sebelum menyusul dan tanpa repot-repot berpikir dua kali tempati lapak tepat di sebelah Arsa.

Setelah pintu kereta ditutup dan kendaraan itu mulai berjalan, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk cek pesan-pesan yang sejak tadi banjiri layar kuncinya. Mayoritas papan notifikasinya dikuasai oleh Hesa yang mengirimi begitu banyak kalimat full capital berisi celoteh dan keluhan terhadap sikap acuh Vanya yang tak kunjung mereda bahkan di hari kedua. Arka hanya terkekeh pelan sambil membalas deretan pesan dari sahabatnya tersebut, sebelum satu menit kemudian ia menyadari sesuatu.

Perlahan ia mematikkan layar ponsel. Kedua mata melirik diam-diam ke sudut kanan, di mana Sang Teman Sekelas berada, dan melihatnya tengah khidmat membaca setiap deret kalimat dari buku catatan yang ditaruh di pangkuan. Astaga, di saat kayak gini pun anak itu masih sempetin belajar?!

Oke, Arka sama sekali tidak bisa relate.

Tapi kalo diliat-liat, pas lagi serius gini emang gemesin banget sih, pikirnya sambil sunggingkan senyum kecil.

Melihat temannya seolah pasang spanduk "tidak bisa diganggu," ia pilih kembali buka handphone sambil menyamankan diri —berusaha terlihat tidak sengaja tempelkan lengan mereka berdua. Setelah dirasa pas, dengan sangat hati-hati Arka sedikit demi sedikit miringkan kepala ke kanan sambil memposisikan telepon genggamnya sedemikian rupa tanpa membuat Sang Teman sadar. Selang beberapa detik kemudian, layar benda pipih itu tiga kali menyala putih; berhasil menangkap tiga gambar bayangan sepasang pemuda dengan satu kepala bersandar di atas kepala lainnya.

Arka kembali tegakan tubuh seperti semula meski lengan mereka ia tinggalkan masih saling menempel, mengecek hasil mahakaryanya dan dengan senyum lebar menjadikan gambar tersebut sebagai layar kunci terbarunya.

Puas. Ia sangat puas akhirnya bisa mendapat oleh-oleh berharga di hari kedua mengendarai kereta yang tak terlalu disukainya. Dengan suasana hati di atas rata-rata, Arka sandarkan kepala ke jendela dan menatap langit cerah dengan gumpalan awan menutupi silaunya terik mentari siang ini.

Ah, betapa ia ingin waktu berhenti sekarang. Momen seperti ini harusnya bertahan lebih lama lagi.

☆☆☆

Give Me Your Forever || SoobjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang