Ch.2 : Terlambat Berdua

211 35 2
                                    

🎶 Jatuh Suka - Tulus 🎶

Sungguh ku tidak memiliki daya
Di depan harummu
Sungguh terkunci kata yang tertata
Di depan ragamu

☆☆☆

Drap drap drap!

"Iya, iya. Gue udah lagi ke garasi ini ngambil motor, bacot banget si lu Van."

"Gue bacot gini buat ngingetin lo ya, Ka. Sapa suruh coba lo keluyuran ama Hesa sampe jam 3 pagi!? Sekarang malah hampir telat pas banget Senen," tukas gadis di seberang telepon, Vanya.

Ia telah sibuk naikkan intonasi bicaranya sejak 20 menit yang lalu, memarahi habis-habisan Sang Sahabat karena hampir saja lewatkan kelas pertama mereka setelah libur semester tiga bulan, sementara Si Korban koar-koar hanya terus membalas dengan cebikan malas meski gerak tangan dan kaki ikut dipercepat demi kejar waktu.

"Lain kali ya, lu inget-inget dulu tuh jadwal kuliah sebelum berangkat jadi jagoan tengah malem!

Vanya masih sibuk berceloteh di seberang sana, membuat lawan bicaranya yang sudah duduk dengan nyaman di jok motor mendesah jengkel. "Buat kesekian kalinya ya, Ibunda Vanya. Gue udah minta maaf dari awal gue bangun tidur ke lo, masih aja lo ngomel-ngomel gak jelas gini. Panas tau gak kuping gue dengerin lo teriak-teriak mulu!"

Oho, sepertinya pemuda itu salah mencari lawan.

"EMANG LO YA, TEMEN GATAU DIUNTUNG!" Sederet teriakan dengan volume maksimal seketika buat Sang Sahabat social-distancing dengan ponsel pintarnya, "UDAH BAGUS-BAGUS GUE BANGUNIN LO BIAR GAK TELAT, LO GATAU APA HARI INI JAM PERTAMA KELASNYA SI BABEH GENDUT?!!! GUE UDAH BAIK HATI NGINGETIN LO BIAR GAK KENA SKORS LAGI DI SEMESTER INI, DAN GITU BALESAN LO KE GUE!?"

Ya Tuhan, ia rasanya ingin menangis. Benda pipih itu sekarang tergeletak di lantai garasi, sementara ia mengecek anak kesayangannya yang tak kunjung mau menyala sejak tadi. Sepertinya si motor alami rusak di beberapa bagian akibat insiden semalam, ditambah dengan harus mendengar orasi super panjang Vanya yang ia bahkan tak tahu kapan akan selesai, Arka rasa otaknya mulai mendidih dan matanya pedih seperti ingin menangis.

Dengan cepat ia sambar ponsel tak bertuan itu dan segera menjawab dengan sederet kalimat maaf setengah hati sebelum mematikannya sepihak, kini layar panggilan berganti tampilkan nama "Anak Setan." Sekitar dua menit ia menunggu, suara Sang Sobat Karib akhirnya mengalun dari seberang sana.

"Kenapa, Arkaku sayaang?"

"Ish, najis banget gue sama lu," sergah Si Pemilik Nama, membuat tawa renyah terdengar dari dalam panggilan, "Hes, lu hari ini bawa motor gak? Gue nebeng dong, motor gue mati nih gara-gara dipake semalem."

Hesa yang berada di ujung telepon bergumam sebentar, "Sori, Ka. Gue juga nebeng ama Jafin ini. Motornya gue pinjemin ke Mas Crush selama dua hari, soalnya dia lagi harus bolak-balik ke pabrik; part-time."

"Yah, si anjir," umpat Arka sambil menyingkap poninya ke belakang dengan frustasi, "Terus gue gimana dong berangkatnya? Mana udah rada mepet lagi jamnya Si Babeh."

"Naik kereta aja, Ka. 'Kan gak bakal kena macet kalo lewat rel," saran Sang Sahabat diselingi bunyi kunyahan yang cukup garing, nampaknya pemuda itu sudah lagi bersantai di dalam kelas sambil menunggu dosen datang.

Dan di sini Arka masih pikirkan bagaimana caranya pergi ke stasiun dengan hanya habiskan waktu dua sampai tiga menit saja agar nanti masih sempat kejar trem kampus ke gedung fakultas. Merasa tak punya pilihan lain, pemuda itu akhirnya berdecak keras sebelum kembali matikan panggilan secara sepihak dan mulai berlari menuju gerbang komplek.
















Give Me Your Forever

















"Pagi, semua. Gimana liburan semester kalian?"

Seorang dosen bertubuh gempal melangkah masuk ke dalam ruangan dengan senyum kecil terpatri di wajah berhiaskan kacamata kotak ciri khasnya, buat para mahasiswa yang semula masih sibuk bercanda dan mengobrol seketika bungkam bersamaan.

"Pagi, Pak." Bahkan sapaan pria tua di depan sana hanya dijawab oleh segelintir orang, sisanya tak berani sekedar angkat kepala.

Dosen yang terkenal dengan kekejaman dan sarkastik pedasnya itu mulai buka lembaran buku tebal yang dibawa, sudah bersiap untuk memulai kelas di hari pertama dengan penyampaian materi langsung saat tiba-tiba suara langkah tergesa menggema di koridor dan pintu ruangan terbuka dengan agak kencang.

"Permisi, Pak. Maaf saya telat," ujar pemuda yang baru saja masuki kelas. Napasnya masih tidak teratur akibat terlalu banyak berlari, keringat memenuhi dahi dan membasahi bagian atas kaus yang ia kenakan di bawah almamater abu.

"Kamu lagi, Arka?" Pertanyaan pria tersebut seolah menjadi penanda datangnya bencana, sementara Si Pemilik Nama hanya bisa pasrah menanti maki.

Memang sudah sejak jaman masih mahasiswa baru, Arka dan Dosen tua di usia 60-annya itu selalu terlibat cekcok. Bermula dari ia yang tertangkap basah terlibat tawuran antar kampus di akhir semester satu dan kebetulan pria itulah yang kedapatan tugas menceramahi, kini pandangan Sang Dosen terhadap Arka tak pernah baik bahkan jika dia hanya salah kumpulkan tugas sekalipun. Dengan terlambat di hari pertama setelah libur semester seperti ini, bahkan jika hanya selisih satu menit saja, Arka sudah bisa memprediksi di mana ia harus habiskan istirahat makan siangnya nanti.

Air muka pria tua di depan sana sudah berubah; bibirnya ditarik lurus membentuk sebuah garis tipis, matanya memicing, dan napas sudah ditarik —siap lempar siraman rohani. Namun tiba-tiba pintu kelas terbuka agak kencang untuk yang kedua kalinya, tampilkan sesosok pemuda lain yang langsung sibuk atur napas dan benarkan letak kacamatanya sebelum berbicara.

"M-maaf, Pak. Hah.. Hah.. Saya salah pasang alarm, jadi nggak sengaja bangun kesiangan," ujar pemuda tersebut, masih bersusah-payah perbaiki pola napasnya meski postur tubuh perlahan sudah kembali ditegakkan.

Arka sontak menoleh setelah dengar suara yang sangat familiar di telinganya itu, bergeming ketika lihat orang yang tak pernah terpikir akan pernah mengalami hal seperti "Telat Masuk Kelas," kini berdiri tepat di sisi kanannya.

Ah, dia menunduk. Arka ingin lihat wajahnya setelah tiga bulan tak bertemu. Secepat pikiran itu hinggap dalam benak, kepalanya tiba-tiba terangkat. Wajah manis dengan mata sipit dan bibir imut memenuhi pandangan Arka, membuat Si Empunya Nama seketika ambil satu langkah menjauh —bergeser ke sebelah kiri sambil menepuk dada sekali. Gila, hampir saja dia jantungan!

"Maaf banget, Pak. Saya bener-bener ceroboh sampe salah pasang alarm karna semalam tidur larut abis dari luar kota," tambah pemuda tersebut, membuat dosen yang semula sudah ingin menceramahi Arka panjang-lebar langsung urungkan niatnya.

"Arsa... Hhh..." Satu helaan napas lalu anggukan singkat, "Oke. Karna ini kali pertama kamu telat dan hari ini juga kuliah masih nggak terlalu kondusif, saya lolosin kalian dari hukuman. Tapi bukan berarti di kesempatan lain bisa lolos lagi. Kalian boleh duduk."

"Makasih, Pak." Kedua mahasiswa itu membungkuk bersamaan, segera berjalan menuju bangku kosong terdekat agar tak menunda lagi dimulainya kelas.

Karena kondisi ruangan yang cukup penuh, mereka mau tak mau harus berbagi meja yang sama di deret paling depan. Arsa yang memang sudah terbiasa duduk di bangku paling depan hanya jalankan kebiasaan sehari-harinya dengan santai; membuka buku catatan dan mulai fokuskan diri 100% pada penyampaian materi di depan sana. Sementara pemuda di sebelahnya? Ia masih terus mematung di tempat layaknya batu, tatap lamat setiap gerak-gerik Sang Teman Sebangku tanpa dengarkan apapun yang dosennya sampaikan.

Ekspresi wajahnya seperti biasa, tatapan kosong bahkan tanpa pantul bayangan, tapi hatinya tak henti bersorak dan melompat-lompat kegirangan saat ia dengan sangat beruntung mendapat kesempatan langka seperti ini.

MIMPI APA DIA SEMALAM, YA TUHAANNN?!!!!!

☆☆☆

Give Me Your Forever || SoobjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang