4

45 25 0
                                    

Setelah makan malam, kami--kecuali aku--kembali ke kamar masing-masing. Aku sendiri memilih pergi ke teras penginapan untuk merokok sejenak. Kendati bukan perokok berat, terkadang aku suka merokok setelah makan. Biasanya saat ada sesuatu yang mengganjal di benakku.

Aku duduk di salah satu kursi kayu yang berjajar rapi di teras. Dari sini aku bisa mengamati laut di kejauhan. Bulan sedikit tertutup awan malam ini, dan sebagai hasilnya, hanya memantulkan sedikit cahaya di lautan. Aku mengisap rokokku, kemudian mengembuskan asapnya ke udara. Harus diakui, pemandangan alam pulau ini memang indah dan memberi perasaan menenangkan. Jauh berbeda dengan pemandangan sehari-hari yang kulihat di kota.

Masalahnya, apa sebenarnya tujuan Miyuki mengadakan pesta ulang tahunnya di pulau ini? Biasanya dia tak pernah merayakannya di luar kota. Umumnya, Miyuki mengadakannya di restoran atau kafe. Apa alasannya berhubungan dengan danau misterius di pulau ini? Aku mengerti dia pasti penasaran dengan urban legend tersebut, tapi tidak perlu sampai harus mencobanya, kan? Risikonya benar-benar terlalu besar.

"Tak bisa tidur?" Terdengar suara di sebelahku.

Aku menoleh. Rupanya Miyuki. "Tidak juga," jawabku, mengembalikan pandangan ke depan. "Hanya ingin merokok sebentar."

Miyuki duduk di sebelahku. Samar-samar aku dapat mencium aroma parfumnya. Kombinasi mawar dan vanila yang lembut. Itu parfum yang sama yang sudah dia gunakan selama lima tahun terakhir. "Sejak kapan kau merokok?"

Aku mengisap rokok lagi. "Sudah lama. Mungkin dua atau tiga tahun lalu."

"Bukan kebiasaan yang bagus untuk dipertahankan."

Aku menyeringai. "Memang sih, tapi terkadang ini menenangkan."

"Aku benci pria perokok," kata Miyuki.

"Setahuku, Tom juga merokok," tukasku, menyebut nama kekasih Miyuki. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali dan setiap kali itu pula pria tersebut pasti sedang merokok.

"Memang. Aku sudah menasehatinya beberapa kali tapi tidak berhasil. Jadi akhirnya aku menyerah."

Aku meliriknya. Miyuki bukan tipe orang yang suka membicarakan hal-hal kecil denganku. Umumnya, dia hanya akan mendatangiku jika ingin membicarakan sesuatu yang serius (dia pernah bilang kalau aku adalah pendengar terbaik di kelompok kami). Itu berarti saat ini pun sebetulnya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Ada apa?" tanyaku. Sering kali, aku harus memancingnya dengan pertanyaan seperti ini.

"Tentang larangan danau itu. Sakura yang memberitahu kalian, kan?"

"Benar. Memangnya kenapa? Dia bilang dia memberitahu kami karena kami temanmu."

Alih-alih menjawab, Miyuki tiba-tiba melompat bangkit. "Mau berjalan-jalan sebentar?" ajaknya. Dengan kening berkerut lantaran permintaannya yang begitu mendadak, aku mengangguk dan ikut bangkit, mengikutinya yang sudah berjalan ke arah tepi laut. Sembari berjalan lambat-lambat menyusuri pasir pantai, Miyuki melanjutkan, "Sori karena ini begitu mendadak, tapi aku harus memastikan tidak ada siapa pun yang mendengar pembicaraan kita."

Aku menoleh ke belakang sekilas. Rumah penginapan sudah berada jauh di belakang kami dan di sekitar kami tidak terlihat seorang pun. "Kau bersikap cukup misterius," komentarku.

"Aku terpaksa," jawabnya. "Sebenarnya, aku punya alasan tersendiri kenapa mengundang kalian semua ke pulau ini."

Sudah kuduga. "Dan alasan itu adalah...?"

"Kau ingat Selena?" tanyanya, menyebut salah seorang sahabatnya sejak masa kuliah. Aku pernah bertemu dengan gadis manis itu beberapa kali ketika nongkrong dengan Miyuki. "Dia menghilang di pulau ini."

Mataku sontak membelalak. "A-apa? Hilang bagaimana?"

Miyuki menggeleng dengan gestur putus asa. "Aku juga tidak tahu persis bagaimana ceritanya. Yang kutahu, dia pergi ke sini tiga bulan yang lalu," katanya, lantas memperlihatkan beberapa foto di ponselnya. "Dia sempat mengirimiku foto-foto ini."

Aku mengamati foto yang terpampang di layar ponselnya dan mengenali rumah penginapan yang menjadi latar belakang dalam foto. Itu memang rumah penginapan yang sama dengan yang kami tempati.

"Pesan terakhir yang kuterima darinya menyatakan kalau dia berniat pergi mencari danau misterius itu. Selena penasaran ingin melihat wajah pria yang merupakan jodohnya," jelas Miyuki, menghela napas. "Aku sudah melarangnya, sebab kupikir itu hanya omong kosong, tapi dia bersikeras. Dan setelah itu, dia lenyap tanpa jejak."

Aku mengerutkan kening. "Dia menghilang begitu tiba-tiba dan tidak ada seorang pun yang mencarinya?"

Miyuki mengangguk. Di sini gelap jadi aku tidak dapat melihat raut wajahnya. Namun aku dapat membayangkan kegelisahan menyelimuti wajahnya. Selena merupakan salah satu dari orang yang paling dekat dengan Miyuki. Dia sering mengatakan kalau Selena merupakan salah satu hal baik yang ada dalam hidupnya. Jadi dia pasti sangat risau karena Selena menghilang.

"Bagaimana bisa tidak ada yang mencarinya sama sekali?" ulangku, tak mengerti.

"Selena tak memiliki keluarga. Dia sebatang kara."

"Tapi dia pasti memiliki teman."

"Teman...? Yah, memang. Tapi mereka tak peduli padanya. Mereka datang ke sini berlima dan hanya empat orang yang kembali. Mereka pikir Selena pergi terlebih dulu tanpa mengatakannya pada mereka. Dan ketika aku mengatakan kalau Selena tak dapat dihubungi, mereka tidak melihat itu sebagai sesuatu yang aneh. Mereka pikir Selena hanya sedang tidak ingin diganggu."

"Itu bisa saja benar. Apa yang membuatmu berpikir kalau lenyapnya Selena ada hubungannya dengan pulau ini?"

Bahkan dalam kegelapan, aku dapat merasakan betapa menusuknya tatapan tajam Miyuki. "Sebab aku tahu apa rahasia sesungguhnya pulau ini," katanya, lantas merendahkan suaranya. "Dan ada orang-orang yang tidak ingin rahasia itu terungkap. Sakura adalah satu dari mereka."

The LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang