Chapter 8

1 1 0
                                    


Rutinitas yang selalu pasti dan wajib ada adalah piket. Ya, itu yang gue lakuin sekarang, dengan beberapa orang tentunya. Dan menyebalkan mereka belum balik, bilangnya cari pinjeman sapu dari kelas sebelah malah ilang nggak balik-balik. Sendiri deh gue. Dosa gue segede apasih ke mereka. Tega banget.

Sebenernya gue udah terbiasa nyapu atau ngepel sendiri, secara kan gue emang sendirian dan pasti gue lakuin semuanya sendiri. Tapi yang namanya piket pasti berjamaah dong. Mustahil kalo isinya cuma satu orang. Mau nggak mau gue harus sapu sendiri.

Gue sapu secara menyeluruh, dari sudut belakang kelas sampai sudut depan kelas, gue bersihin juga sampah bungkus pentol di kolong meja, gue bersihin isi kelas ini mumpung gue lagi semangat. Biar gue bisa jadiin pembalasan kalo gue lagi nggak mood piket atau urusan mendadak. Gue tuh suka itung anaknya. Kalo mereka melakukan kejahatan, gue juga bakal balas mereka dengan kejahatan. Baru kalo mereka malakukan kebaikan, gue balas dengan kebaikan juga. Harus sama rata pokoknya.

Nggak butuh waktu lama, kelas ini sudah bersih. Nggak gue pel karena gue males ambil alat pelnya di kamar mandi. Mana jauh banget pula. Yang penting nggak berdebu dan nggak bau. Ditemenin hp gue tercinta, gue enjoy bersih-bersih siang ini.

Saatnya pulang. Mau main ke kafenya Adam. Akhir-akhir ini gue selalu nyempetin diri untuk ke kafenya Adam. Nggak tau kenapa ini udah jadi rutinitas gue setiap harinya, kalo sehari nggak ketemu dia rasanya rugi banget dan selalu kepikiran sampe gue mau tidur. Bahkan beberapa kali menghiasi mimpi gue. Beberapa riset mengatakan saking sukanya kita sama seseorang, dia bisa masuk ke mimpi kita karena kita merasa bahagia dan mungkin momen itu tersimpan rapi di memori kita. Memorable gitu maksudnya.

Koridor yang gue lewati udah sepi . Koridor bangunan sebelah ,masih lumayan ramai karena masih ada pelajaran tambahan. Dari arah kejauhan, gue melihat laki-laki bertubuh besar dan memakai setelan hitam berjalan ke arah gue. Nggak tepat ke arah gue juga sebenernya, karena cuma gue yang berjalan di koridor itu.

Dengan langkah panjangnya, laki-laki itu ada di depan gue. Gue baru sadar, orang ini sekilas mirip bodyguard milik orang kaya tapi nggak bertampang seram.

Dia berhenti tepat di depan gue dan menatap gue dan hp-nya bergantian.

"Dengan Nona Navya Qiandra Elvarette?."

"Iya, dengan saya sendiri. Ada apa ya?." Tanya gue dengan wajah kebingungan.

Senyumnya hinggap sebentar.

"Seseorang ingin bertemu dengan Nona."

Gue terus berjalan ngekorin bodyguard ini seperti anak ayam dan induknya, saking tinggi dan besarnya si bodyguard.

Sampailah gue kepada mobil hitam besar yang mewah. Dalam diam gue mencoba mengingat-ingat kalo gue pernah liat mobil ini. Gue tau mobil tipe ini bukan satu-satunya di Indonesia. Tapi ada beberapa bagiannya gue pernah liat.

"Silakan masuk, Nona."

Gue nurut dan duduk. Nggak lama mobil nyala dan mulai berjalan dengan lambat. Gue nggak ada pikiran jelek gue bakal diculik atau dijadiin sanderaan. Gue setengah ngelamun, sampe seseorang bergerak di sebelah gue. Gue bahkan nggak sadar di sebelah gue ada orang.

"Hai, Navya. Sudah lama saya ingin bertemu dengan kamu." Seseorang disebelah gue menyapa dengan suara lembut.

Gue noleh ke samping kanan dan melihat gadis berkulit putih dengan topi lebarnya menutupi seluruh wajahnya. Dan satu hal yang langsung terlintas di pikiran gue. Kamal.

Gadis itu melepas topinya. Bener dugaan gue. Itu Vivienne. Kakak Kamal.

"Kenapa Nona ingin bertemu dengan saya?." Tanya gue dengan formal. Yang gue tau dari temen-temen, Vivienne nggak biasa komunikasi pake bahasa gaul. Karena bahasa Indonesia bukan bahasa aslinya dan dia cuma belajar susunan bahasa formal aja.

Someone elseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang