13.

2K 224 18
                                    

Dio memandangi Rafa yang nggak memberi jawaban ke dia. Namun, setelah diam sebentar, akhirnya Rafa berkata, "Terserah lo mau mikir apa."

"Terserah? Gue anggep jawaban lo 'iya'. Boleh nggak, hm?" tanya Dio.

Merasa nggak ada energi buat berdebat, Rafa menjawab, "Suka-suka lo."

"Haha, gue nggak nyangka lo nunggu disamperin gue," Dio tertawa lepas.

Rafa menghela napas, "Ya ya, terserah lo."

Dio berhenti tertawa tapi senyum nggak meninggalkan wajahnya. Dia terlihat cengengesan sambil memandangi wajah Rafa.

Gue benci sama orang satu ini, tapi gue lebih ngebenci diri gue sendiri yang ngerasa gugup sama dia, batin Rafa.

Dia terus bermonolog dalam hati,

lagian kenapa gue masih aja di sini ngeladenin cunguk ini, iya gue kesel dia ngancem-ngancem mau ngeprank tapi nggak jadi,

maksud gue kalo emang niat ya lakuin, kalo enggak ya nggak usah bilang-bilang anjir. Bikin orang waswas aja. Uh, dia bikin gue frustrasi.

Tapi jujur ... gue seneng ngeliat dia di sini. Berarti dia tanggung jawab ngejelasin kelakuannya. Lah, apa sih anjir, nggak beres. Bisa-bisanya gue mikir begitu.

Rafa berhenti membatin karena ruang di dalam hati dan pikirannya terasa semakin sempit menyesakkan, gara-gara Dio memenuhinya.

Serasa kalau dia memenuhi pikirannya lagi dengan pertanyaan atau apapun tentang Dio, itu semakin menyiksa dia. Enggak, nggak bisa. Hentikan.

Gue kenapa gini, akhirnya cuma itu yang bisa Rafa pikirkan.

Rafa mencoba berpikir lebih pelan biar nggak terjerumus dalam perasaan galau, tapi dia tetap nggak menemukan jawaban, kenapa dia jadi peduli gini soal Dio.

Kenapa gue biarin dia bikin kacau pikiran gue, Rafa nggak paham.

Selain itu, Rafa heran, barusan pertama kalinya dia melihat Dio tertawa sungguhan. Terlihat di wajahnya kalau Dio bukan tertawa sinis atau berpura-pura. Dia sungguh tertawa.

Rafa semakin nggak mengerti ketika dia menyadari kalau Dio sepertinya menyenangkan untuk dilihat. Apa?

Tapi sungguhan. Rambutnya yang hitam lurus berantakan itu anehnya membuat dia terlihat keren.

Saat Dio tertawa, sorot matanya yang hitam dan dalam itu, berubah menjadi hangat. Bibirnya yang tipis kemerahan itu membingkai deretan giginya yang rapi.

Rafa nggak sadar bagaimana bisa, dia merasa ikut tersenyum dalam hatinya. Detik berikutnya Rafa merasa semakin nggak beres. Dia mengerutkan alis sendiri sambil mengerucutkan bibir.

"Hei," panggil Dio.

Deg.

Rafa tersadar dari lamunannya. Detak jantungnya beritme cepat. Dia agak mendongak menatap Dio yang sedikit lebih tinggi darinya itu, mungkin dua senti.

Dio bertanya, "Muka lo kenapa lucu gitu?"

"Hah?" Rafa bingung.

Kata Dio, "Lo cemberut mulu. Lo laper? Mau ke kantin?"

"Bukan urusan lo," jawab Rafa, terbiasa berkata sadis ke Dio.

Tapi Dio tetap cengengesan, "Kalo kata iklan tuh, 'lo rese kalo lagi laper'. Kali aja lo laper, soalnya lo makin rese daripada biasanya."

"Lo nggak perlu tau. Ini urusan lo di sini udah selesai? Lagian ngapain lo sampe ke sini," balas Rafa.

Dio berkata, "Emang cuma lo yang boleh nyamperin ke kelas gue. Seringan lo ke kelas gue daripada gue ke kelas lo. Sadar nggak."

crash and burnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang