23.

2.1K 204 38
                                    

Saat menuju kamar Dio, Rafa tersadar kalau mungkin saja, ada anggota keluarga Dio di rumah. Siapa tahu mereka di kamar atau di belakang? Jadi nggak kelihatan.

Rafa pun menghentikan langkahnya.

Waduh, tadi gue rebahan ga jelas di sofa, pake ngomong kenceng pula pas sama Dio, nggak sopan banget, Rafa jadi menyesal atas kelakuannya.

Rafa melirik kanan kiri, memang nggak ada orang sih, tapi nggak tahu lagi. Seketika Rafa buru-buru melangkah ke kamar Dio, mau memastikan sikonnya.

Sementara, di kamarnya, Dio nggak sabar karena daritadi Rafa mengabaikannya, padahal Dio sudah memanggilnya sekali lagi.

"Ini anak mager banget," gumam Dio, lalu dia beranjak keluar kamar dengan nggak sabar.

"Raf---"

Bruk. Jduk.

"Aduh," Rafa mengernyit.

Dio juga mengerutkan kening, "Ugh."

Barusan mereka bertubrukan di depan kamar Dio, dan kepala mereka beradu. Soalnya pada buru-buru, kejedot akhirnya.

Rafa menggosok-gosok dahinya, jari-jarinya bersentuhan dengan poninya. Sebenarnya nggak sakit, cuma merespon secara otomatis, kaget soalnya.

Dio nggak bisa menahan tawa melihat muka bodoh Rafa, terlihat Rafa setengah menunduk sambil mengernyit. Udah gitu, mereka berdiri berhadapan sangat, sangat dekat.

"Hei," panggil Dio, suaranya lembut.

Rafa mendongak dan tangan kirinya masih menggosok dahinya tapi semakin pelan. Rafa diam saja, tapi dia memandangi Dio.

Itu membuat Dio bisa melihat kedua mata Rafa yang berwarna hijau kecokelatan dari sangat dekat. Sedikit gelap warnanya di dalam ruangan di sore hari ketika senja.

"Ngapain lo barusan, lo lari ke sini?" tanya Dio.

Kata Rafa, "Nggak lari sih, tapi emang gas tadi."

Dio terkikik, dia mengulurkan tangannya dan Dio meraih tangan kiri Rafa. Lalu Dio menurunkan tangan Rafa itu dari dahinya.

Sebagai gantinya, Dio mengacak rambut poni Rafa itu, lalu Dio mengusap-usap dahi Rafa dengan lembut, perlahan. Rafa terkejut tapi dia cuma diam, membiarkan Dio.

Ga ngerti, gue ga ngerti, batin Rafa, nggak paham dengan perasaan yang muncul ini. Kenapa pula pakai perasaan. Nggak ada apapun yang perlu dirasakan.

Sedeket ini sama Dio, dan dia ngelus-elus gue, dan gue malah berdebar gini, Rafa nggak sadar kedua alisnya sampai sedikit berkerut, saking nggak ngertinya dia.

Dio melihat muka Rafa yang sepertinya kecut tiba-tiba.

Ah mungkin dia ga nyaman, tapi kok lucu, batin Dio, lalu dia berhenti mengelus Rafa dan melepaskan tangannya.

Dio pun tanya, "Kenapa lo tadi buru-buru?"

"Gue ngga enak, tadi gue asal rebahan, dan ngomong kenceng sama lo, padahal gue di sofa situ. Sungkan sama orang di rumah," Rafa berkata jujur.

Dio tertawa, "Gaada orang di rumah, gue udah bilang kan. Santai aja."

"Beneran?" Rafa ragu-ragu.

Dio mengangguk, "Beneran Rafael."

crash and burnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang