Ouch!
Sesuatu membentur kepalanya keras sekali.
Tennis ball? Great, Dare!
Ia mengangkat tangan dan mengusap-usap keningnya yang telanjang –tanpa pelindung kepala jenis apapun –sambil meringis. Lapangan tenis sudah sepi entah sejak kapan. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat berganti pakaian di ruang ganti wanita sebelum memasuki lapangan tenis milik College untuk latihan bersama dengan anggota klub-nya yang lain.
Dare menggunakan wristband Nike berwarna merah pemberian kakaknya yang selalu melingkari pergelangan tangan kanannya setiap kali ia berlatih tenis untuk menyeka wajahnya dari peluh.
Hari ini tidak terlalu panas, tapi mengingat latihan fisik yang mereka jalani, bukan hal aneh kalau tubuhnya bermandikan peluh.
Tiga jam waktu bersih hanya untuk sparring –latihan tanding –tenis di green clay court –lapangan tanah liat hijau. Itu tidak termasuk dengan setengah jam pemanasan dan setengah jam istirahat.
Seluruh tubuhnya berteriak kesakitan.
Satu-satunya hal yang dibutuhkannya sekarang hanyalah berendam dalam bath tub berisi air hangat.
Dan mungkin Luke yang berbaring telanjang di atas ranjangnya.
Oh, shit!
Quarterback sialan itu berhasil menancapkan taring di benaknya dan menolak untuk pergi dari sana.
“Getting distracted, Aymee dear?” suara gadis itu sayup-sayup mencapai membran timpaninya.
“What? Uh, no…” Dare meringis.
Hanya satu orang saja di dunia ini yang diijinkannya untuk memanggilnya dengan nama tengahnya. Orang itu adalah Calleigh Savannah.
Lawan sparring yang sekaligus merangkap sebagai best friend forever-nya muncul di hadapannya beberapa menit kemudian, dengan handuk kecil di bahu kanan, raket Wilson BLX Four dalam genggaman tangan kanan, dan sebotol energy drink di tangan yang lain.
“Oh come on. You can’t lie to me,” bahu Leigh menubruknya. “It’s him, right? Right?”
Ia mengerenyit, raket tenis Wilson BLX Juice 100 kesayangannya yang sudah menemaninya untuk meraih dua piala emas kejuaraan tenis intercollege se-Florida beristirahat dengan santai di bahu kanannya.
“Him? No, I don’t understand what you’re—”
“Aymee,” Leigh berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut chocolate brown-nya dijadikan ponytail ketat di puncak kepalanya khusus untuk latihan hari ini, sementara sebuah headband dengan motif tribal dalam nuansa pink yang kembar dengan wristband di pergelangan tangannya melingkari garis rambutnya.
“What the hell are you thinking! People talk!”
Dare menghela napas, melangkah menuju bangku di pinggir lapangan tempatnya meletakkan sebotol air mineral.
“Of course they talk. We’re social creatures anyway, how can we—”
“Okay, that’s it. How can I forget your smarty-ass butt? Not that kind of talk. I mean, I heard the girls talked in the restroom earlier, they saw you,”
Ia baru saja akan membuka mulutnya untuk memprotes, saat Leigh menggoyang-goyangkan jari telunjuk di hadapannya.
“Nuh-uh, listen to me first before you decide to cut my lines, Kiddo. What I mean is they saw you guys together! And I thought they’re about to cornering you sooner or later,”
“Damn it!” ia meremas botol air mineralnya yang sudah kosong.
Leigh mengerenyit. “What was that?”
“What was what?” ialah yang mengerenyit kali ini.
“You swore,” Leigh meringis dan menatapnya dengan pandangan tertarik. Seolah dia adalah manusia pertama di bumi yang bicara dalam Bahasa Jupiter.
“I… did?” Dare tidak melihat ada yang aneh dari seorang gadis seusianya yang mengumpat.
“Good girl, never heard it before. Finally, you’re normal! I’m so happy I could dance!”
Leigh benar-benar melakukan tarian aneh, yang memaksanya tertawa terpingkal-pingkal.
Ia baru ingat kalau kebiasaannya mengumpat biasanya tak pernah mengambil bentuk verbal, meskipun ia sering mengumpat fasih dalam Bahasa Rusia, bahasa leluhurnya.
Maksudnya, hal itu selalu hanya dilakukan di dalam pikirannya.
“Enough, Leigh,” ia berusaha mengontrol tawanya yang lepas kendali. “You make me wanna jump off a nearer cliff,”
So, the girls want to corner me? Just because I had a lil’ chat with Luke, the most eligible womanizer along Florida shores?
Well then, I’ll better make it right.
Leigh masih menarikan ritual pemanggilan hujan a la suku Indian bahkan sampai saat mereka sudah memasuki ruang ganti wanita.
“Shut it, Silly!” ia mendorong sahabatnya itu sambil tertawa sebelum memutar kunci loker dan meraih smartphone-nya.
***
Dare P. : Luke, its me, Dare. Petrova. We talkd earlier. At the corridor, ‘member?
Pesan singkatnya dibalas tak sampai satu menit kemudian.
Luke R. : ‘Course, Sexy. Can I assume that you’re impatient to see me?
Dare P. : Well, you can say it that way. 10329 Chatuge Dr. San Antonio, FL. 9 PM sharp. Make sure you eat sth 1st, I don’t cook.
Luke R. : Will do. How ‘bout your parents?
Dare P. : No parents. None but me.
Luke R. : Great. Do you want me to bring you sth?
Dare P. : Pizza works for me. Cheese and pepperoni with extra cheese, no paprika. Yum!
Luke R. : Got it, Ma’am. God, You little mouse! Miss your luscious mouth already, Sexy. Eat you later.
***
Eat me later.
Eat ME later?
EAT ME LATER???
Damn it, Lucas Rivera! You son of a bitch! Get the hell out of my head!
----------
Writer's note:
Kindly left your comment down in the comment box about this part / this whole stories so far :) Nggak pake B. Inggris jg gpp, pake B. Indonesia aja :)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN SINNERS (On Hold)
Teen FictionTujuh iblis dalam diri manusia. Tujuh orang pendosa yang menghadapi dunia. Tapi, bagaimana kalau ternyata, ada alasan dibalik kemunculan iblis-iblis ini dalam diri manusia. Bagaimana kalau ternyata, kemunculan iblis-iblis ini sendiri merupakan hasil...