15 - Regret

37 9 19
                                    

Senja telah hampir usai. Matahari hendak tenggelam, warna keemasan dari cahayanya tak menyentuh beberapa tenda yang berdiri di tengah hutan rimbang. Pohon yang menjulang tinggi, dedaunan lebat dan rapatnya antar satu pohon dengan lainnya membuat tempat itu gelap meski malam belum sepenuhnya datang.

Di depan tenda paling kanan, Hesti duduk dengan kepala yang tenggelam dalam lipatan tangan. Menunduk dan terdiam, menyembunyikan mata sembab akibat lamanya tangis selama perjalanan.

Sedangkan di sisi lain, Olivia memandang marah pada gadis itu. Kabar kematian Edward telah disampaikan oleh Hesti saat mereka pertama kali bertemu di ujung terowongan. Berdasarkan cerita yang akan dibuat oleh Hesti, Raja Lotus memang ditakdirkan untuk menerima kematian. Namun, perjuangan Mahendra dalam menyelamatkan Edward dan bagaimana pria itu harus mati setelah mengorbankan nyawa demi Hesti, jujur saja Olivia terkejut dan ... tak bisa mendeskripsikan perasaannya.

Mahendra sendiri ikut merasa bersalah dengan segala hal yang terjadi. Dunia ini adalah dunia yang sedari awal adiknya pikir hanyalah fiksi. Hesti berpikir bahwa ia hanya menulis bukan membunuh. Rupanya, tindakan Mahendra menolong Edward telah membuat kedua wanita itu terguncang mentalnya. Akan tetapi, ini adalah hal benar. Setidaknya, Mahendra bisa melihat, tatapan Hesti yang tak lagi santai dan menganggap bahwa dunia Olivia sekedar fiksi belaka.

Dipandangnya Olivia yang menghampiri Hesti dengan hembusan napas kasar, bercampur aduk dengan pandangan penuh emosi hingga wanita itu bersuara lantang dalam berkata, "Edward mati karena kau!"

Hesti mendongak, matanya masih basah akibat tangisan yang belum berhenti. Bibir gadis itu juga bergetar. Dengan napas sama tak teraturnya seperti Olivia, gadis itu menjawab, "B-bukan aku. E-Edward dibunuh oleh prajurit di sana. Dia ... t-tidak-"

"Bagaimana rasanya menyaksikan orang mati dibunuh, huh?! Kau bahagia dengan kematian yang kau rencanakan? Kau masih menganggap bahwa hal ini hanyalah fiksi? Setelah banyak orang mati di hadapanmu dan setelah kau melihat kekejaman Raymond di depan matamu, apa kau masih anggap ini fiksi? Siapa yang akan kau bunuh setelah ini?! Albert?!"

"Olivia!" Mahendra berteriak. Menjadi pihak ketiga di antara ketegangan yang terjadi pada kedua wanita itu.

Setelahnya, Mahendra memberikan pekerjaannya yang semula menyiapkan makan malam dan membuat api unggun pada Albert. Kemudian ia menghampiri Olivia dan berdiri dengan wajah serius di hadapan wanita tersebut.

"Hentikan itu. Ini bukan saatnya kau mendebatkan hal seperti itu dengan Hesti." Mahendra berbicara.

Kali ini Olivia terkekeh dengan penuturan Mahendra. Otak kecilnya kembali melayang pada masa-masa dahulu, di mana dirinya berteman karib dengan Edward. Penyiksaan yang Edward alami dan bagiamana secercah harapan ada ketika ia terselamatkan. Namun, pria itu harus dengan malangnya mati akibat rencana bernama outline dari Hesti sekaligus menyelamatkan gadis itu agar pergi.

Batin Olivia berteriak. Gemuruh emosi berkecamuk dalam otak. Kematian Edward dan para pengikut Albert yang membelot pada Raymond harus mati di sana demi mereka semua menambah beban duka yang berat.

"Semua ini terjadi karena ...." Ekor mata Olivia mengarah pada Hesti yang masih tertunduk dalam diam, penuh penyesalan.

"Kau membelanya karena dia adikmu, kan?" tanya Olivia memandang sendu pada Mahendra yang juga menatap ia dengan cara yang sama.

Perkataan Olivia tidak salah sama sekali. Memang begitulah apa yang dirasakan oleh Mahendra saat ini. Rasa sayangnya sebagai seorang kakak membuat ia tak bisa menyalahkan Hesti. Meskipun benar, Hesti bersalah. Namun, melihat Hesti terguncang dan dalam kondisi lemah mental, Mahendra tak boleh sampai salah kata dalam menenangkan gadis yang ia sayangi.

Dimensional Queen [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang