Berbahagialah!

10.1K 561 5
                                    

"Van." Aku mendengar suara Banu dari balik pintu ketika aku sedang asik menonton televisi di kamar.

"Masuk aja Ban." Teriakku. Tak lama pintu pun terbuka menampilkan sosok Banu yang masih lengkap dengan baju kerjanya. Sepertinya dia baru pulang. Atau dia baru saja berkencan. Mengingat ini sudah jam 9 malam.

Dia berjalan kearahku dan mengambil tempat disampingku. Diserahkannya bungkusan plastik yang ada ditangannya kepadaku. Aku memandangnya dengan bingung.

"Buka."

Aku pun membuka plastik berwarna hitam tersebut. Ternyata dalamnya adalah sebuah kotak ponsel buatan korea keluaran terbaru.

"Aku tahu kamu kangen dengan Revan. hubungi dia dan jelaskan apa yang kamu lakukan disini. Pastikan kakek tidak mendengar." Aku menatap haru kepada Banu. Dia pengertian sekali jika aku kangen dengan Revan.

Aku mengangguk mengiyakan dan dia segera kembali keluar. Kubuka kotak ponsel itu dan memasukkan kartu SIM yang sudah pula disediakan Banu. Aku mulai mengetikkan nomor Revan yang memang sangat kuhapal. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih keras. Ah.. padahal dia sudah menjadi suamiku kenapa aku masih deg-degkan sih. Mungkin karena aku terlalu rindu dengannya.

"Halo." Ucap suara diseberang sana. Suara yang sangat kurindukan. Air mataku pun menetes dan hatiku menghangat.

"Mas." Jawabku dengan suara yang sedikit bergetar. Lama aku mendengar jeda.

"Vania. Untuk apa kamu menelpon aku lagi." Deg.. bagaikan pedang yang langsung menusuk kedalam jantungku. Aku tidak tahu kenapa Revan bisa berkata seperti itu kepadaku.

"Kenapa Mas berkata seperti itu. aku ingin menjelaskan...."

"Sudah tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Aku tahu kamu bahagia hidup bersama Banu. Maaf kalau selama ini kamu tidak bahagia denganku." Kemudian panggilan diputuskan oleh Revan.

Aku terdiam mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah Revan baru saja menyiratkan kalau aku sudah tidak diperlukan lagi? Apa dia merasa cemburu aku dekat dengan Banu? Kalau iya dari mana dia tahu kalau aku dekat dengan Banu. Apakah keberadaaku berhasil dilacak? Dan Kalau iya lagi mengapa dia tidak mencoba menyelamatkanku.

Aku mengangkat kakiku dan memeluknya. Membenamkan wajahku pada pada lututku. Menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Bahkan dengan kerasnya kehidupanku dulu tidak pernah membuatku sampai menangis. Aku sekarang mengerti jika aku tidak akan menangis jika fisikku yang merasakan sakit. Namun sekarang yang kurasakan adalah sakit perasaan. Dan percayalah hal itu sangat membuatmu tersiksa. Bahkan aku memilih mematahkan kakiku dari pada harus merasakan patah hati.

Pintu kamarku terbuka. Aku mendongakkan kepalaku. Banu kembali masuk dengan membawa segelas susu. Dia pasti bingung melihatku yang menangis.

"Kamu kenapa Vania?"

"Revan sudah tidak menginginkanku."

"Maksud kamu?" aku pun menceritakan percakapanku pada Revan tadi. Banu hanya tersenyum tipis.

"Mungkin dia memang sedang cemburu. Sudah lupakan misi mu itu. bukan aku tidak ingin bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat. Namun kamu lebih membutuhkan Revan kan?" aku hanya mengangguk mendengar perkataan Banu.

"Lusa Revan ulang tahun." Kataku kemudian.

"Nah pas banget itu. kamu beri kejutan saja kepadanya. Besok aku temanin belanja ke Mall untuk membeli hadiah." Aku tersenyum mendengar ide Banu.

Banu benar. Aku memang lebih membutuhkan berada disisi Revan. aku lupakan dulu soal misi ini. Toh nanti kalau keadaannya sudah membaik aku bisa membongkarnya bersama Revan.

Love FighterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang